Rabu, 24 Juni 2009

KONFLIK NW

KONFLIK NW
Oleh: Janual Aidi

“Apa yang terjadi apabila masa kini adalah dunia tadi malam?”
(John Donne, Devotions upon Energent Occasions)


Prolog
Kejadian ditahun 1998 lalu (bulan, tanggal, dan jam yang penulis lupa) merupakan kejadian bersejarah bagi Nahdlatul Wathan . Ketika itu penulis menyaksikan sendiri keributan tragis dari sepanjang jalan perempatan Masjid At-Taqwa Pancor sampai dengan depan Pantai Asuhan Darul Aitam NW Pancor . Keributan-keributan tragis tersebut beragam. Mulai dari pengganyangan sampai dengan pembakaran barang-barang milik toko “Hikam” oleh masyarakat desa Pancor yang sebenarnya menurut penulis saat itu sebagian besar masyarakat yang ikut mengganyang tersebut tak tidak tahu persis pangkal masalah interen NW. Klimaks dari konflik interennya adalah ketika tubuh NW terpecah menjadi dua yakni NW Pancor yang saat itu dibawah pimpinan Ummi Hj. Siti Rauhun, S. Ag dan NW Anjani yang berada dibawah pimpinan Ummi Hj. Siti Raihanun. Kejadian yang tak kalah tragisnya adalah ketika terjadi perang saudara antara NW Pancor dengan NW Anjani dibeberapa daerah seperti di desa Wanasaba, Pao’ Lombok dan lain sebagainya. Perang saudara tersebut tidak hanya merenggut nyawa antar kedua belah pihak, namun lebih dari itu bahwa perang saudara tersebut telah melahirkan kebencian “real” antar ummat yang kemudian menimbulkan konflik dan mencoreng nama baik pulau Lombok yang dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid” . Singkat cerita, kini NW bertubuh dua meski sekarang tidak pernah terdengar lagi konflik yang terjadi secara terang-terangan seperti dulu.

Sumber Masalah Pecahnya NW
Segala bentuk masalah atau konflik memiliki penyebab (causality). Kenyataan tentang konflik NW pun memiliki sebab (causality). Nah, konon konflik yang terjadi ditubuh NW ditengarai oleh “pihak ketiga”. Oleh masyarakat Pancor dan sebagian besar masyarakat umum lainnya telah melacak dan mengetahui “pihak ketiga” tersebut. Mereka adalah “orang-orang” yang memiliki kepentingan untuk bisa memegang, mengendalikan dan menguasai NW. Jadi menurut penulis, konflik terpecahnya NW menjadi dua kiblat adalah didasari oleh adanya kepentingan pihak tertentu akan hasrat ingin menguasai NW.
Nah sekarang jelaslah sumber masalah dari terpecahnya NW, bahwasanya ada “pihak ketiga” yang ingin menjelmakan dirinya menjadi “raja NW baru”.

Analisis
Jika melirik dari prolog dan sumber masalah di atas, maka dapat dikatakan analisisnya bahwa sesungguhnya kepentingan yang berbeda dan hasrat ingin mendominasi, menghegemoni dan menguasai yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun institusi adalah awal mula atau sumber terjadinya konflik. Artinya, bukanlah semata bahwa konflik dilatarbelakangi oleh hubungan kepemilikan. Penulis setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh tokoh Ralf Dahrendorf (1959) bahwa “hubungan kekuasaanlah, bukan kepemilikan-yang melandasi konflik sosial.
Pada konteks konflik terpecahnya NW pun terlihat adanya kecenderungan “pihak ketiga” untuk mendominasi ataupun menguasai NW. Cara yang ditempuh oleh “pihak ketiga” untuk mendominasi NW dengan cara “tacid collution” (dilakukan tersamar) yakni memperkeruh suasana batin antara Umi Hj. Siti Rauhun, S. Ag dan Umi Hj. Siti Raihanun. Dan setelah salah satu atau keduanya terpengaruh maka “pihak ketiga” dengan tanggap menyusun strategi guna dikenal oleh publik dan untuk mencalonkan serta menjelmakan diri menjadi “Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Pancor”. Hal ini sesuai dengan asumsi Dahrendorf yakni masyarakat atau sistem sosial dalam keadaan dinamis dan memiliki potensi konflik serta disintegrasi. Keteraturan dan keharmonisan yang selama ini tampak pada NW terjadi karena adanya “koersi”. Sebelumnya, jama’ah NW tidak pernah berkonflik karena ada “koersi” (paksaan) dari Pengurus Besar NW agar tidak berkonflik. Maka, tiap posisi sosial memiliki otoritas tersendiri yang bukan ditentukan oleh individu, melainkan oleh posisi yang disandang individu. Dalam hal ini, posisi jama’ah Nahdiyyin dan Nahdiyyat terlihat seperti sami’na wa ato’na (mendengar dan mentaati) terhadap perintah dari Pengurus Besar NW bukan atas dasar kesadaran dari eksistensi diri para jama’ah Nahdiyyin dan Nahdiyyat agar menjadi jama’ah yang “manggut” alias patuh.
Nah, posisi jama’ah nahdiyyin dan nahdiyyat tersebut dalam pandangan Dahrendorf tentang bentuk kepentingan dapat dikategorikan dalam bentuk kepentingan tersembunyi. Maksudnya adalah ada kepentingan terhadap jama’ah NW akan harapan peran yang tidak disadari oleh para nahdiyyin dan nahdiyyat. Yang terombang-ambing di tengah konflik adalah pengikut (jama’ah).
Nah, inilah yang tampak pada konflik perpecahan ditubuh NW. Terlepas dari kekisruhan di atas, konflik pada pemahaman teori konflik adalah bersifat “positif”. Pemahaman tentang “konflik itu positif” adalah kesimpulan akhir tentang deskripsi ataupun analisis tentang teori konflik dalam melirik kasus konflik NW. Maka, jikalau menggunakan konsep demikian, konflik NW bukanlah “bencana atau musibah” tetapi sesungguhnya “berkah” bagi NW. Dan terpecahnya NW menjadi dua bagian menjadikan NW lebih banyak di ketahui dan dikenal oleh masyarakat luas. Mampu menciptakan jama’ah NW yang partisipatif, kritis dan benar-benar menjadi “orang NW” (bukan atas koersi Pengurus Besar NW), serta menjadi benar-benar mencintai, memakmurkan dan menjaga NW. Kini yang terlihat dan terdengar adalah “madrasah-madrasah” NW berada di segala penjuru pulau Lombok. Demikianlah deskripsi sekaligus analisis tentang konflik NW.

The Reason Using Conflict Theory
Melihat bentuk permasalahan yang terjadi ditubuh NW, maka menurut nalar penulis menggunakan pendekatan teori konflik merupakan choose (pilihan) yang tepat dalam menganalisis permasalahan NW. Sebab, apa yang tergambar dan terekam dalam peristiwa 1998 adalah sketsa-sketsa konflik. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa menggunakan pendekatan teori konflik Dahrendorf dalam melirik konflik NW merupakan sebuah alasan logis karena konflik NW telah menciptakan kutub-kutub positif bagi NW dalam perkembangannya. Konflik NW menjadikan NW menjadi lebih besar. Dan itu menandakan bahwa NW butuh konflik. Sederhananya adalah jika berbicara dan membahas konflik maka idealnya menggunakan pendekatan teori-teori konflik. Demikianlah pemahaman penulis.

Andai Aku Menjadi Gubernur

SEANDAINYA AKU MENJADI GUBERNUR NTB
“POTRET PENDIDIKANKU”

Setiap pergantian tahun, bulan, minggu, jam, menit, bahkan detik sekalipun akan melahirkan penggalan sejarah tersendiri bagi peradaban masyarakat. Kini, 2008 pun tiba. Tahun 2008 merupakan usia genap separuh abad bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Usia yang cukup tua namun belum mampu mendewasakan masyarakatnya. Beberapa kali pergantian Kepala Daerah pun bergulir, namun masyarakat belum secara merata dapat merasakan buah kerja dari para Kepala Daerah yang berada di atas kursi kekuasaan. Buktinya banyak masyarakat yang tidak tahu siapa nama “Gubernurnya, Bupatinya, Camatnya” bahkan ada pula yang tidak tahu siapa nama “Lurahnya” sendiri. Serta tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengenal dan belum pernah melihat wajah pemimpin-pemimpinnya (lebih-lebih secara dekat). Apalagi duduk berjamaah, berjabat tangan dengan pemimpinpun hanya pernah dilakukan oleh segelintir masyarakat saja. Atau mungkin juga masyarakat tidak pernah mendambakan kehadiran “Sang Pemimpin” dalam mimpi panjang yang indah layaknya “Sang Muhammad Nabiyulloh” yang selalu didambakan kehadirannya dalam setiap lelap tidur. Belum lagi kasus-kasus kecemburuan sosial yang dirasakan oleh masyarakat NTB terhadap para pemimpin-pemimpinnya. Mungkin di dalam benak para pemimpin NTB tidak pernah terbayang bahwa masyarakat kecil ingin sekali mencoba kendaraan dinas yang “berplat merah”. Andai angan masyarakat kecil tersebut bisa terwujud. Maka, tidak dapat dibayangkan kegembiraan masyarakat bawah ketika duduk berdampingan dengan pemimpinnya di dalam mobil dinas Pemerintah yang dibeli dari “uang rakyat”. Ada pembicaraan hangat di dalam mobil ber-AC sana, guyonan ringan, diskusi kecil atau curhat seorang kusir becak ketika dunia ini menuntut “motorisasi” sebagai standar global. Atau bahkan mungkin satu hasrat dari seorang anak yatim piatu untuk menjadikan Sang Gubernur menjadi “imam” tatkala datang waktu sholat Magrib dan beri’tiqaf bersama di masjid untuk menunggu datangya perintah Tuhan selanjutnya. Keindahan yang tak kan pernah bisa dilukiskan oleh tinta batin sekalipun. Kesejukan yang tak kan pernah bisa diraih di dunia manapun kecuali dunia cinta yang diisi oleh pemimpin yang mencintai rakyat dengan tulus dan rakyat yang mencintai pemimpin dengan kesetiaan.
Demikianlah prolog singkat yang semestinya disikapi dengan “fisibel”. Namun ada satu hal yang membuat penulis menganga, terkejut dan tersentak ketika membaca pengantar penyunting dalam sebuah buku yang berjudul “Orang Biasa yang Tidak Biasa; Inspirasi & Harapan”, memuat penggalan majalah TEMPO pada awal tahun 1990-an, yang mempelesetkan singkatan NTB menjadi (N)asib (T)idak (B)aik. Pemikiran penulis adalah majalah besar tekemuka tersebut tidak hendak bergurau. Tentu majalah besar tersebut sebelumnya pernah melirik tajam dengan pisau analisis tentang fenomena dan fakta sosial yang berlangsung di Bumi Gora. Secara akal sehat, orang lain tidak akan mungkin memvonis kita tanpa ada sebab yang jelas. Dan kita bersama tidak bisa menutup mata bahwa lebih dari 4 juta rakyat NTB hidup di bawah angka harapan hidup umumnya orang Indonesia (walaupun kita sama-sama yakin bahwa umur anak manusia berada di tanganNya). Jumlah bayi dan anak-anak merenggang nyawa tiap tahunnya. Bahkan Lombok menjadi salah satu daerah dengan kematian ibu dan bayi yang tertinggi di Indonesia dalam dasa warsa terakhir. Begitu pula dengan angka kawin-cerai, kawin muda, buta huruf, TKI dan TKW. Masih teringat pula dengan kabar yang tersiar di layar kaca oleh stasiun televisi swasta pada lembaran April 2008 tentang kasus busung lapar. Semua itu menjadi potret berkilau yang menyambar mata sehingga tak enak untuk dilihat. Menjadikan NTB menjadi daerah yang selalu jalan di tempat. Maka, menyikapi hal demikian sangatlah pantas untuk memposisikan semua lembar masalah tersebut sebagai ladang tanggung jawab besama (terlebih pemerintah Kepala Daerah Nusa Tenggara Barat).
Baiklah, berangkat dari realitas dan fakta sosial yang ada bahwa satu jawaban lurus atas segala macam masalah yang ada hanyalah dengan “mengeluarkan masyarakat NTB dari lembah kebodohan dan jurang pembodohan” yakni mengangkat masyarakat NTB menuju puncak pendidikan dengan kemuliaan ilmu. Terjadinya fenomena kawin-cerai, kawin muda, buta huruf, pengiriman TKI dan TKW secara besar-besaran adalah karena masyarakat kita belum terlalu dirasuki oleh ruh suci dari ilmu.
Berbicara masalah pendidikan, Pemerintah Daeah NTB seharusnya senantiasa aktif memantau berlangsungnya pembangunan ilmu, entah itu kontekstual manusia yang menuntut ilmu ataupu “acces” manusia NTB dalam memburu ilmu. Kalau diperhatikan betul, Pemerintah NTB selama ini cenderung meng”anakemas”kan sekolah-sekolah yang ada di Ibu Kota Provinsi. Dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-kanak (STK) sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) atau sederajat berdiri megah di sana-sini dengan bangunan yang seolah-olah “berbusung dada”. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba mentereng. Sedangkan bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah daerah lain di Bumi NTB masih terbilang 70% di bawah perhatian serius Pemerintah Daerah NTB terhadap “penganakemasan”sekolah-sekolah yang berada di Ibu Kota Provinsi. Ini menandakan belum meratanya sinar pendidikan di Bumi NTB. Dan tidak jarang pula kita temukan di media cetak fenomena para “pencari ilmu” yang rela berjalan sampai puluhan kilo meter demi memenuhi kehausdahagaan akan manisnya ilmu. Atau, seperti hasil penelitian kecil di Desa Selaparang Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 kemarin, menunjukan bahwa di desa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat satu Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Dengan kata lain, di Desa Selaparang tidak terdapat SLTP/sederajat ataupun SMU/sederajat. Padahal menurut Kepala Desa Selaparang, keberadaan sekolah lanjutan sangat diharapkan oleh masyarakat ataupun anak-anak generasi Desa Selaparang.
Pertanyaan yang muncul adalah, “bukankah Negara memiliki kewajiban untuk menjamin pendidikan bagi setiap warga negarnya dan bukankah para penguasa serta pemimpin mempunyai tugas berat yakni mencerdaskan anak bangsa?” Yang sering terlihat bukanlah para pemimpin yang memperjuangkan pendidikan tetapi malah sebaliknya menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang empuk untuk mengisi kantong satu kelompok atau saku perorangan hingga melahirkan kapitalisme pendidikan. Satu sikap “mazmumah” yang sangat kita sayangkan. Para pemimpin seharusnya mencontoh teladan ikhlas Tuan Guru atau Ustaz yang tulus menyemangati ummat. Agar, para pemimpin masa depan lebih bisa menghargai sebuah perjuangan untuk rakyat tanpa mencampur-adukkan tanggung jawab dengan racikan interest (kepentingan). Kalau diperhatikan reversal historical pendidikan, khususnya di Lombok, maka Tuan Guru dan Ustaz lah yang menjadi Prime Mover (penggerak utama) dalam mengentaskan kebodohan. Kritik yang tajam adalah Negara atau Pemerintah Daerah NTB jangan hanya menetapkan bumi, air, dan hasil kekayaan alam lain menjadi milik daerah NTB, tetapi Negara atau Pemerintah Daerah NTB juga seharusnya menjadikan dunia pendidikan yang belum merata tersebut sebagai “home work” dalam pertanggungjawaban sebagai Negara atau Pemerintah Daerah NTB (khusunya Kepala Daerah). Masih banyak daerah-daerah tepencil yang belum terjangkau oleh “keadilan”. Masih banyak pula daerah terpencil yang belum pernah dikunjungi oleh para pemimpin NTB. Bukankah semua kecamatan dan kelurahan di NTB ini adalah di bawah penguasaan Kepala Daerah NTB? Untuk itu, Kepala Daerah seharusnya sesering mungkin turun menginjak “tanah rakyat kecil”. Jangan terlena dengan empuknya kursi jabatan di dalam kantor yang berkeramik “pride” (kebanggaan). Karena sejatinya pemimpin adalah “pelayan rakyat”. Oleh karena itu, “pelayan rakyat” harus benar-benar melayani rakyat dengan baik.
Nah, untuk menunjukkan bahwa tanggal 7 Juli 2008 M atau bertepatan dengan 4 Rajab 1429 H sebagi titik awal dari SMART-nya NTB, maka lewat kaca mata sosiologi menawarkan agar Kepala Daerah NTB terpilih nantinya melakukan “prolog problem solving” yakni Kepala Daerah terpilih nantinya sesering mungkin melakukan “tamasya” (keliling dalam arti yang sesungguhnya) ke daerah-daerah pelosok NTB, baik itu ke Pulau Lombok ataupun Pulau Sumbawa. Sebuah “prolog problem solving” yang mungkin terlihat remeh. Tetapi jika dilirik secara tajam,”prolog problem solving” ini pun akan mampu membawa pada inspirasi-inspirasi jitu yang akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat NTB (misalnya, sinar pendidikan yang belum benderang dan merata). Hingga, permasalahan apa yang diinginkan oleh masyarakat NTB dapat di ketahui dan di dengar oleh Kepala Daerah (Pemerintah Daerah) sendiri. Secara langsung pun, Kepala Daerah akan terkesan demokrat dan merakyat. Efek lain dari “prolog problem solving” tersebut adalah masyarakat kecil akan tahu persis raut wajah Sang Gubernur yang gagah perkasa, dan tidak ada lagi masalah lucu tang serius seperti adanya masyarakat (rakyat) yang tidak menanda imamnya (pemimpinnya).
Penulis berdo’a dan berharap semoga Bapak Tuan Guru Bajang, TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA beserta pasangan serasinya bapak Ir. H. Badrul Munir, MM di beri izin oleh Alloh SWT untuk memimpin NTB ini. Sebab menurut hemat dan pemikiran penulis penulis adalah rakyat NTB (rakyat manapun) membutuhkan sosok pemimpin yang bukan hanya bisa mensejahterakan rakyatnya secara zohir saja melainkan membutuhkan sosok pemimpin yang juga mampu mensejahterakan rakyatnya secara batin (spritual). Pendidikan bagi penulis adalah kulit luar dan yang menjadi dagingnya adalah kesadaran (yang jauh lebih cepat diraih lewat spritual atau mungkin juga bisa dikatakan hanya bisa diraih lewat spritual). Ketika pendidikan dibangun tetapi tidak dibarengi dengan kualitas anak bangsa (pengertian pembangunan secara mental spritual), maka pendidikan di atas hanyalah perbendaan-tidak menggerakkan peradaban kualitas. Sebagai bukti, sudah berapa banyak orang pintar yang masuk penjara gara-gara KKN. Nah, ini menandakan bahwa ternyata ruh ilmu harus disejajarkan dengan ruh spritual.
Selanjutnya, kalau Tuan Guru Bajang terpilih menjadi Gubernur (insya Alloh dan mudah-mudahan) maka beliau langsung bisa menjadi ustaz, guru ataupun dosen bagi kaum tua ataupun jompo yang memiliki “low memory”. Mengajar orang tua ataupun jompo dengan memasukkan mereka ke dalam kelas adalah hal yang kurang tepat guna mencapai target, tetapi dengan beliau langsung turun bersama para Tuan Guru dan Ustaz mengadakan pengajian-pengajian ke pantai-pantai jompo akan lebih mencapai target. Sebab, itupun termasuk mengeluarkan ummat dari lembah kebodohan dan jurang pembodohan. Bahkan kalau bisa Tuan Guru Bajang beserta Tuan Guru dan ustaz lainnya membuat “Jadwal Pengajian Masyarakat Nusa Tenggara Barat”. Begitu pula ketika seorang pemimpin memiliki toleransi tinggi terhadap pemeluk agama lainnya. Mengingatkan dan menyarankan agar membuat rutinitas ibadah secara baik untuk melaksanakan kewajibannya sebagai mahluk sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Mungkin ini terobosan baru dan NTB lah sebagai “pioner-nya”. Cara demikian akan lebih baik dan tepat. Sehingga sinar pendidikan bukan hanya diperuntukkan kepada kawula muda yang haus ilmu tetapi sinar pendidikan juga mampu menembus batas “low memory” masyarakat NTB yang sudah “uzur”. Sinar benderang pendidikan NTB pun akan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat NTB (tidak bersifat mercusuar) berkat dimilikinya pemimpin yang memiliki modal ilmu dan spritual. Akhirnya NTB tidak terjerumus dalam “kejahiliyahan dunia akhirat”. Dan tidak aneh pula jika jadwal pengajianpun diperuntukkan pada Lembaga Pemasyarakatan. Demikianlah ulasan ringan hasrat dari penulis. Mohon maaf jika ada kekeliruan, kecerobohan ataupun kesalahan.

Selasa, 09 Juni 2009

Foto Di Kali Kuning

Di Pos Pendakian Gunung Merapi (Rumah Mbah Marijan)

Di Candi Prambanan; Dosenku Mas Yusuf Efendi, M. Hum dan teman-teman Back Packerku

Di Pelawangan(Rinjani Mountain) Berlatar Danau Segara

Edelways Ku Genggam

Saat Gunung Baru Meletup

Climbing in Aik Kalaq (Segara Anak; Rinjani Mountain)

Indonesia Di Pelawangan (Rinjani Mountain)

FOTO BARENG DENGAN KAWAN-KAWAN UNY

MODERNITAS

ANGGAPAN AWAM TENTANG MODERNITAS


Prolog
Kurang lebih dua minggu yang lalu (hari, tanggal dan jam yang kami lupa), saat menunggu dosen datang dilantai bawah STKIP Hamzanwadi Selong, tampak seorang mahasiswi yang terpukau melihat seorang mahasiswa yang sedang mengendarai sepeda motor bermerek Satria F memasuki gerbang kampus. Sambil terpukau mahasiswi tersebut berkata pada kawannya yang lain, “Hoy, itu dia yang namanya cowok style, cowok moderen”. Tak lama kemudian, melintas juga seorang mahasiswa yang hanya mengendarai sepeda motor bermerek Supra-X. Lalu, mahasiswi itu lagi berkata pada kawannya, “Nah, kalau yang melintas barusan bukan dinamakan cowok style, bukan cowok moderen tapi cowok kuno” ungkap mahasiswi tersebut menggurui kawan-kawannya yang lain. Kawan-kawannya pun mengangguk meng-iyakan celotehnya.

Belum Memahami Arti Moderen
Prolog di atas menandakan bahwa selama ini telah banyak terjadi kesalahpahaman tentang apa itu moderen atau modernitas. Permasalahannya adalah bukti prolog di atas telah diperankan oleh para mahasiswa. Jika para mahasiswa telah salah mengartikan moderen, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Inilah polemik moderen.
Baiklah, kami pada kesempatan ini akan sedikit menerangkan sejarah modernitas serta arti modernitas di mata para sosiolog. Kata modenitas secara etimologi berasal dari kata modern, kata moderen dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah berarti: baru, terbaru, cara baru atau mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman, dapat juga diartikan maju, baik. Menurut Daniel Lerner, modernisasi atau modernitas adalah istilah baru untuk satu proses panjang – proses perubahan sosial, dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang. Modernitas sebenarnya mengacu kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul di Erofa pada kira-kira abad ke-17 dan sesudahnya dan yang pada gilirannya menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Ini mengasosiasikan modernitas dengan suatu kurun waktu dan dengan lokasi geografis awal pembentukannya, namun pada saat yang sama membiarkan ciri utamanya teronggok diam di dalam kotak hitam. Kini, berbagai istilah yang mempesona telah dikemukakan untuk menggambarkan masa ini. Beberapa diantaranya mengacu kepada kemunculan suatu tipe sistem sosial baru, misalnya “masyarakat informasi” dan “masyarakat konsumen”. Bagi Marx, tentu saja, modernitas didefinisikan oleh ekonomi kapitalis. Sedangkan bagi Weber, masalah yang paling menonjol dari dunia moderen adalah ekspansi rasionalitas formal dengan mengorbankan jenis rasionalitas lain dan akibatnya adalah kemunculan kerangkeng besi rasionalitas. Adapun menurut Durkheim, modernitas didefiniskan oleh solidaritas organis dan melemahnya kesadaran kolektif. Dan menurut sosiolog modernitas pertama (1992) yaitu George Simmel, modernitas adalah keterkaitan antara kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat konsentrasi atau intensifikasi modernitas, sementara ekonomi uang mencakup persebaran modernitas, dan perluasannya (Frisby, 1992:62). Tidak lupa pula dengan Giddens yang mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar yaitu “kapitalisme, industrialisme, kapasitas pengawasan dan kontrol atas sarana kekerasan”, namun lebih melancipkan modernitas (masyarakat moderen) sebagai resiko (masyarakat resiko). Namun definisi atau pemahaman tentang modernitas lebih terinci lagi ketika diskusi-diskusi tentang modernitas terus berlangsung. Misalnya, diskusi-diskusi kelas yang memberitahukan bahwa modernitas adalah konsep yang dilahirkan oleh Barat yang kemudian dikonstruksikan lewat being-intelectualitas . Being-intelectualitas inilah yang kemudian dimanefestasikan dengan berbagai cara dan bentuk. Dalam perjalanannya, modernitas terlihat kehilangan being-intelectualitas, hanya lebih menonjolkan manifestasinya. Makna-makna yang ada pada manifestasi modernitas tidak ditemukan lagi. Yang ada hanyalah simbol-simbol prestise.



Realitas Modernitas
Persepsi atau pemahaman akan membawa pada action kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan persepsi individu ataupun masyarakat tentang modernitas. Persepsi sosial tentang modernitas memiliki pengaruh besar terhadap perilaku kehidupan sosial. Anggapan tentang modernitas inilah yang kemudian menimbulkan ikon-ikon seperti “budaya pop”, “budaya konsumerisme” dan lain sebagainya. Realitas moderen dapat dilihat pada setiap lini kehidupan masyarakat. Dan salah satu yang memberi sumbangsing besar terhadap dunia moderen ataupun ikon-ikon seperti yang telah disebutkan tadi adalah “arus media informasi”. Ketika radio masuk pada traditional area, maka seketika itu pula traditional area telah diperkosa oleh modernitas. Kini pemerkosaan terhadap tradisional area pun terus berlangsung. Arus media informasi begitu deras membanjiri traditional area. Televisi, komputer, laptop, internet dan lain sebagainya telah banyak menggauli traditional area hingga traditional area seolah mati diperkosa oleh modernitas. Kearifan tentang traditional area tak dapat dilihat lagi. Yang ada hanya modernitas dan duniapun memakai mode-mode modernitas.
Media informasipun terus menawarkan life style baru. Jelasnya, arus informasi yang begitu kuat telah mampu merubah dunia. Kami menemukan bukti (ikon-ikon moderen) yang menurut kami ikon-ikon budaya tersebut adalah manifestasi dari anggapan atau persepsi masyarakat tentang modernitas sehingga masyarakat membentuk dan memasukkan diri mereka kedalam ikon-ikon modernitas tersebut. Ikon-ikon budaya moderen yang telah menjamur disana-sini tersebut sepeti:
 Ikon Budaya Pop.
Budaya ini merupakan produk modernitas. Budaya pop sering diartikan sebagai budaya massa. Kadangkala, budaya pop didefinisikan sebagai budaya yang berlawanan dengan budaya luhur. Bahkan, ada pula yang menyebut budaya pop sebagai budaya komersial. Di dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop diartikan sebagai berikut: “Popular Culture is values that come from advertising, the entertainment industry, the media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society”. (Encarta reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari industri iklan, industri hiburan, media dan simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam.
Belakangan, budaya pop dikaitkan dengan budaya yang berasal dari rakyat. Dan dalam perjalanannya, budaya pop telah berbenturan dengan budaya daerah. Idiologi baru ini masuk pada rongga-rongga kedaerahan tidak lewat indoktrinasi tertutup, melainkan lewat gemerlap iklan, program TV, tawaran gaya hidup yang “wah”, yang kemudian merubah kebudayaan berikut pengertiannya. Akhirnya, masyarakat yang tak paham dengan modernitas atau modernisasi akan menjadikan modernitas atau modernisasi sebagai “kiblat baru kebudayaan”. Oleh masyarakat yang tak tahu tentang modernitas akan memahami bahwa penampilan dan gaya lebih penting daripada moralitas. Lalu, gaya hidup seperti ini akan menjadi komoditas dan komoditas dipermak untuk mengkonstruksi gaya hidup. Alam konsumtif telah tumbuh menjadi drama kehidupan moderen yang telah jenuh dengan tumpukan kebudayaan sampah yang didaur ulang dalam mesin kapitalisme. Lagi-lagi, modernitas dan budaya pop tak bisa dipisahkan lagi. Tak ada sejengkal wilayah budayapun yang steril dari rembesannya. Budaya pop yang keluar dari rahim modernitas ini telah memaksa kehidupan manusia untuk bisa menjadi sosok manusia baru dengan pemahaman baru tentang budaya ataupun seni. Lalu, modernitas dan budaya pop dilekatkan dengan seksualitas, body building, fashion, diskotik dan lain sebagainya, tanpa sedikitpun dikaitkan dengan sisi positif teknologi ataupun tingkat keintelektualan. Modernitaspun dikaitkan erat dengan wujud materi, sehingga terlihat jelas bahwa modernitas bagi orang yang paham dipercaya sebagai proyek Barat. Sepertinya, modernitas adalah sengaja dibuat oleh para kapitalis teruntuk para kaum bawah, sehingga nantinya para kaum bawah akan memaksakan diri untuk ikut menaiki jaggernaut modernitas. Nah, dengan lakunya promosi modernitas ini menandakan bahwa moderen dan budaya pop akan membuat masyarakat beralih tinggal landas menuju kehidupan individualistik.
Dalam budaya pop, kecantikan dan ketampanan adalah komoditas yang berharga. Karena ia didukung budaya citra yang mengutamakan penampilan. Rupanya belum pernah terbayangkan modernitas telah memaksakan idiologi tubuh sebagai pusat kesadaran. Karena itulah dalam anggapan dan tingkah laku masyarakat kita, ibu-ibu muda dan remaja-remaja kota menemukan jalan untuk membunuh waktu, tidak hanya menghibur diri atau bertelepon ria sepanjang hari seperti selama ini telah disediakan radio dan televisi, tapi muncul pula kesibukan baru untuk mengikuti program-program fitness, aerobik, yoga, dan latihan pernapasan yang mulai menjadi gaya hidup perkotaan. Artinya, budaya pop dan gaya hidup merupakan pemahaman kekinian yang ada pada otak masyarakat sekarang. Dan dalam mendukung gayanya, masyarakat sekarang terlihat sangat membutuhkan figur. Karena itu, para bintang yang disebut oleh Ahmad S. Akbar sebagai “filosof budaya moderen” seperti Michael jackson, Madonna, Ricky Marten, Britney Spears atau yang lainnya disembah dimana-mana. Realitas absurditas budaya seperti inilah yang telah diangkat oleh jean baudrillard lewat karyanya the Ectasy of Communication. Penampakan gaya yang lahir dari kegilaan manusia mengkonsumsi tidak hanya barang yang rel tapi juga yang tidak real, ini jalin menjalin dalam irama komodifikasi dan popularisasi kesan dan citra yang bertumpuk-tumpuk dalam sebuah simulacrum. (Jean Baudrillard, 1983).
Penampilan menarikpun saat ini dengan pemahaman kita beberapa tahun yang lalu sangat berbeda. Saat ini tentang penampilan menarik telah mengalami distorsi makna, lebih berorientasi pada bahasa tubuh dan berbau seksual. Inilah bentuk anggapan sebagian besar masyarakat (terlebih masyarakat awam) terhadap moderen saat ini. Atau seperti yang diungkap oleh Wasail (2004) bahwa “...seperti berpakaian serba minim, memperlihatkan pusar, memperlihatkan mulusnya paha, memberikan ruang tonjolan khusus pada bagian dada atau pantat”.
Namun ada satu hal yang paling memilukan, yaitu sikap “sok moderen” yang dipertontonkan oleh tidak hanya generasi muda (gaul) juga orang-orang yang menganggap sesuatu yang moderen itu semata show kekayaan, show kemewahan, tanpa melihat batas kebutuhan orang lain, serta perilaku “keblinger” yang justru membuat semutpun tertawa, merasa moderen tetapi mengganggu ritme perjalanan orang lain (dengan gaya naik kendaraan asal beda), mengaku moderen tapi suka melanggar lampu lalu lintas, bersikap moderen tapi buat makan sehari-hari harus ‘merampok” hak orang lain. Hidup moderen dipahami dengan kesadaran naik kuda, semua boleh dilakukan tanpa terikat norma dan aturan, asal senang tanpa harus terikat pada penderitaan orang lain, asal nampang dan bergaya tanpa harus tahu darimana dan untuk apa kebudayaan itu tercipta. Pokoknya semua trend dan gaya harus melekat ditubuh, rambut dicat, direbonding, ikut fitness, masuk salon tiap minggu, kemana-mana pakai tank-top (bila perlu memperlihatkan warna BH dan bundaran coklat didada), rok setengah paha. Semua yang dipertontonkan itu hanya simulasi, tanpa tahu untuk apa dan darimana datangnya, mereka seperti robot-robot budaya citra, patung-patung manusia yang dipoles oleh gemerlap trend, bahkan membiarkan diri mereka dicincang, dicabik-cabik, dimainkan, dibolak-balilk, “disetubuhi” dengan beringas, bahkan dijadikan benda oleh budaya pop dan moderen. Inilah yang tampak dalam realitas modernitas kekinian.
 Ikon Budaya Konsumerisme
Pemikiran kami, budaya pop juga merupakan produk modernitas . Produk dengan ikon konsumerisme ini adalah juga bertitik tolak dari anggapan masyarakat tentang modernitas. Modernitas diartikan sebagai membeli, membeli, dan membeli barang. Ikon budaya pop pun memiliki korelasi yang begitu kuat dengan ikon budaya konsumerisme. Budaya pop didukung penuh oleh budaya dan akses budaya konsumerisme.
Nah, realitas budaya konsumerisme juga sangat mudah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana-mana kehidupan konsumerisme terus menjamur. Tak hanya di perkotaan saja, melainkan juga di desa-desa juga. Bahkan, fenomena budaya konsumerisme ataupun budaya pop di desa lebih memilu dan memalukan bila dibandingkan dengan fenomena yang ada di kota. Setting lokasi budaya konsumerisme di kota dapat diperhatikan ketika kita masuk di pusat perbelanjaan seperti mall ataupun super market, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Bahkan menurut cerita kawan yang ada di Jawa, “kondom ” termasuk bahan belanja yang masuk dalam daftar belanja (tak hanya makanan). Ini merupakan pergesaeran ide yang membentuk pola hidup dan perilaku masyarakat sekarang. Masyarakat telah bergerak dari dunia yang dulu pernah sangat akrab dengan mereka, dunia yang penuh kebersahajaan dengan rajahan ikatan sosial yang sangat kuat kedalam dunia yang penuh dengan luapan imajinasi dan gelombang citra. Dibaliik semua perubahan itu terdapat “mesin-mesin fantasi” yang telah merampas kesederhanaan masyarakat seperti shoping mall, bom sinetron dan berbagai industri lain.
Pemahaman (anggapan) masyarakat tentang modernitas itu hanya terbatas pada bentuk-bentuk kreativitas semu moderen. Moderen pada ikon konsumerisme lebih dipahami masyarakat sebagaigaya hidup yang harus dimiliki. Publik seakan-akan berada bersama dengan sebuah realitas, tetapi realitas itu adalah realitas yang tak tersentuh. Ia menjadi sebagai realisme alienatif yang tidak lagi berada pada ketegangan antara fakta dan fiksi dalam menciptakan kesadaran konflik. Sebuah realisme aleanatif yang seakan-akan justru dekat dan akrab dengan dunia mereka. Maka, kesenian yang direpresentasi dan dipersonifikasi seperti ini tidak akan melahirkan kegunaan dalam pengembangan wacana seni.
Sementara itu, shoping mall dan Dysneyland adalah satu perpaduan dari dua wacana yang tidak lagi sejedar membentuk “desa global” akan teapi kini “desa fantasi global” (Yasraf Amil Piliang. 1997) shoping mall lewat komoditas sebagai tontonan, Dysneyland lewat fantas sebagai komoditas. Perkembangan mutakhir kota seperti Jakarta telah mentransportasikan belanja, yang sebelumnya semata-mata transaksi jual-beli, menjadi satu waktu kegiatan senggang yang menjanjikan kesenangan dan fantasi. Sistem perbelanjaan mutakhir menyuguhkan konsumen rangkaian produk dan pelayanan, suasana dan lingkungan yang diremajakan. Kini “kebudayaan konsumerisme” telah menjadi dunia nyata yang menjajah kehidupan sosial yang sangat luas.
Di dalam kebudayaan konsumen dewasa ini, konsumsi tidak lagi sekedar bersifat fungsional. Kini lebih dari itu konsumsi lebih bersifat materi sekaligus simbolik. Kecenderungan umum terhadap arah pembentukan identitas melalui gaya, penggunaan pakaian, mobil atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik dan makna-makana personal telah mewabahi masyarakat. Konsep gaya hidup sebagai alasan lahirnya pemasaran adalah satu bentuk dari pembentukan realitas semu dalam masyarakat konsumen sekarang ini (Carl Gardrner dan Julie Sheppard, 1989).
Konsumsi kini tak lagi diterjemahkan sebagai “lalu lintas benda” (Yasraf Amir Filiang, 1997) akan tetapi menjadi sebuah panggung sosial yang didalamnya makna-makna diperebutkan. Barang konsumen pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat masa menemukan refleksi dirinya. Ia mencari makna hidupnya melalui objek-objek yang dikonsumsi. Demikianlah realitas moderen pada ikon budaya konsumerisme.


SUMBER BACAAN:
Giddens, Anthony. 2004. Konsekuensi-konsekuensi Modernnitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan J. Goodman, Douglas. 2004. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Walgito, Bimmo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Filiang, Yasraf Amir. 1997. Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.

KORELASI SOSIOLOGI DENGAN BUDAYA

CORELATION BETWEEN SOCIOLOGY AND CULTURE’
Oleh: Janual Aidi
(063 80 102) VI. C
“Apa yang terjadi apabila masa kini adalah dunia tadi malam?”
(John Donne, Devotions upon Energent Occasions)

Jika berbicara mengenai ‘sosiologi’ dan ‘budaya’, maka dua ranah kajian ini seperti mata uang logam yang tak bisa di pisahkan. Untuk mengetahui korelasi kedua kajian ini maka ada baiknya jikalau kita kembali menukil definisi dari kedua kajian ini. Sosiologi yang dikenal pada abad ke-19 dengan nama yang berasal dari Auguste Comte (1798-1857) jika dilihat dari segi etimologinya yakni, sosiologi (Latin: socius yang berarti kawan, social yang berarti berteman, berkawan, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Atau definisi lain sosiologi yang saya (penulis) pernah dengar dari salah seorang dosen STKIP yakni Bapak Nurun Sholeh, M. Hum yang mengatakan bahwa “sosiologi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji masalah (tentu yang ada dalam tubuh masyarakat) supaya bagaimana kemudian masalah tersebut dapat terselesaikan atau ditemukan problem solving-nya”. (wawancara saat tes ujian masuk STKIP, Mei 2006). Atau definisi konvensional sosiologi yang secara implisit dibuka dalam berbagai buku teks seperti dalam bukunya Anthony Giddens yaitu Konsekuensi-konsekuensi Modernitas (The Consquences of Modernity ) bahwa “sosiologi adalah studi tentang masyarakat manusia”. Jelasnya, sosiologi mempelajari segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat yang menitik beratkan pada nalar-nalar sosial, termasuk juga budaya. Sedangkan budaya adalah konsep ide yang melandasi perilaku seseorang, kelompok ataupun sosial. Jadi, ‘budaya’ memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi masyarakat
Mempelajari sosiologi sesungguhnya mempelajari budaya, dan sebaliknya mempelajari budaya sesungguhnya juga mempelajari sosiologi. Budaya lahir dari ide masyarakat yang kemudian dimanifestasikan lewat wujud-wujud budaya. Lalu, manifestasi budaya tersebut mempengaruhi masyarakat sehingga muncullah ‘konsep’ tatanan sosial seperti perangkat aturan-aturan sosial, nilai-nilai sosial, tradisi masyarakat, peradaban dan yang lainnya. Nah, konsep dan perangkat sosial yang telah terbentuk tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai acuan oleh masyrakat dalam menjalani kehidupan.
Kajian sosiologi memasuki ranah kajian budaya dan kajian budaya merasuki ranah sosiologi. Gambaran kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan ‘fhoto copy’ karakteristik masyarakat tersebut. Dalam kebudayaannya tersebutlah tertuang nilai dan norma. Maka, oleh sebagian budayawan mengatakan bahwa jalan pintas untuk mengetahui atau mempelajari suatu masyarakat cukuplah menggaulinya lewat kebudayaan yang dimiliki. Misalnya, John Ryan Bartholomew dalam bukunya yang berjudul Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, yang mengkaji tentang budaya suku Sasak (kawin lari-pen). Pada akhirnya John Ryan menemukan karakteristik sosial masyakat Sasak yang erat dengan ‘budaya maling’. Lalu, konon terkuaklah psikologi masyarakat Sasak yang dikenal memiliki ‘maling-maling’ yang handal. Proses ‘pengkayaan diri’ pun dengan berprofesi sebagai ‘maling’. Dalam karangan Edi Sedyawati mengenai Islam Wetu Telu dan Wetu Lima di Lombok pun memberitahukan akulturasi nilai-nilai agama yang di anut masyarakat Lombok dengan tradisi-tradisi kebudayaan. Melihat perbedaan ‘Islam Wetu Telu’ dan ‘Islam Wetu Lima’, oleh sebagian kalangan juga mengidentifikasikan dan menafsirkan bahwa masyarakat Sasak doyan dengan perbedaan dan konflik.
Nah, dari ulasan di atas menandakan korelasi yang sangat jelas dan kuat antara ‘sosiologi’ yang mengkaji tentang masyarakat dengan ‘budaya’. Setiap masyarakat memiliki budaya dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan budaya, karena sesungguhnya masyarakat adalah ‘mahluk berbudaya’. Dalam masyarakat kita kenal istilah budaya klasik, budaya pop atau budaya yang lainnya. Ini pula memberi pemahaman pada kita bahwa sejarah manusia adalah sejarah budaya. Adapaun adjusment terhadap bagusnya suatu budaya, jeleknya suatu budaya, unik dan eloknya suatu budaya merupakan bangunan dari kekuatan budaya yang dibentuk oleh masyarakat sendiri.
Ulasan di atas cukuplah memberitahukan kita tentang ‘the power of corelation between sociology and culture’. Namun penulis ingin menambahkan sedikit argumentasi kajian kontemporer korelasi antar keduanya bahwa kini masyarakat terlihat kembali pada budaya ataupun peradaban lama. Ini tertuang juga dalam pikiran serang tokoh yang bernama Paul Ricoeur, “Civilisations and National Culture” dalam History and Truth. Ia mengatakan: “Ketika kita mendapati bahwa ada beberapa kebudayaan, bukan hanya satu dari itu-itu saja, pada saat kita mengetahui akhir dari monopoli budaya itu, baik dia ilusi atau nyata, kita terancam oleh kehancuran temuan kita sendiri. Tiba-tiba ada kemungkinan bahwa ada yang lain, dan bahwa kita sendiri adalah ’yang lain’ diantara uang lain itu. Setelah semua makna dan setiap tujuan musnah ada kemungkinan untuk menjelajahi peradaban seolah-oleh dilakukan dengan melewati jejak dan reruntuhan. Selutuh umat manusia menjadi museum imajiner: kemana kita pergi diakhir pekan ini-mengunjungi reruntuhan Angkor atau berjalan-jalan santai Tivoli Copenhagen?

SOSIOLOGI BUDAYA DAN TEORI SOSIOLOGI BUDAYA

SOSIOLOGI BUDAYA DAN TEORI EVOLUSI BUDAYA
(Sebuah Lirikan Historis dan Prediksi Evolusi Budaya)
Oleh: Janual Aidi
(063 80 102_VI. C)

Melacak sejarah sosiologi budaya secara kultural mendalam merupakan kajian yang tak mudah. Memerlukan waktu yang banyak untuk menggali referensi ataupun cerita-cerita tentang awal mula ‘budaya’ atau ‘manusia yang menjadi subjek budaya’ ketika mulai berbudaya. Karena memang, antara sejarah, budaya, antropologi, arkeologi dan sosiologi tidak dapat dipisahkan. Kelima unsur ini memiliki kohesi yang kuat. Begitu pula ketika membicarakan sejarah sosiologi budaya maka tidak dapat dilepaskan juga dengan ‘evolusi budaya’. Evolusi budaya inilah yang kemudian menciptakan ‘peradaban dan sejarah baru’. Terlepas dari kedangkalan referensi, maka penulis mencoba menampilkan ‘presentase’ semampunya.
Baiklah, penulis mencoba menampilkan semampunya. Mari kita simak bersama ‘presentase seorang mahasiswa dhaif’. Pada akhir abad ke-19, para antropolog menyimpulkan bahwa adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat disebabkan karena persebaran atau difusi. Adolf Bastian mengemukakan adanya pengaruh Elementer Gedanken, bahwa adanya kesamaan unsur kebudayaan pada dua tempat disebabkan karena keduanya berada pada tingkat evolusi yang sama. Sedangkan konsep difusi menurut Kroeber menjelaskan tentang perubahan dalam suatu masyarakat dengan cara mencari asal atau ‘aslinya’ dalam masyarakat yang lain. Difusi pada tahapan yang ekstrim menekankan bahwa setiap pola tingkah laku atau unsur budaya yang baru itu tersebar dari satu sumber asli. Jelasnya, difusi adalah komponen penting dalam melirik awal mula dari sosiologi budaya. Kemudian, gejala persebaran unsur-unsur kebudayaan merupakan sebuah sejarah perkembangan peradaban manusia yang secara evolutif bergerak dengan tingkatnya masing-masing. Perbedaan tingkat maupun pola interaksi yang terjadi adalah pola umum yang dapat ditemui pada semua kelompok masyarakat. F. Ratzel (1844-1904) seorang sarjana ilmu hayat, mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut pada berbagai tempat di Afrika. Begitu pula dengan unsur kebudayaan lainnya, seperti rumah, topeng, dan pakaian. Temuan tersebut mengarahkannnya untuk menarik kesimpulan bahwa pada waktu yang lampau terjalin hubungan antara suku-suku bangsa yang mendiami tempat tersebut. Fenomena kesamaan unsur-unsur kebudayaan tersebut melahirkan anggapan dasar yang menurut Koentjaraningrat bahwa kebudayaan manusia berasal dari satu pangkal dan berada di suatu tempat tertentu. Unsur inilah yang kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain dan kelompok masyarakat lainnya. Dengan demikian konsep ini menyiratkan bahwa sejarah kebudayaan manusia diawali dengan sebuah kebudayaan awal sebagai pusat atau inti dari sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Kebudayaan inti (induk) tersebut berkembang dan menyebar, kemudian melahirkan bentuk (unsur) baru karena pengaruh lingkungan dan waktu. Nah, melacak kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa tersebutlah yang sukar dilakukan. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘kebuntuan’ oleh para antropolog ataupun peneliti-peneliti. Tak mau surut oleh ‘kebuntuan’ tersebut, pengembangan konsep Ratzel oleh para antropolog mendorong produktifitas teori konsep difusionisme lebih kaya dan perspektif. Seorang konservator museum Gracbner (1877-1934) melakukan penelitian dengan menyusun dan mengelompokkan benda-benda (artefak) berdasarkan persamaan bentuk. Metode klasifikasi ini kemudian disebut dengan Kultrukreis. Metode Kulturkreis ini kemudian dikembangkan untuk memetakan secara lebih global kebudayaan manusia. Meskipun pekerjaaan klasifikasi sangat rumit mengingat banyaknya kebudayaan yang tersebar di seluruh dunia, akan tetapi, kenyataan ini justru melahirkan sebuah cita-cita untuk untuk merekonstruksi Kulturhistores umat manusia dengan harapan akan nampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Metode Kulturkreis selanjutnya dikembangkan oleh Wilhelm Schmidt (1868-1954) untuk mencari jalan untuk mewujudkan Kulturhistoire.
Nah, proyek besar tersebut dimulainya dengan mengumpulkan data-data (identifikasi dan inventarisasi) kebudayaan-kebudayaan yang tersebar di seluruh dunia yang ia peroleh dari karangan-karangan etnografi. Penelusuruan Kulturhistoire yang dilakukan oleh Schmidt membawanya pada sebuah temuan mengenai bentuk religi tertua. Ia berpendapat bahwa keyakinan dalam bentuk monoteis (Urmonotheismus) merupakan bentuk religi sangat tua. Bahwa Titah Tuhan Asli ada pada bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih sangat rendah. Salah seorang antropolog ternama yang pada awalnya seorang dokter dan psikolog yang kemudian tertarik pada ilmu antropolog yaitu Rivers (1864-1922). Rivers melakukan ekspedisi penting untuk sebuah eksperimen mengenai hubungan antara kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di sekitar Selat Torres, Irian Selatan dan Australia Utara. Dalam penelitiannya, Rivers mengembangkan metode wawancara baru yang dikenal dengan Genealogical Method, metode yang mengklasifikasi asal-asal individu, yang kemudian menjadi teknik utama para antropolog dalam melakukan penelitian di daerah. Rivers berhasil mengumpulkan banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa tersebut. Rivers juga melakukan penelitian pada suku bangsa Toda yang tinggal di propinsi Mysore di India Selatan dan kemudian menghasilkan buku The Todas (1906). Dalam penelitian tersebut, Rivers mendapat banyak bahan mengenai sistem kekerabatan orang Toda. Dengan membandingkan bahan tersebut dengan apa yang diperolehnya di daerah Malanesia. Ia kemudian mengembangkan konsep baru mengenai sistem-sistem kekerabatan yang dimuat dalam buku Notes and Queries on Anthropoloy (1912).
Pengembangan teori difusi juga dilakukan oleh para antropolog di Inggris. Diantaranya adalah Haddon yang pernah memimpin sebuah ekspedisi Cambridge ke selat Torres. Kemudian dikenal pula G. Elliot Smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) yang mengemukakan teori-teori aneh. Teori aneh mereka misalnya tentang sejarah kebudayaan dunia bahwa pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur, daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, kemudian bergerak ke India, Indonesia, Polinesia, dan ke Amerika. Teori ini kemudian disebut dengan Heliolithic Theory. Heliolithic Theory bagi Elliot dan Perry didasarkan pada unsur-unsur penting kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas, tampak pada bangunan-bangunan batu besar (megalith), unsur religiusitas yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pendapat ini menyimpulkan bahwa kebudayaan Mesir menjadi induk dan kemudian tersebar secara acak dan berkembang ke seluruh daerah di dunia di sepanjang waktu perjalanannya.
Teori Heliolithik tersebut kemudian dipergunakan dalam suatu penelitian besar oleh Perry yang mencoba menelusuri peta penyebaran unsur-unsur kebudayaan serta sebab-sebab dari difusi tersebut. Dalam persebarannya dari Mesir ke arah Timur Tengah sampai ke Amerika tengah dan Selatan, yang tentu saja melewati Indonesia, karena keberadaan pulau-pulaunya yang terletak di tenagh. Hasil penelitian Perry tersebut dipublikasikan ke dalam buku yang menadi sangat populer The Children of the Sun (1923). Heliolithic Theory secara konseptual dapat dipahami sebagai sebuah gagasan tentang kekuatan determinan sebuah budaya. Kekuatan determinasi tersebut tumbuh melalui kemampuannya untuk beradaptasi. Argumen sesungguhnya masih menjadi preposisi, bahwa kelestarian budaya tertentu menegaskan kemampuan beradaptasi yang lebih baik. Kaplan dan Manners juga mengemukakan, bahwa semakin tinggi taraf adaptasi suatu budaya, akan makin banyak struktur yang dikandungnya dan struktur-struktur itu makin terdeferensiasikan, makin terspesialisasikan fungsinya, serta sangat terpadu.
Kajian analitis Heliolithic Theory dapat juga ditemukan pada konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Anthony Gramsci. Sebuah budaya dapat memberi pengaruh dan melakukan penetrasi terhadap bangsa (budaya) lain melalui pertarungan gagasan (kontak) maupun kompromi-kompromi yang terbangun pascabenturan. Kompromi tersebut dapat berwujud difusi, maupun asimilasi.
Konsep hegemoni Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni juga terkait dengan pertarungan gagasan maupun persetujuan terhadap gagasan-gagasan dominan. Konsep hegemoni tersebut juga jauh dari sekadar berkolusi dengan gagasan-gagasan dominan. Proposisi ini juga mendapat respon dari Dominis Strinati yang menyatakan bahwa jika konsep hegemoni dipandang sebagai berasal dari konflik, maka kita dapat berharap terjadinya kompromi-kompromi hegemonik yang menuntaskan konflik, namun secara temporer, untuk mengungkapkan berbagai persoalan maupun kepentingan yang dipertaruhkan. Meskipun Heliolithic Theory mendapat tempat yang besar di kalangan para antropolog, namun seorang antropolog Amerika, R.H. Lowie justru membantahnya sebagai sebuah teori yang ekstrim. Menurut Lowie teori Heliolithik tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari hasil-hasil penggalian ilmu prasejarah, maupun dari konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi.
Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja tetapi terutama sebagai suatu proses di mana unsur-unsur kebudayaan dibawa oleh individu-individu dari suatu kebudayaan, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan.
Dalam hal ini, penulis setuju dengan konsep yang di ajukan oleh Koentjaraningrat yang kemudian bisa dipetik kesimpulannya bahwa “sejarah ilmu budaya berawal dari kehausan generasi akan pengetahuan yang mengalir lewat ‘arus-arus’ difusi ataupun asimilasi oleh para ‘individu-individu terdahulu’ dan kemudian disempurnakan oleh ‘generasi kini’”.
Karena melacak sejarah sosiologi budaya begitu sulit, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan seorang perintis antropolog Amerika bernama L.H. Morgan (1877, yang pernah tinggal dengan suku-suku Indian Iraquois dan banyak melakukan penelitian) lewat bukunya yang berjudul Ancient Society. Buku tersebut tidaklah secara rinci membahas sejarah sosiologi budaya, namun lewat karya Morgan tersebut memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa dari evolusi terdahulu (Zaman Liar Tua) manusia mulai ‘berbudaya’. Ada delapan tahapan evolusi kebudayaan yang secara universal dilalui oleh manusia. Nah menurut hemat penulis, delapan tahapan evolusi kebudayaan tersebut dapat diartikulasikan menjadi sejarah klasik sosiologi budaya. Delapan tahapan evolusi budaya tersebut yakni:
1. Zaman Liar Tua. Yakni zaman sejak manusia ada sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan keahlian lain seperti meramu dan mencari akar-akar tumbuhan liar untuk mempertahankan hidup.
2. Zaman Liar Madya. Yakni zaman dimana manusia menemukan senjata busur dan anak panah. Pada zaman ini manusia mulai merubah mata pencahariannya yaitu dari meramu menjadi pencari ikan. Dari peramu beralih ke nelayan.
3. Zaman Liar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar madya’, namun sudah memiliki kepandaian untuk membuat alat-alat dari tembikar tetapi kehidupan manusia dizaman ini masih bersandar menjadi ‘pemburu’.
4. Zaman Barbar Tua. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar muda’ (memiliki kepandaian membuat alat-alat dari tembikar) namun manusia pada zaman ini sudah bisa beternak dan bercocok tanam.
5. Zaman Barbar Madya. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar tua’ (sudah bisa beternak dan bercocok tanam) namun manusia pada zaman ini sudah bisa membuat alat-alat atau benda-benda dari logam.
6. Zaman Barbar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar madya’ (sudah bisa membuat alat-alat dari logam) namun manusia sudah mampu mengenal tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba. Yakni zaman dimana manusia sidah mampu menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam
8. Zaman Masa Kini. Yakni zaman klasik sampai sekarang.
Demikianlah sejarah sosiologi budaya klasik (bahasa atau istilah penulis) yang sekaligus menampilkan tahapan evolusi budaya klasik dari kaca mata tokoh Morgan dan tokoh-tokoh lainnya. Dan sepengetahuan saya, penyebab dangkalnya kajian sosiologi budaya adalah karena sebenarnya sosiologi budaya memiliki kajian yang masuk pada beberapa ranah disiplin ilmu (sosiologi, budaya, antropologi, arkeologi, dan sejarah). Sehingga cocok jikalau ‘tokoh’ sosiologi budaya sangat sulit dilacak. Jauh dari sebelumnya bahwa tokoh-tokoh dari budayawan, antropolog dan yang lainnya adalah berasal dari para tokoh sosiologi.
Mengetahui penjelasan diatas, maka pada kesempatan ini penulis juga mencoba menampilkan dan mengungkapkan sejarah sosiologi budaya, namun menitik beratkannya pada pola-pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban. Mengungkap kajian peradaban dalam hal ini tidaklah jauh berbeda dengan mengungkap kajian budaya. Melalui kaca mata Arnold Toynbee lewat karyanya yang berjudul A Study of History mengatakan bahwa terjadinya suatu peradaban itu sendiri terdiri dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau melalui disintegrasi dari satu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih tua. Ia melihat pola dasar dalam terjadinya peradaban itu sebagai suatu pola interaksi yang disebutnya dengan “tantangan dan tanggapan”. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat itu memasuki proses peradaban.
Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi ‘equilibrium’ memasuki keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan awal terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, dimana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu diseqilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.
Irama berulang dalam pertumbuhan budaya ini tampak terkait dengan proses-proses fluktuasi yang telah diamati selama berabad-abad dan selalu dianggap sebagai bagian dari dinamika pokok alam semesta. Para filsuf Cina kuno yang sekaligus menjadi budayawan (menurut penulis) percaya bahwa semua manifestasi realitas dihasilkan oleh dinamika yang saling mempengaruhi antara dua kutub kekuatan yang disebut yin dan yang. Pengertian suatu irama universal pokok ini juga diungkap oleh para tokoh moderen. Sain Simon melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian pertukaran periode-periode “organik” dan kritis.
Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh. Suatu elemen penting dalam keruntuhan budaya ini, menurut Toynbee, adalah hilangnya fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menanggapi tantangan-tidak hikang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menajdi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan—dan—tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kratif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru.Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh yang baru pula.
Pola-pola budaya yang digambarkan oleh Toynbee itu tampak sesuai dengan situasi kita dewasa ini. Dalam buku yang berjudul The Turning Point Titik Balik Peradaban karangan Fritjof Capra, menggambarkan bahwa manusia dalam budaya dan evolusinya mengalami spiralisai peradaban. Prediksi radikal penulis kedepan adalah evolusi budaya kita akan kemabali ke titik nol. Artinya ada re- budaya dan peradaban. Banyak manifestasi budaya ‘lalu’ yang di adopsi oleh masyarakat sekarang. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh seorang filosof Cina bernama I Ching yakni: “setelah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga… Gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan”. Dan satu hal yang mesti kita ketahui adalah bahwa seperti apa yang pernah dikatakan oleh Bacon yaitu tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.…

KI HAJAR DEWANTARA DAN PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN KITA

KI HAJAR DEWANTARA
DAN PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN KITA

…..seperti yang terlihat dari sejarah dan realitas sekarang,
ternyata Indonesia terus mengalami pembodohan secara sistematis.


Prolog
Seingat dan sepemahaman penulis, bahwa dahulu ketika masih duduk berseragam “merah putih” terpampang jelas di kelas gambar para pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang demi merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Salah satu gambar pahlawan tersebut adalah gambar Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara bukanlah semata pahlawan yang berjuang dengan senjata tombak, namun ia adalah sosok pahlawan yang memiliki senjata perlawanan baru yakni “senjata pendidikan”. Awal dari manifestasi perjuangan dengan senjata baru tersebut ialah dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa). Bukti kontinyuitas dari senjata baru beliau itu, kini sekolah-sekolah sudah masuk ke pelosok-pelosok negeri Indonesia. Menyadari ini, hendaknya semua warga Indonesia wajib berterima kasih pada beliau. Namun akhir-akhir ini sangat disayangkan penulis tidak pernah lagi melihat gambar Ki Hajar Dewantara di kelas-kelas (terlebih ketika sudah duduk di bangku kuliah). Padahal, Ki Hajar Dewantara adalah permata pendidikan Nusantara. Beliau merupakan ‘aset mahal’ Indonesia yang tak ternilai.
Prolog di atas hanyalah kutipan, sebenarnya penulis ingin mengatakan “jangan lupakan dan jangan tinggalkan Ki Hajar Dewantara”. Sebab menurut penulis, saat ini bangsa kita sudah terlalu congkak melupakan sejarah. Bangsa kita seolah tak pernah memiliki sejarah dan para tokoh perjuangan . Pendidikan Indonesia seakan merasa tak memiliki dan mengakui Ki Hajar Dewantara sebagai anak bangsa yang sekaligus menurut penulis sebagai”prime mover” (penggerak utama) dalam dunia pendidikan. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan batin, apakah ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang? Kalau benar seperti ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang, lalu apa bedanya manusia-manusia Indonesia sekarang dengan para penjajah kolonial dahulu yang tak suka dan menjatuhkan hukuman internering (hukum buang) pada Ki Hajar? Penulis khawatir, jangan-jangan, manusia-manusia Indonesia sekarang yang sengaja melupakan dan tak mengindahkan konsep-konsep Ki Hajar Dewantara adalah “kolonial baru” yang menjajah Indonesia dengan konsep kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan yang selalu menyisihkan hak-hak rakyat kecil. Membuat konsep baru bahwa pendidikan hanya untuk “mereka” yang ber-uang dan orang miskin dilarang sekolah. Ini merupakan “PR pendidikan” bangsa kita saat ini, apakah “mereka” yang menjajah dengan gaya kapitalisme pendidikan adalah “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara. Jikalau nantinya “mereka” terbukti sebagai “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara, maka sepatutnya kita semua harus cepat-cepat mengusir mereka dari bumi Indonesia. Mereka tidak “welcome” di Indonesia. Ini adalah PR pertama bagi bangsa kita. Semoga bisa dikerjakan dengan tuntas.
Baiklah, penulis pada kesempatan ini ingin mencoba mengkritisi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang, kemudian akan penulis coba komparasikan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penulis rasa masih relevan untuk di implementasikan dalam perilaku pendidikan saat ini.

Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soerwardi Soeryaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putra keempat dari pangeran Soeryaningrat, putra tertua dari Sri Pakualam III. Konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1922) memiliki arti yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga. Konsep ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dapat diraih di mana dan kapan saja serta menjadi tanggung jawab bersama. Konsep ini memberitahukan bahwa masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab yang seimbang terhadap keberhasilan para penuntut ilmu. Artinya, bukan hanya sekolah yang dijadikan dan di amanatkan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar (penuh) terhadap berhasil atau tidaknya individu dalam proses pendidikannya. Inilah inti makna dari Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sayang seribu-sayang, kini di Indonesia terlihat bahwa Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara hanya dijadikan sebagai pusaka belaka. Atau menurut nalar penulis, kini di Indonesia hanya menerapkan “Tunggal Pusat Pendidikan” yaitu pendidikan dilembaga (sekolah atau universitas). Sekolah di anggap sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Inilah konstruksi pemahaman dunia keluarga dan masyarakat yang terbangun pada masa sekarang. Konstruksi ini berakibat pada tiadanya perhatian dan tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat atas suksesnya pendidikan peserta didik. Keluarga dan masyarakat seolah “EGP” (Emang Gue Pikirin) dengan tanggung jawab pendidikan mereka, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah. Kita harus kembali pada konsep “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara bukan melupakan dan meninggalkannya lantas memegang konsep baru yaitu “Tunggal Pusat Pendidikan” yang entah dicetuskan oleh tokoh siapa.
Sesuai dengan hakekat kandungan Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan kritisasi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia saat sekarang, maka dalam tiga ranah yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat telah dan banyak terjadi perilaku pembodohan siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “keluarga” terlihat dalam hal: pertama, keluarga kurang perhatian pada anak seperti misalnya ketika rumah tangga mengalami “broken home”. Kita juga sering mendengar anak orang kaya disebut sebagai ‘anak pembantu’ dikarenakan anak mereka jarang diperhatikan oleh orang tua aslinya. Kedua, bentuk perilaku pembodohan lainnya adalah membiarkan anak menonton acara TV yang tidak mendidik serta tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Misalnya membiarkan anak menonton sinetron atau film “Cinta Fitri, Pernikahan Dini, Ayat-Ayat Cinta, Suster Ngesot, Hantu di Sekolah” dan sebagainya. Ketiga, ketika terjadi pemaksaan hak pada anak. Misalnya “sang anak” memiliki bakat menjadi guru kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi polisi. Keempat, tindakan orang tua yang “menyuap” pihak sekolah (guru) agar anaknya lulus dan naik kelas. Kelima, tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah, sementara anak masih membutuhkan pendidikan. Pada kasus seperti ini tidak sedikit anak menjadi tulang punggung keluarga. Beban ekonomi selalu menjadi alasan utama bagi orang tua untuk bertindak keliru terhadap pendidikan anaknya. Keenam, orang tua yang keras dalam mendidik anak. Konon, tindakan yang dirasa paling tepat oleh para orangtua ketika si anak mendapat nilai nol di lembar jawaban ujiannya adalah dengan memberi “hukuman”. Film kartun Doraemon merupakan satu gambaran tindakan umum para orang tua ketika menghadapi sang anak yang kesulitan dalam pendidikan. Tokoh si Nobita dalam film Doraemon akan selalu ketakutan bila pulang sekolah dengan membawa hasil ujian yang sangat buruk. Semua bentuk perilaku pembodohan dalam keluarga di atas merupakan PR-PR pendidikan yang semestinya kita sikapi dengan bijak dan arif.
Bentuk perilaku pembodohan siswa dalam “sekolah” tak kalah sadis. Penulis menemukan beberapa contoh, seperti memanipulasi nilai, gaya mengajar guru yang membodohkan siswa (otoriter, tak memberi ruang kritis terhadap siswa, siswa dianggap seperti celengen), atau perilaku guru (sekolah) yang membocorkan serta menjual soal dan kunci jawaban. Pada kondisi ini siswa pun akhirnya menjadi sosok 5D (datang, duduk, dengar, dengkur, dan duit). Maka, tak berlebihan jikalau seorang tokoh yang bernama Thomas Armstrong pernah berkata bahwa “masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar (dysteachic community)”. Belum lagi dengan praktik pendidikan kita yang sering mengalami perubahan kurikulum secara “erratic” . Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Penulis teringat dengan buku yang berjudul “Sekolah Itu Candu” (2007) karangan Roem Topatimasang yang membahas sekaligus mengkritik sekolah. Buku tersebut bertanya apakah sekolah itu hanya tentang ijazah? Tentang gelar? Tentang jalan mencari pekerjaan yang lebih baik? Apakah sekolah adalah satu-satunya cara untuk mencerdaskan seseorang? Dengan sedikit malu penulis mengatakan “PR pendidikan kita bertambah lagi”. Penullis melihat lembaga pendidikan kita tidak memberikan kesadaran tentang ini.
Bentuk-bentuk pembodohan di masyarakat lebih terlihat nyata. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin atau kaya, tua atau muda, pintar atau tidak pintar, siswa, guru, politikus, atau yang lainnya. Dari sini diharapkan akan tercipta masyarakat yang partisipatif. Namun sayangnya, yang terlihat adalah tidak adanya masyarakat partisipatif dalam memperhatikan atau mengontrol ataupun mengapresiasi pendidikan yang dilakoni siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “masyarakat” terlihat dalam dua hal: pertama, perilaku para petinggi negara yang terlihat hanya bisa memberi contoh korupsi pada generasi muda saat ini. Kedua, orang-orang kaya tak lagi memberikan bantuan pendidikan bagi murid-murid yang ada di pelosok-pelosok desa. Tak ada lagi sumbangan seragam, sumbangan buku, pensil, tas dan yang lainnya.
Dengan terkuaknya bentuk-bentuk perilaku pembodohan siswa dalam tiga ranah yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi pembodohan siswa secara sistematis. Realitas ini memberitahukan kepada kita semua bahwa bangsa ini memiliki setumpuk PR pendidikan yang berat. Penulis melihat, salah satu faktor penyebabnya adalah karena kita telah melupakan dan meninggalkan pemikiran cemerlang Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan. Saatnya kita kembali.

Diskriminasi Sekolah Swasta dan daerah terpencil
Pendeskriminasian sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah yang ada dipedesaan oleh penguasa merupakan PR lain yang lebih tragis. Dapat dikatakan bahwa pendeskriminasian ini terjadi secara merata di bumi Indonesia. Novel dan film “Laskar Pelangi” merupakan bukti yang jelas adanya pendeskriminasian tersebut. Di daerah propinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, pada satu sisi dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum atau sederajat berdiri megah disana-sini dengan bangunan yang seolah-olah berbusung dada. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba “mentereng”. Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah sepertinya meng’anakemas’kan sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi di sisi lain, seperti yang dimuat oleh media cetak Lombok Post (Minggu, 24 Mei 2009) dalam berita “Laskar Pelangi ala Lombok”, terpampang sebuah fakta dan kisah yang memprihatinkan dunia pendidikan SDN 12 Pemongkong Kecamatan Jerowaru (daerah paling selatan Lombok Timur), SDN 6 Sukaraja ( Jerowaru, Lombok Timur), SDN 3 Batulayar (Kabupaten Lombok Barat), SDN 4 Lembah Sari (Lombok Barat) dan SDN 4 Mareje yang berada di balik bukit Sekotong Timur (Lombok Barat). Sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil tersebut rata-rata memiliki ruang kelas yang atapnya sudah rusak, bangku sekolah yang tak layak pakai, tembok retak yang menunggu waktu akan roboh, atap yang bocor, lantai yang tak memakai semen alias berlantai tanah dan jumlah guru yang terbatas. Hasil penelitian kecil didesa Selaparang Kabupaten Lombok Timur oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 lalu, menunjukkan bahwa didesa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat “satu” Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Inilah potret pendidikan di “Pulau Seribu Masjid”. “Pulau Seribu Masjid”, bagian dari “Indonesia Seribu Pulau”. Kita tak bisa mengelak dan berbohong akan kenyataan dunia pendidikan yang dialami anak bangsa sekarang, padahal jika mau jujur, dahulu Ki Hajar Dewantara lebih senang bergelut dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama di masjid. Ini menandakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak memandang “si kaya” ataupun “si miskin”. “Si desa” ataupun “si kota” dan “si priyayi” ataupun “si non-priyayi”. Sekarang ini dunia pendidikan kita terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya yang sekolah di negeri, sementara anak-anak mereka yang miskin tidak bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya sekolah.
Coba kita bandingkan kualitas pendidikan dahulu dengan sekarang, atau semangat para penuntut ilmu dahulu dengan sekarang. Para penuntut ilmu dahulu tidak memiliki fasilitas penunjang seperti yang dimiliki oleh para penuntut ilmu sekarang. Tidak ada internet, komputer, laptop, gedung yang mewah ataupun seragam sekolah yang indah. Yang ada hanyalah gedung sekolah sederhana, jalan setapak yang berlubang dan kadang kala becek, lidi sebagai alat bantu hitung, keseharian mereka yang di isi oleh saling meminjam buku, dan interaksi hangat serta salam dan hormat mereka dengan keluarga, guru dan masyarakat. Suatu alur kisah para “truth seekers” (pencari kebenaran) yang sulit ditemukan pada zaman sekarang.
Namun apa yang penulis tuturkan di atas sangat jauh berbeda dengan kondisi yang terlihat sekarang. Kini yang tampak adalah “si murid” tidak lagi menenteng buku dan pensil, melainkan menenteng laptop yang lebih banyak berisi lagu-lagu ataupun blue film (BF). Atau, para pelajar sekarang lebih sering terlihat memencet hand phone (HP) dari pada memegang dan membaca buku. Tidak ada lagi hormat pada guru, dan yang ada yaitu kabar “si murid” membacok “si guru”. Kegiatan diskusi kelompok pun tergantikan oleh ‘kumpul kebo dan perkelahian antar pelajar”. Kualitas pendidikan Indonesia sekarang hanya bisa menelurkan “manusia-manusia korup yang tak berkualitas”. Inilah yang tampak dan melanda pendidikan Indonesia saat ini. Dan inilah akibatnya ketika pendidikan dibangun hanya pada satu sisi sekolah saja, tetapi tidak mengindahkan pendidikan keluarga dan masyarakat.
Maka, tugas kita semua adalah “kembali pada konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara”. Mengimbangkan peran sekolah, sekolah dan masyarakat. Terakhir, penulis hanya bisa mengatakan bahwa tugas akhir kita semua yaitu mengubah paradigma masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “simbol” ke “aksi” sehingga kualitas pendidikan kita tidak hanya diukur oleh ijazah atau lamanya belajar di kelas, tetapi oleh kontribusi pemikiran dan keterampilannya dalam menata hidup dan kehidupan. Semoga setumpuk PR pendidikan kita dapat tertuntaskan dengan baik.