Senin, 03 Agustus 2009

DUNIA ORANG BAYAN DI PULAU SERIBU MASJID

KATA PENGANTAR

Menyatu dengan masyarakat pedalaman Bayan merupakan sebuah kenangan manis dan sulit dilupakan. Terlebih ketika para beberapa peneliti seperti Erni Budiawati, John Ryan Bartholomew, Prasetia, Abdus Syakur atau peneliti-peneliti lain yang entah berasal dari luar negeri sekalipun pernah menginjakkan kaki di desa yang sampai sekarang ini masih memegang erat kearifan lokal (local wisdom). Sungguh tak mudah menjadi daerah yang tetap mempertahankan budaya yang “full” dengan tradisi, ritual ataupun awig-awig. Sebut saja suku Dayak di Kalimantan atau suku Asmat di Irian Jaya. Standing applaus pun selayaknya diberikan kepada desa Bayan atas kegigihan mereka mendayung kosmologi ataupun budaya mereka sendiri di samudera moderen. Sebuah perjuangan keras yang sulit dilakoni.
Atas semua itu, peneliti tak lupa bersyukur pada Alloh Swt yang telah memberikan berbagai macam anugerahNya yang tak terhitung, atas anugerahNya tersebutlah laporan penelitian berjudul “DUNIA ORANG BAYAN DI PULAU SERIBU MASJID” ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam pun terhadiahkan pada Baginda Alam Nabi Besar Muhammad Saw sebagai Nabi yang membawa panji-panji kebijaksanaan.
Di Bayanlah peneliti mendapat banyak ilmu, seperti ilmu mencintai alam dan sesama, berjiwa besar, bersahaja dan tak boleh sombong, konsisten, pandai berterima kasih, hidup selaras yang kadang kala harus mentertawakan hidup dan menseriusi hidup serta banyak ilmu lainnya lagi.
Terima kasihku untuk mereka yang membuat tulisan ini selesai. Bermula untuk seorang dosen yang tak mau di anggap dosen, ia adalah Mas Yusuf Effendi, M. Hum yang membimbing saya dengan gembira. Bapak Dosen Lalu Istiqlal, M. Si yang tetap tersenyum sejak survey lapangan sampai dengan pertemuan terakhir Mata Kuliah Metodelogi Penelitian Sosiologi di lantai II STKIP Hamzanwadi Selong. Juga teman-teman kelompokku seperti Baiq Fina Novita Dewi, M. Ramli, Nurhidayati, Nuril Barziah, Rabihatun, Rodi Hartono, Pahruddin, Sabariah, dan Saharudin yang selalu bersemangat dan senyum sumringah ketika memakai kemben dan sapuk juga dodot selama di Bayan. Tak kulupakan Raden Putra Gede atas segudang referensi cerita tentang Bayan dengan tawa lepas dan penuh guyonan, Raden Sumbawa dengan kebaikan hati dan beremnya, Dende Ayu atas logistiknya, Kadus Bayan Timur atas tumpangan tidur di sekenem-nya, juga pada semua bajang dan dende Bayan. Terima kasihku untuk kalian semua, semoga kebaikan dan kebijaksanaan tetap bersatu pada raga dan jiwa kalian.
Lebih serius lagi, terima kasihku untuk ibuku yang mengayomiku dengan kekhawatiran yang menyayangi. Bapakku yang menjagaku dengan keperkasaan yang membahagiakan. Paling serius, terima kasih terbesarku untuk semua masyarakat Bayan yang mau berbagi ilmu, cerita dan tawa. Tulisan ini kupersembahkan untuk kalian semua, mari kita bermain bersama, memaknai bersama, semoga bahagia.



Pancor sore hari, 27 Juli 2009

Janual Aidi














PENDAHULUAN

1.1 The Backround of Study
Latar belakang ini saya awali dengan sedikit mengajak kita menaruh telunjuk di kening atau di kepala layaknya adegan pada poster Albert Einstein. Dengan kata lain, mengajak kita bepikir secara refresh ataupun spontanitas. Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar Wetu Telu atau mungkin juga bagi mereka yang pertama kali mendengar istilah asing ini? Lalu apa adjustment kita padanya? Terakhir, dari pikiran terlintas dan adjustment tersebut apakah kita sebenarnya tahu betul tentang basic dari Wetu Telu sehingga membuat kesimpulan datar?
Banyak orang berbicara datar tentang Wetu Telu, tetapi tidak sedikit pula diantara mereka yang awam akan basic Wetu Telu tersebut. Gambaran umum inilah yang sebenarnya melatarbelakangi peneliti untuk ingin lebih jauh mendalami dunia Wetu Telu sehingga nantinya menjadikan peneliti sendiri bukan sebagai bagian dari “mereka” yang awam, terlepas dari hukum syari’ah yang umum di gunakan oleh kaum muslimin dunia atau Indonesia. Demikian latar belakang singkat namun jelas ini kami susun semoga mendapat kritik membangun akan dunia tulis-menulis.

1.2 Permasalahan
Dari paparan latar belakang di atas, bahasa penulis melihat kenyataan pemahaman awam akan Wetu Telu adalah adanya “keributan adjusment” khususnya dalam tubuh masyarakat Sasak sendiri. Jadi, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana sesungguhnya kosmologi Wetu Telu sehingga kemudian mereka menjalankan beberapa ritual dalam bangunan tradisi dan apa saja jenis ritual yang mereka lakoni dalam bangunan tradisi?
PEMBAHASAN

2.1 Kosmologi Wetu Telu
A. Asal-Usul
Masyarakat adat Wetu Telu di Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan kelompok sosial yang sampai hari ini masih teguh memegang tradisi yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Komunitas ini mempraktikkan sebuah “agama adapt” yang terbentuk dari sinkretisasi beberapa pengaruh, yaitu animisme, ajaran Hindu, dan ajaran Islam (Cederroth, 1996). Namun, dalam perkembangannnya pengaruh Islam lebih kuat, sehingga kepercayaan yang dianut komunitas ini kemudian lebih dikenal sebagai Islam Wetutelu.
Mengenai kapan persisnya ajaran Wetu Telu berkembang di Pulau Lombok, belum ditemukan sumber-sumber valid yang dapat menjelaskannya. Memang, ada beberapa pendapat yang berusaha menjelaskan masalah ini, namun upaya tersebut masih berujung pada hipotesis semata. Untuk sampai pada keterangan kapan mulai berkembangnya ajaran Wetu Telu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat konteks historis ketika Pulau Lombok berada dalam pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar.
Dilihat dari sejarahnya, Pulau Lombok senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan luar yang lebih besar. Dalam kitab Negarakertagama, dijelaskan bahwa pada abad ke-15 M Pulau Lombok sudah berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit dari Jawa. Klaim ini cukup beralasan, karena jika dilihat dari kebudayaan yang dipraktekkan masyarakat Sasak Lombok saat ini, akan ditemukan pengaruh Jawa yang sangat kental. Jejak-jejak pengaruh Jawa dapat ditemukan pada sejumlah hal, misalnya penanggalan yang menggunakan sistem kelender Jawa dan upacara-upacara adat yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Prasetia, 2005).
Setelah kekuasaan Majapahit mulai menyusut di Lombok, gelombang pengaruh dari Jawa selanjutnya adalah datangnya agama Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen, utusan Susuhunan Prapen, penguasa Kerajaan Islam di Jawa sekitar abad ke-16 M. Kedatangan Islam tersebut menuai respon yang berbeda-beda dari masyarakat Sasak Lombok. Menurut pendapat Telle (2000), ada tiga model respon masyarakat Sasak terhadap pengaruh Islam tersebut, antara lain: pertama, golongan orang Sasak yang menerima sepenuhnya ajaran Islam –yang kemudian disebut sebagai golongan Islam Waktu Lima; kedua, golongan Boda yang menolak ajaran Islam dan memilih menyingkir ke gunung-gunung untuk menghindari proses Islamisasi; dan ketiga, golongan Islam Wetu Telu yang menerima pengaruh Islam tidak secara total, karena di sisi lain mereka masih meyakini ajaran lamanya.
Namun, pendapat Telle di atas mendapat sanggahan dari John Ryan Bartholomew. Dalam bukunya yang berjudul Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (2001), Bartholomew menganggap bahwa antara golongan Islam Waktu Lima dan Wetu Telu saat kedatangan Islam pertama kali di Pulau Lombok tidak pernah hidup pada masa yang sama. Tipe Islam pertama yang dipratekkan di Lombok adalah Islam Wetu Telu. Waktu itu, kepercayaan terhadap ajaran adat masih kuat dalam kehidupan masyarakat Sasak –sehingga jika Islam diterima secara penuh-- dikhawatirkan akan merusak kepercayaan dan struktur sosial yang sudah ada. Islam Waktu Lima diduga baru berkembang pada abad ke-17 M, ketika kesultanan-kesultanan dari Sulawesi secara massif melakukan Islamisasi di wilayah Lombok. Hal ini tidak murni disebabkan oleh alasan keagamaan, tetapi juga didasari oleh motif politik dan kekuasaan. Sebab, kesultanan-kesultanan Islam dari Sulawesi waktu itu tidak ingin Lombok jatuh ke dalam kekuasaan Kerajan Hindu Klungkung di Bali.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan tiga hal penting, yaitu: pertama, Islam Wetu Telu kemungkinan besar lahir dari sinkretisasi antara ajaran leluhur, ajaran Hindu yang dibawa orang-orang Majapahit, dan pengaruh Islam awal yang dibawa oleh orang-orang Jawa; kedua, sebelum gelombang Islamisasi tahap kedua yang dilakukan oleh kesultanan-kesultanan Islam Sulawesi, Islam mayoritas yang berkembang di Lombok adalah Islam Wetu Telu; dan ketiga, sejak Islamisasi gelombang kedua berlangsung, jumlah penganut Islam Wetu Telu semakin berkurang karena persaingan antara Islam Wetu Telu dengan Islam Waktu Lima di Lombok cenderung dimenangkan oleh Islam Waktu Lima yang dari awal didukung oleh penguasa-penguasa lokal yang memihak Islam Waktu Lima. Dalam hal ini, penulis menukil sebuah pendapat dari tokoh Dahrendorf (1959) bahwa “hubungan kekuasaanlah (control)-bukan kepemilikan yang melandasi konflik.
Kecenderungan di atas terus berlanjut hingga Pemerintah Kolonial Belanda mulai menguasai Lombok pada abad ke-19 M, tepatnya sejak tahun 1894. Dengan didukung pemerintah Belanda, tokoh-tokoh Islam Waktu Lima Sasak secara sistematis melakukan upaya-upaya tertentu untuk memperlemah pengaruh Islam Wetu Telu, bahkan seringkali menggunakan cara-cara pemaksaan. Dukungan Belanda tersebut semata-mata bersifat politis, karena pada waktu itu kelompok Islam Wetu Telu merupakan pendukung setia Kerajaan Klungkung Bali, pesaing utama Pemerintah Belanda yang sama-sama ingin menguasai wilayah Lombok. Setelah Pemerintah Belanda berhasil menaklukkan Kerajaan Klungkung dan benar-benar menguasai Lombok, jumlah kelompok Islam Wetu Telu semakin menurun (Bartholomew, 2001). Kondisi ini terus terjadi pada periode-periode selanjutnya.
Sampai menjelang tragedi September 1965, populasi komunitas Wetu Telu masih cukup banyak, yaitu mencapai 20 persen dari total penduduk di Lombok. Namun, dua tahun setelah tragedi tersebut, populasi komunitas ini merosot tajam hingga hanya sekitar 1 persen saja. Ada dua hipotesis yang dapat diajukan terkait dengan penurunan jumlah yang drastis tersebut. Pertama, para pengikut Wetutelu banyak yang terbunuh karena dijadikan sebagai kambing hitam oleh kelompok Islam mayoritas –yang secara sepihak dihubung-hubungkan dengan PKI dan ormas-ormasnya (Grace, 2004). Kedua, mereka dipaksa melakukan “konversi iman” oleh kelompok mayoritas (Islam Waktu Lima) (Prasetia, 2005a).
Saat ini, mayoritas komunitas Islam Wetu Telu tinggal di Bayan, sebuah daerah yang terletak di kaki Gunung Rinjani, dan berada di pinggir Pulau Lombok sebelah utara (kini masuk pada Kabupaten Lombok Utara). Daerah ini menjadi semacam benteng terakhir bagi komunitas Wetu Telu untuk mempertahankan kepercayaan dan identitas mereka dari penetrasi pengaruh Islam Waktu lima. Di kecamatan ini juga terdapat “Masjid Bayan Beleq”–masjid adat yang menjadi pusat kegiatan keagamaan komunitas Wetu Telu di Bayan.
Mengapa komunitas ini dimusuhi oleh kelompok Islam mayoritas meskipun dalam interaksi sosial sebenarnya mereka tidak berbahaya? Jika ditelusuri lebih jauh, hal ini tidak dapat dipisahkan dari rancang bangun negara Indonesia yang mewajibkan rakyatnya untuk memeluk “lima agama” yang diakui oleh negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha). Karena Wetu Telu merupakan “agama adat” yang secara ajaran berbeda dengan “Islam formal” telebih lagi hanya dipraktekkan oleh kelompok minoritas, maka agama ini dianggap tidak sah. Oleh kelompok mayoritas, istilah Wetu Telu sering diplesetkan menjadi “waktu telu” (waktu tiga) yang berkonotasi pada beberapa persepsi, di antaranya: hanya menjalankan tiga rukun Islam saja (syahadat, shalat, puasa), atau hanya menjalankan shalat tiga kali sehari ataupun sinkretisasi tiga agama, yaitu Islam, Hindu, dan Animisme (Prasetia, 2005).
Di tengah diskriminasi sosial yang sampai saat ini masih dialami, komunitas Wetu Telu tetap berusaha mempertahankan keyakinannya dengan metode resistensi yang produktif, yaitu melalui pewacanaan konsep Wetu Telu menurut versi mereka sendiri. Menurut Foucault (1973), wacana memberikan bentuk terhadap obyek yang dibicarakan, sehingga pembentukan wacana selalu terkait dengan kuasa. Namun, kuasa tidak selalu berkonotasi represif, karena dalam konteks tertentu bersifat produktif, yaitu sebagai sarana untuk membentuk subjektivitas dan identitas. Upaya meluruskan kesalahpahaman kelompok Islam mayoritas terhadap konsep Wetu Telu yang dilakukan oleh penganut Islam Wetu Telu dalam terang pemikiran Foucault merupakan strategi resistensi agar identitas sosialnya tetap terjaga.
Pertama-tama penganut Islam Wetu Telu meluruskan pengucapan yang salah terhadap istilah Wetu Telu, bukan “Waktu Telu”, melainkan “Wetu Telu”. Meskipun secara fonologis kedua istilah tesebut hampir sama, namun secara makna keduanya jauh berbeda. Istilah Wetu Telu menurut penganutnya sendiri merujuk pada tiga pilar utama ajaran mereka. Di kalangan penganut Wetu Telu sendiri terdapat dua versi terkait dengan pemaknaan istilah telu (tiga) tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa Wetu Telu adalah representasi dari Allah, Adam, dan Hawa. Sedangkan pendapat yang kedua menganggap Wetu Telu merujuk pada tiga siklus utama dalam kehidupan manusia, yaitu menganak (kelahiran), menteluk (bertelur), dan mentiuk (bertumbuh). Kata wetu dalam pendapat yang kedua berasal dari kata metu yang artinya keluar –yang berkonotasi pada tiga proses mewujudnya isi dunia ini (Budiwanti 2000; Prasetia, 2005).
Konsep tersebut merupakan inti dari ajaran Wetu Telu, yang selanjutnya turut menentukan bagaimana para penganutnya membentuk sebuah sistem pandangan dunia atau kosmologinya. Jika merujuk pada penjelasan di atas, terutama definisi Wetu Telu menurut pendapat yang kedua, jelas terlihat bahwa dunia dan kehidupan ini terbentuk melalui siklus tiga tahap di mana antara yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Selanjutnya, akan dibahas secara lebih lengkap bagaimanan penganut Wetu Telu mengkonstruksi dunia dan kehidupannya, yang merupakan operasionalisasi lebih lanjut dari tiga pilar utama ajaran yang dianutnya.
B. Konsep Kosmologi Wetu Telu
Dalam komunitas Wetu Telu, tidak semua orang memiliki otoritas untuk menafsirkan ajaran yang mereka yakini. Menurut keyakinan mereka, agama adalah sesuatu yang esoterik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan tentangnya. Terkait hal ini, ada beberapa sumber otoritaritatif yang dijadikan rujukan para penganut Wetu Telu di Bayan, yaitu Pemangku Adat Bayan Agung, Pemangku Karangbajo, Pemangku Karangsalah, dan Penghulu yang dipandang sebagai pemilik dan penjaga pengetahuan yang terpercaya (Budiwanti, 2000). Pihak-pihak itulah yang juga memiliki otoritas untuk membuat wacana mengenai konsepsi sistem pandangan dunia penganut Wetutelu yang benar di tengah maraknya penafsiran yang diskriminatif dari kelompok Islam mayoritas (Waktu lima). Jika para penganut Islam Waktu Lima menafsirkan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap seluruh tata cara peribadatan menjadi tiga, maka para pemangku menolak dengan tegas tuduhan tersebut, karena mereka memiliki model penafsiran yang berbeda.Istilah “telu” sering dikonotasikan dengan waktu oleh penganut Islam mayoritas, sehingga Wetu Telu dianggap sebagai sistem kepercayaan yang mereduksi segala sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak demikian. Menurut para pemangku adat, “wetu” berasal dari kata “metu”, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan “telu” artinya tiga. Secara harfiah, istilah tersebut merujuk pada tiga tahap dalam siklus reproduksi, yaitu “menganak” atau melahirkan seperti manusia dan mamalia, “menteluk” atau bertelur seperti burung, dan “mentiuk” atau tumbuh seperti bijian-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan secara umum. Manusia dan hewan lahir dan bertelur, sedangkan tumbuhan berasal dari biji. Semua mahluk yang tercipta melalui tiga hal tersebut memiliki caranya masing-masing untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Masyarakat adat Wetu Telu menyadari hal ini, sehingga muncul keyakinan bahwa manusia dapat hidup secara nyaman di dunia asalkan mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan mahluk-mahluk hidup lainnya (Budiwanti, 2000; Prasetia, 2005a, 2005b). Sedangkan jika dilihat secara maknawi, istilah Wetu Telu memiliki makna yang lebih rumit. Wetu Telu tidak hanya menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, tetapi juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan mahluk hidup untuk berkembang biak melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Dengan demikian, Wetu Telu juga menjelaskan tentang ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menjelaskan hal ini, pemangku adat membagi wilayah kosmologi menjadi dua kategori, yaitu jagad besar (mayapada) dan jagad kecil. Jagad besar, atau alam raya terdiri dari dunia, matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya. Sedangkan jagad kecil merujuk pada manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya yang sepenuhnya tergantung kepada alam semesta. Ketergantungan ini menyatukan dua dunia tersebut dalam sebuah kondisi homeostatis atau keseimbangan –dan melalui keseimbangan tersebut tatanan alam semesta bekerja. Satu hal penting yang harus diketahui juga adalah bahwa keseimbangan alam semesta tersebut dapat terwujud karena kemahakuasaan Tuhan.
Ketergantungan kehidupan (jagad kecil) kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan mutlak jagad kecil atas sumber daya penting yang dimiliki jagad besar, seperti tanah, udara, mineral, api, dan sinar matahari. Ketergantungan ini berlaku bagi jagad besar yang tergantung dengan jagad kecil dalam bentuk pemeliharaan dan pelestarian. Dalam konteks ini, peran manusia sangat vital. Apabila manusia sebagai komponen penting dari jagad kecil menuruti nafsunya dalam bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap jagad besar, maka keseimbangan kosmos akan terganggu. Rusaknya harmoni kosmos secara langsung dapat dilihat dari seringnya terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya, karena manusia tidak bertanggungjawab atas pemeliharaan alam semesta. Sebuah ilustrasi menarik tentang pentingnya menjaga keseimbangan kosmos disampaikan oleh Pemangku Adat Bayan dalam kalimat seperti ini: “Sebagai manusia kita membutuhkan tanah di mana kita bisa menyemai dan menumbuhkan benih-benih yang kita tanam, air untuk menguncupkan dan mengembangkan benih tersebut, dan sinar matahari untuk mematangkan padi dan buah” (Budiwanti, 2005).
Selain penjelasan tentang ketiga jenis mekanisme reproduksi dan kointerdependensi antara jagad besar dengan jagad kecil, komponen kepercayaan kosmologi Wetu Telu juga menjelaskan tentang konsep Simpanan Wujud Allah, yaitu manifestasi kebesaran dan kekuasaan Allah dalam sosok Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam merepresentasikan garis keturunan ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa merepresentasikan garis keturunan ibu atau perempuan. Dengan demikian, iman kepada Allah –dalam keyakinan penganut Wetu Telu-- juga berarti mengakui penciptaan Adam dan Hawa.
Tripilar ini selanjutnya menjadi inti dalam ajaran Wetu Telu, sebagaimana tertuang dalam Lontar Layang Ambia. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa Tuhan menciptakan Adam dari segenggam tanah liat, dan pada hari keenam Dia meniupkan ruh kepada Adam. Lalu Adam menjadi mahluk hidup atau manusia pertama. Setelah Adam tercipta, Tuhan selanjutnya menciptakan Hawa, yang diambilkan dari bagian tubuh Adam –tetapi dalam lontar tersebut tidak dijelaskan dari bagian tubuh Adam yang mana Hawa diciptakan (Budiwanti, 2005). Satu komponen penting lainnya yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetu Telu adalah kepercayaan terhadap dunia roh. Dalam kepercayaan Wetu Telu, kehidupan ibarat sebuah aliran yang bersifat kontinyu –di mana kehidupan itu sendiri digerakkan oleh kekuatan yang disebut spirit atau jiwa. Selama manusia masih hidup, jiwa menyatu dengan tubuh, meskipun dalam kondisi tertentu jiwa meninggalkan tubuh untuk sementara waktu ketika manusia sedang tertidur. Jiwa akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya. Setelah manusia meninggal, jiwa akan terpisah selamanya dari tubuh, namun ia tetap eksis karena sifatnya yang abadi. Jiwa memang telah meninggalkan dunia menuju alam yang lain, namun ia dapat kembali ke dunia ini dalam waktu-waktu tertentu dan dapat berinteraksi dengan keluarganya yang masih hidup di dunia. Bahkan, jiwa atau roh orang yang sudah meninggal dapat marah dan menghukum orang yang masih hidup ketika eksistensinya diganggu (Cederroth, 1996). Untuk itu, bagi para penganut Wetu Telu, menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur adalah kewajiban, karena ketika hubungan itu terganggu akan berdampak buruk bagi kehidupan orang yang masih hidup. Upaya menjaga hubungan antara orang yang masih hidup dengan arwah leluhur agar tetap harmonis tersebut diimplementasikan dalam ritual-ritual paska kematian yang secara lebih lengkap akan dijelaskan di bagian selanjutnya.
Keyakinan para penganut Wetu Telu terhadap keabadiaan arwah leluhurnya yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia material) dan alam halus (dunia arwah). Alam kasar adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh indra manusia, sedangkan alam halus adalah dunia yang tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Hanya orang-orang tertentu saja, yaitu para pemangku adat yang dapat mengetahui dan merasakan alam halus ini. Dengan kata lain, alam kasar adalah tempat bagi manusia yang masih hidup, sedangkan alam halus adalah tempat bersemayam bagi arwah para leluhur penganut Wetu Telu (Cederroth, 1996; Budiwanti; 2000).
Kematian adalah transisi dari alam kasar menuju alam halus. Jiwa berpindah ke tahap yang lebih tinggi. Jiwa yang mendiami alam halus ini bersifat abadi. Jiwa yang demikian selanjutnya disebut roh halus. Ketika manusia masih hidup, jiwa masih menyatu dengan raga, dan bersatunya antara jiwa dan raga itu disebut sebagai alam pertama. Alam yang kedua adalah kematian, ketika jiwa terpisah dari raga. Untuk mencapai alam yang ketiga, yaitu alam halus, orang yang sudah meninggal harus mengalami ritual-ritual paskakematian (gawe pati) beberapa kali setelah kematiannya. Rangkaian ritual tersebut dilaksanakan oleh anggota keluarga yang masih hidup agar orang yang sudah meninggal jiwanya mendapat tempat di alam halus (Budiwanti, 2000). Para penganut Wetu Telu di Bayan meyakini bahwa leluhur mereka yang sudah tinggal di alam halus mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak jauh beda dengan keistimewaan keyakinan orang Madura ketika keluarganya meninggal dunia (dapat dilihat dalam buku Folklor Madura karangan Emha Ainun Nadjib). Penganut Wetu Telu meyakini bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Karena keyakinan tersebut, orang Bayan tidak boleh melupakan leluhurnya karena hal itu adalah pantangan (pemalik) yang jika dilanggar dapat menimbulkan malapetaka bagi anak turun yang masih hidup. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus dijaga secara terus-menerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti kepercayaan kosmologi penganut Wetu Telu secara garis besar merentang pada empat hal mendasar sebagai berikut: pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis antara jagad besar dengan jagad kecil; ketiga, iman kepada Allah, Adam, dan Hawa; dan keempat, kepercayaan terhadap roh leluhur yang bersifat kekal. Berdasarkan konsepsi ini, menurut Budiwanti (2005) kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik konsep kosmologi Wetutelu.
C. Implikasi Sosial
Sebagai sebuah sistem pandangan dunia yang sampai sekarang masih melekat kuat dan diyakini secara konsisten, konsepsi kosmologi Wetu Telu sebagaimana dijelaskan di atas tentunya berimplikasi pada kehidupan sehari-hari para penganutnya. Implikasi yang paling tampak dapat dilihat pada ritual-ritual atau tradisi tertentu yang dilaksankan oleh para penganut Wetu Telu.
Dalam kehidupan masyarakat Wetutelu, sebenarnya terdapat banyak sekali ritual, namun ritual yang secara langsung berhubungan dengan sistem kosmologi Wetu Telu hanya ada beberapa saja, yang dapat digolongkan sebagai berikut: pertama, ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati; kedua, ritual untuk menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual pembangar.
1. Ritual peralihan individu
a. Ritual Gawe Urip
Dalam ritual “Gawe Urip” terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).
• Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orang tuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya. Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara diakhiri dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.
• Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru di-Islamkan.
• Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetu Telu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.
• Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.
b. Ritual Gawe Pati
Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetu Telu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan diakhiri pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).
Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetu Telu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, dimana untuk menuju kesana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.
Tata cara penyelenggaraan ritual penghormatan kepada arwah leluhur juga terdapat perbedaan antara kelompok Wetu Telu dengan kelompok Waktu Lima. Pada kelompok Waktu Lima, ritual pasca kematian diisi dengan acara tahlilan yang mengundang kerabat dan tetangga dekat pada hari ketujuh, kesembilan, kesepuluh, dan keseribu. Sedangkan pada kelompok Wetu Telu, bacaan doa hanya dipanjatkan oleh “kiai adat” selama berlangsungnya upacara. Sebab, hanya kiai adatlah yang sanggup melakukan komunikasi dengan roh para leluhur (Budiwanti, 2000).
2. Ritual Menjaga Keseimbangan Kosmos
Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetu Telu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil-- antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.
a. Ritual Tanam Padi.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetu Telu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang ada di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim. Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.
Masyarakat Wetu Telu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam, 2) ngaji makam tunas setamba yang dilakukan saat menyuburkan tanah, 3) ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetu Ttelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetu Telu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.
Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetu Telu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya. Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini penganut Wetu Telu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah. Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetu Telu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan meminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah “antenna”, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.
b. Ritual Selametan Kuta
Selametan kuta dilaksanakan sebagai sarana untuk mencegah dan menangkal segala musibah, penyakit, dan kemalangan yang dapat melanda sebuah desa. Upacara ini didasarkan atas keyakinan para penganut Wetu Telu yang menganggap bahwa setiap desa memiliki penghuninya sendiri-sendiri yang berasal dari arwah para leluhur dan makhluk halus lainnya. Jika manusia tidak mampu menjaga kelestarian tanah yang ditempatinya, maka arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut akan murka. Dampak dari kemurkaan tersebut dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan kemalangan-kemalangan lainnya yang menimpa seluruh warga desa. Untuk itu, perlu diselenggarakan selametan kuta yang berfungsi sebagai penangkal segala musibah dan kemalangan tersebut, termasuk yang dapat menyerang tumbuh-tumbuhan dan ternak.
Ritual selametan kuta dilaksanakan setiap tahun sekali dan bertempat di pintu masuk perbatasan sebuah desa. Ritual yang dipimpin oleh seorang pemangku adat ini diawali dengan membaca doa-doa tolak bala dan meminta berkah yang dipanjatkan kepada arwah para leluhur untuk kemudian disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan acara bersih-bersih desa dan ditutup dengan menyantap hidangan ketupat secara bersama-sama. Makanan ini secara simbolis mengekspresikan harapan penganut Wetu Telu agar Tuhan menghindarkan mereka dari segala malapetaka dan menganugrahkan banyak berkah setelah selametan kuta dilaksanakan. Jika dilihat sepintas, upacara ini mirip kerja bakti membersihkan desa dalam masyarakat lain di daerah mana pun, hanya saja diselenggarakan dengan tata cara yang lebih terstruktur. Satu hal yang juga penting disebutkan di bagian ini adalah tentang tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah yang diwarisi dari leluhur “haram” hukumnya untuk dijual. Jika hukum ini dilanggar, maka orang yang menjualnya akan terkena murka leluhurnya sehingga kehidupannya akan menuai banyak petaka.
Tanah bagi penganut Wetu Telu menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Sebab pada tanah-tanah itulah tertanam simbol-simbol keyakinan adat mereka. Pada tanah itu juga ikatan komunitas terbangun. Tanah-tanah inilah yang menopang sistem kelembagaan adat mereka. Dengan demikian, sebagai komunitas mereka tidak hanya memiliki sistem kepercayaan tertentu, namun juga memiliki imajinasi ruang tertentu pula. Keterikatan pada tanah memberikan rasa aman dan ikatan hubungan dengan para leluhur (Prasetia, 2005a). Namun jika ditelusuri lebih lanjut, larangan menjual tanah warisan leluhur juga mencerminkan semangat kearifan ekologis. Tanah dalam konteks Wetu Telu adalah sebagai sarana penopang kehidupan (terlebih lagi tanah tempat bercocok tanam), bukan untuk kepentingan yang lainnya. Sebab, ketika tanah tempat bercocok tanam digunakan untuk kepentingan lain, maka keseimbangan kehidupan akan terganggu. Hal ini sebenarnya logis adanya, karena ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka jumlah makanan yang diproduksi juga akan berkurang.
3. Ritual Penghormatan Roh Leluhur
Dalam penganut atau komunitas atau bisa juga disebut sebagai masyarakat Wetu Telu, berkembang keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini terdapat roh-roh leluhur yang menunggunya. Roh-roh tersebut bertempat tinggal secara berkelompok layaknya manusia. Mereka juga memiliki keluarga, kerabat, dan tetangga. Kepercayaan kepada roh penunggu bertempat tinggal di banyak tempat membuat komunitas Wetu Telu harus melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk meminta ijin kepada roh penunggu jika tempat tersebut akan difungsikan sebagai sawah, tempat pemukiman, membangun irigasi, dan lain-lain. Misalnya, jika masyarakat Wetu Telu akan memanfaatkan aliran sungai untuk keperluan irigasi, maka mereka wajib hukumnya melaksankan sebuah upacara yang disebut selametan subak. Ritual ini berupa pemberian sesaji kepada roh penunggu sungai agar bersedia memberi ijin bagi manusia untuk memanfaatkan air sungai tersebut. Jika ritual ini tidak dilakukan, maka roh penunggu sungai akan murka dan manusia yang memanfaatkan air sungai tersebut akan ditimpa malapetaka, yang biasanya berupa gagal panen jika air sungai digunakan untuk irigasi sawah (Budiwanti, 2000).Ritual lainnya yang masih terkait dengan upaya menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan roh-roh penunggu adalah ritual pembangar. Ritual ini dilaksanakan sebelum seseorang menggunakan sebidang tanah untuk keperluan bercocok tanam, memelihara ternak, atau membangun rumah (Prasetia, 2005a). Ritual ini dilakukan untuk mendapat persetujuan dari roh penunggu tersebut agar bersedia pindah tempat karena pekerjaan berat seperti menebang pohon, menggali tanah, membakar semak, dapat menggaggu ketenangan roh-roh tersebut. Menurut kepercayaan penganut Wetu Telu, jika ritual ini tidak dilaksanakan, roh-roh penunggu tersebut akan marah dan cepat atau lambat akan mengancam kesejahteraan manusia yang menghuni tempat tersebut. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Wetu Telu di Bayan memraktekkan banyak ritual adat yang berfungsi sebagai pengendali tingkah laku manusia, tidak hanya berlaku bagi sesama manusia (hubungan dalam jagad kecil), tetapi juga dengan jagad besar. Tujuan dari diselenggarakannya ritual-ritual tersebut adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara berbagai unsur yang menopang eksistensi alam semesta.

2.2 Maulid Nabi Ala Adat “Wetu Telu”
Setiap tiba bulan Rabi’ul Awal, umat Islam di Tanah Air memperingati maulid atau hari lahirnya Nabi Muhammad Saw. Tak ketinggalan di Pulau Lombok propinsi Nusa Tenggara Barat yang dijuluki dengan Pulau Seribu Masjid. Berbagai kegiatanpun dilaksanakan, mulai dari membaca hikayat pada malam menjelang pelaksanaan maulid, lomba keagamaan, ngurisang (potong rambut) untuk bayi dan khitanan. Dapat dikatakan, bahwa selama bulan Rabi’ul Awal, langgar, musalla, pondok pesantren dan masjid di Lombok ramai dihadiri jama’ah. Dan tak lupa para ibu-ibu menghidangkan makanan untuk dikonsumsi setelah melangsungkan acara Maulid Nabi. Tetapi, suasana maulid nabi yang agak berbeda dilaksanakan oleh warga sekitar Desa Bayan Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (Khususnya Bayan Beleq). Sebuah komunitas penduduk “Wetu Telu”. Upacara inilah yang dikenal dengan sebutan “maulid adat Wetu Telu”. Prosesi maulid adat ini dilaksanakan pada bulan Mei minggu kedua, bertepatan dengan tanggal 15 Rabi’ul Awal 1430 Hijriyah. Acaranya disemarakkan dengan permainan Perisaian (temetian: bahasa Bayan) yang berlangsung dibeberapa tempat masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak Desa Sambik Elen, masjid kuno Desa bayan, Masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan di Desa Anyar. Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) yang terbuat dari kulit kerbau. Sementara “pekembar” berpungsi sebagai wasit sekaligus supporter bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama yang sekaligus membuatnya menarik, karena permainan khas Lombok ini bisasanya dilaksanakan siang atau sore hari. Susana menjadi semakin hidup oleh irama gamelan yang ditabuh sejak persiapan sampai usainya prosesi maulid adat. Beberapa wanita membimbing bocah kecil dan gadis remaja memukul dua buah gong musik tradisional, lalu melemparkan ayam bakar dan sejumlah uang kearah “sekaha” (penabuh). Tradisi maulid adat Wetu Telu di Bayan ini berjalan selama dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya (kayu aik), sementara hari kedua adlah do’a dan makan bersama yang dipusatkan di Masjid Kuno Bayan. Para peserta prosesi itu terdiri dari warga Desa Loloan, Desa Anyar, dan Desa Bayan. Mereka berkumpul di rumah besar (bale beleq atau lebih dikenal dengan sebutan kampu) kyai atau Lebe dengan membawa kayu bakar, beras, ketan, kelapa, ayam, kambing, dan bahan makanan lainnya. Kemudian bahan makanan yang terkumpul dimasak sebagai hidangan pada hari “H” perhelatan yang disebut dengan “mangan mulud”. Ternak sembelihan harus habis dimakan. Sedangkan jikalau berasnnya masih ada maka sisanya akan dimasukkan pada kas untuk biaya pemugaran “kampu” (bale beleq) dan rumah adat lainnya. Padi “bulu” yang dikumpulkan komunitas adat Wetu Telu ditumbuk di sebuah “rantok” (lesung seukuran sampan), dan acara ini dikenal dengan sebutan “menutu pare” yang dilakukan oleh para gadis dan kalangan wanita adat yang menggunakan pakaian “kemben” (secarik kain panjang yang digunakan menutup tubuh sampai di atas dada tanpa menggunakan BH sekalipun). Pada malam harinya, para pemuka agama dan adat yang terdiri dari kiyai, lebe, ketib dan modim berkumpul di Masjid Kuno yang terletak di sebuah bukit. Masjid Kuno Bayan yang dikelilingi beberapa kuncup makam itu berdiri sekitar abad 16 dengan materi bangunan umumnya terbuat dari bambu, berukuran 8X8 meter persegi. Pintu masuknya setinggi 1,10 meter dan atapnya menjurai ke bawah sekitar satu meter dari dasar bangunan. Itulah sebabnya, setiap orang memasuki ruangan masjid yang lantainya dari tanah ini, mau tak mau harus berjongkok.
Malam maulid adat, suasana rungan masjid yang tidak memiliki teras itu terkesan magis, apalagi alat penerang yang digunakan hanyalah lampu “jojor”, semacam obor kecil dengan sumbu yang terbuat dari kapas yang dilumuri minyak jarak dan dililitkan pada rautan bambu. Dalam suasana remang-remang para “petinggi agama” berdiskusi, dan tak lama kemudian mereka menggelar kain putih (langit-lanngit) yang dipasang setinggi satu meter. Setelah itu, panggul (umbul-umbul) yang dibalut benang putih, hitam, biru dan merah ditancap pada empat sudut di dalam banngunan masjid dan dilanjutkan dengan acara perisaian. Kesesokan harinya, acara puncak maulid adat diawali dengan pawai para pemmuka agama dan petugas lainnya dari rumah penghulu menuju ke Masjid Kuno sambil membawa hidangan (nasi dan lauk pauk) yang diletakkan pada “ancak saji” (terbuat dari bambu). Setibanya di masjid lalu salah seorang pemuka agama memimpin do’a. Seusai do’a acara dilanjutkan dengan makan bersama yang dikuti para jama’ah yang datang kemudian untuk menyantap hidangan yang telah disediakan. Tradisi maulid adat Wetu Telu di Bayan, menurut Itrawati Al-Bayani, salah seorang budayawan Bayan, mungkin tidak jauh berbeda dengan acara “sekaten” di Yogyakarta . Bahkan ada kemiripan dengan acara yang sama semasa kerajaan Demak, terlebih lagi jika dilihat dari hiburan yang melengkapi acara itu. ”Perbedaannya di Bayan lebih pada acaranya yang disesuaikan dengan tradisi setempat”, ungkap Itrawadi Al-Bayani. Bila ditelusuri lebih dalam, pelaksanaan maulid adat di Bayan, tercermin nilai-nilai moral yang melekat erat dalam kehidupan penduduk. Contohnya adalah dalam hal kebersamaan atau gotong royong yang mereka wujudkan dalam bentuk pengumpulan bahan makanan. Jumlah dan jenis sumbangan tidak ditentukan yang penting ihlas. Dan setidaknya dalam acara seperti itu terkumpul puluhan kambing, itupun belum termasuk ayam, beras, bumbu dan lainnya. Dalam menjalankan tradisi adat masyarakat Bayan mengenyampingkan perhitungan matematis dan ekonomis. Beban biaya terasa ringan oleh rasa kebersamaan dan hasrat tolong menolong mereka. Lebih dari itu, tradisi demikian amat membantu dalam kehidupan komunitas mereka, apalagi penganut adat Wetu Telu memiliki sekitar 20 acara rutin yang dilaksanakan tiap tahun, dan itu memerlukan dana yang cukup besar. Ketaatan masyarakat Bayan terhadap adat dan agama itu terlihat pula saat mengunjungi tempat tinggal para pimpinannya. Misalnya untuk memasuki “kampu” yang dihuni tokoh agama, maka siapapun dia harus mengenakan pakaian adat seperti sarung (khususnya sarung panjang yang dililit seperti pakaian khas Lombok yaitu “dodot”, sapok (ikat kepala) dan tanpa baju bagi para pria, serta semacam kemban (Jawa) untuk wanita. Selain itu komunitas adat Wetu Telu juga dilarang memakai celana dalam dan perhiasan. Aturan yang sama berlaku juga bila orang memasuki Masjid Kuno. Menapaki pintu Masjid Kuno para pemeluk menunjukkan penghormatannya pada sang Khaliq dengan berjalan menunduk. Memang pintu masjid itu nyaris tidak tampak karena atapnya yang menjurai ke bawah sekitar satu meter dari permukaan tanah. Ini membuat orang yang masuk mau tak mau harus menundukkan kepala. Sikap menunduk ditambah larangan-larangan tadi, adalah simbol penghormatan dan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khaliq, dan shalat itu juga sebenarnya cara menghambakan diri pada Sang Pencipta. Atas kehendaknya manusia itu ada, dan kepada-Nya pula manusia akan kembali. Konstruksi atap Masjid Kuno pun mencerminkan tingginya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat Bayan. Atap bangunan dengan kemiringan yang sangat tajam tampaknya mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah.
Ada tiga hal menarik yang ingin penulis sampaikan pada kesempatan ini. Yang pertama yaitu penganut Wetu Telu tidak bisa terlepas dari tuak ataupun berem (sejenis minuman keras tradisional). Dan dari cerita seorang masyarakat Bayan (peneliti lupa namanya) menceritakan bahwa Gubernur Nusa Tenggara Barat yaitu TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA pernah mengadakan pengajian umum di masjid Ancak (kalau tidak khilaf Ancak merupakan tetangga desa Bayan namun memiliki hubungan erat dengan Bayan dalam hal historis ataupun tradisi dan kepercayaannya) dan menyinggung keberadaan minuman keras tradisional yang telah membudaya tersebut agar di tiadakan. Namun setelah itu “petua-petua” Bayan berkumpul untuk merembukkan tawaran Gubernur tersebut hingga melahirkan kesimpulan untuk tidak mengindahkan ajakan Gubernur NTB. Rembuk bersama Gubernur NTB pun terjadi hingga malam hari dan memberi garis merah bahwa masyarakat Bayan (khususnya penganut Wetu Telu tidak bisa mengindahkan ajakan Bapak Gubernur dengan alasan bahwa minuman keras tradisional semisal tuak ataupun berem sangat sulit dipisahkan dengan masyarakat Bayan karena sudah mengakar budaya. Yang memperkuat alasan mereka untuk menentang keras ajakan Gubernur NTB adalah bahwa masyarakat Bayan dalam kesehariannya mengkonsumsi minuman keras tradisional (tuak dan berem) tidak pernah menimbulkan keributan, perkelahian ataupun konflik seperti halnya masyarakat lain yang mengkonsumsi minuman keras. Himbauan tentang minuman keras terhadap masyarakat Bayan juga ternyata pernah di sampaikan beberapa kalli oleh Kapolda NTB, namun hasilnya tetap nihil. Penginderaan peneliti sendiri tentang keberadaan masyarakat Bayan hubungannya dengan minuman keras tradisional (tuak dan berem) memang sudah sangat “menyatu”. Terlihat ketika peneliti baru saja menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di salah satu rumah penduduk (di sekenem Dende Ayu, Dusun Bayan Beleq Timur) yang langsung saja di suguhi oleh minuman keras tradisional. Apa yang peneliti dapatkan dari pengalaman pertama menginjakkan kaki di sekenem Dende Ayu atau Raden Sumbawa tersebut masih tidak seberapa dengan pengalaman peneliti ketika menghadiri dan menyaksikan langsung “Gawe Beleq” (sebuah tradisi yang dilakukan sekali dalam dua belas tahun, Gawe Beleq = pesta besar). Luar biasa!
Dalam Gawe Beleq tersebut tidak kurang dari lima puluh kerbau dan sapi yang di sembelih, belum juga dengan jumlah kambing, ayam dan lainnya. Tak kalah juga dengan jumlah minuman keras tradisional berem yang jumlahnya sampai berton-ton. Bahkan slenge’an dari masyarakat dan teman-teman yang ikut menyaksikan bergembira ria dengan berucap “mandi berem”. Sangat terlihat jelas pula adanya klasifikasi dari jenis minuman keras tradisional tersebut.
Hal kedua yang tak kalah menarik untuk di tampilkan dalam laporan penelitian ini adalah mengenai awig-awig (peraturan adat) yang tak membolehkan masyarakat atau pendatang untuk kada’ hajat (membuang kotoran) di aliran sungai khusus yang di gunakan untuk aktifitas keseharian seperti mandi, mencuci piring atau yang lainnya. Konsekuensi terhadap siapa saja yang melanggar awig-awig itu adalah terkena dengan “denda adat” seperti harus mengeluarkan “kepeng tepong” (uang yang berlubang), padi, satu ekor sapi dan lain-lain. Adapun “denda adat” tersebut diputuskan oleh mangku adat. Awig-awig semacam ini berlaku dari sejak dahulu dan konon pernah juga ada yang terkena, entah itu masyarakat bayan sendiri ataupun orang luar (pendatang). Maka, sejak awal masyarakat setempat atau pihak adat (mangku) akan memberitahukan awig-awig Bayan pada setiap tamu yang datang agar tidak melanggar dan terkena oleh hukum adat atau sanksi adat (denda adat). Awig-awig seperti ini di adakan dengan alasan bahwa jika nantinya musim kemarau datang dan air minum limit maka masyarakat atau siapa saja dengan enak dan mudah tanpa ragu-ragu untuk mengambil dan meminum air yang berasal dari aliran sungai yang sudah di larang untuk kada’ hajat (buang air besar). Inilah bagian dari potret kearifan lokal Bayan yang tak didapatkan di tanah Jakarta. Luar biasa! Applaus untukmu Bayan yang damai!
Dan hal menarik ketiga adalah penganut Bayan Wetu Telu tidak men-shalatkan jenazah keluarga ataupun masyarakatnya di masjid, melainkan di sekenem (rumah-rumahan tradisional Lombok, sejenis berugak yang memiliki tiang penyangga sebanyak “enem” = enam, bukan sekepat = “empat” sejenis berugak yang memiliki tiang penyangga sebanyak empat). Sekenem juga bisa di manfaatkan pada hal atau aktifitas lain seperti di manfaatkan sebagai tempat tokol-tokol (duduk-duduk) sambil bejorak (bersandau-gurau) atau tindok-tindok (berbaring) ataupun yang lainnya. Dalam pelaksanaan shalat jenazahpun hanya di lakukan oleh para kiai adat, dengan kata lain shalat jenazahnya di lakukan oleh pihak-pihak tertentu, bukan sembarang orang ataupun masyarakat lainnya juga pihak keluarga sekalipun. Tidak seperti di tempat lain atau kebiasaan umat Islam lainnya. Inilah hal-hal lain dari Bayan yang masih belum habis saya ketahui epistimeloginya. Membuat saya harus kembali ke tanah Bayan guna mengetahui dan belajar lagi tanpa harus langsung men-adjusment negatifnya karena terlihat sangat jauh berbeda dengan masyarakat lainnya (khususnya masyarakat Islam pada umumnya)
Nah, demikianlah sedikit ulasan Maulid Nabi ala adat Wetu Telu di Bayan dan sedikit tambahan cerita menarik yang mampu membuat bulu kuduk kita berdiri oleh kekhasan Bayan, yang bagi peneliti pribadi merupakan eksotisme kelebihan Bayan dibanding daerah lain di Lombok Pulau Seribu Masjid (terlepas dari hukum halal-haram), sebuah suguhan istimewa kearifan lokal (local wisdom) yang menurut penulis tak mudah untuk dikalahkan walau dengan menikmati wisata bahari bawah laut di Senggigi ataupun di Gili Trawangan sekalipun. Bayak hal yang dapat di ambil darinya. Mungkin juga menjadi inspirasi dan media keilmuan yang tiada habisnya. Sedangkan bagi wisatawan, Bayan merupakan area budaya (cultur area) dengan latar filosofis yang tinggi.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari penelitian ini saya menyimpulkan bahwa bagaimanapun derasnya arus moderenisasi, namun penganut Wetu Telu dalam keyakinan dan ritual-ritual tradisinya mampu bertahan sampai detik ini. Mereka tetap eksis pada dunia kosmologi mereka sendiri dan tak bisa lepas dari simbol-simbol mereka seperti sapok (ikat kepala), dodot (kain), kemben, tuak dan berem ataupun awig-awig serta ritual-ritual dalam tradisi mereka.
Hal lain yang membuatnya lebih menarik lagi adalah ketika mereka mampu membendung koersi dari penguasa setempat seperti Gubernur NTB ataupun Kapolda NTB tentang tradisi minuman keras tradisional yang mereka konsumsi dengan dalih yang cukup kuat dan masuk akal sehingga cukup mampu untuk membuat pihak penguasa berpangku tangan serta berpikir keras guna menghilangkan tradisi minum tuak dan berem yang di haramkan oleh agama Islam serta tradisi mereka men-shalatkan jenazah di sekenem (tidak di masjid seperti yang dilakukan oleh masyarakat Islam lain pada umumnya). Sebab, merekapun mengakui keberadaan mereka sebagai penganut agama Islam pula. Daawig-awig pun tetap mereka jalankan sampai saat ini.
Hasil penelitian ini akan jauh lebih bagus lagi manakala di lakukan lagi penelitian yang jauh lebih mendalam mengenai pemahaman “halal-haram” minuman keras tradisional tuak dan berem sebagai sebuah tradisi keterkaitannya dengan pengakuan mereka (penganut Wetu telu) tentang identitas ke-Islaman yang mereka yakini atau tradisi mereka men-shalatkan jenazah di sekenem (tidak di masjid).
Terakhir, peneliti sengaja tidak menaruh space kritik dan saran karena bagi peneliti pribadi hal-hal tersebut merupakan simbolisasi kesombongan seorang peneliti. Maka maafkan saya jikalau tidak mampu memberi kritik dan saran. Justru, saya sebagai peneliti awamlah yang seharusnya diberi kritik dan saran yang konstruktif atas kekurangan atupun kecerobohan dalam menyusun kata demi kata demi laporan penelitian ini.
Daftar Gambar
Berikut adalah beberapa gambar yang dapat saya suguhkan kepada khalayak semoga menjadi prasasti bagi masyarakat Bayan, saya pribadi juga masyarakat Pulau Lombok yang dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid.






Kebersamaan yang Masih Kental pada Masyarakat Bayan






Prosesi Penyembelihan Hewan Kerbau oleh Pemangku Khusus









Keakraban yang Belum Tentu Bisa Disaksikan di Tanah Jakarta













Yang Tak Terlewatkan

























Suasana Ketika Ada Acara Kematian
























Sebagian dari Suasana “Gawe Beleq”
Daftar Pustaka
Bartholomew, J.R., 2001. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Budiwanti, E., 2000. Islam Sasak: Wetu Telu ersus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.
Syakur, Ahmad Abd. 2006. Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak. Yogyakarta: Adab Press.
Sedayawati, Edi. Budaya Indonesia:Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pres.
Prasetia, H., 2005. Masyarakat Adat Wet Semokan: Di Tengah Ketegangan Antara Ujaran dan Ajaran, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-Hak Minoritas. Jakarta: Yayasan Interseksi Bekerjasama dengan Tifa Foundation.
Prasetia, H., 2005. Komunitas Wetutelu Lombok Bertahan di Tengah Badai. dalam Majalah Syir‘ah edisi Mei 2005.
2009. Kosmologi Wetutelu, Lomobok (Nusa tenggara barat). http: culture.melayuonline.com/?a...l=kosmologi...lombok -