Rabu, 24 Juni 2009

Andai Aku Menjadi Gubernur

SEANDAINYA AKU MENJADI GUBERNUR NTB
“POTRET PENDIDIKANKU”

Setiap pergantian tahun, bulan, minggu, jam, menit, bahkan detik sekalipun akan melahirkan penggalan sejarah tersendiri bagi peradaban masyarakat. Kini, 2008 pun tiba. Tahun 2008 merupakan usia genap separuh abad bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Usia yang cukup tua namun belum mampu mendewasakan masyarakatnya. Beberapa kali pergantian Kepala Daerah pun bergulir, namun masyarakat belum secara merata dapat merasakan buah kerja dari para Kepala Daerah yang berada di atas kursi kekuasaan. Buktinya banyak masyarakat yang tidak tahu siapa nama “Gubernurnya, Bupatinya, Camatnya” bahkan ada pula yang tidak tahu siapa nama “Lurahnya” sendiri. Serta tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengenal dan belum pernah melihat wajah pemimpin-pemimpinnya (lebih-lebih secara dekat). Apalagi duduk berjamaah, berjabat tangan dengan pemimpinpun hanya pernah dilakukan oleh segelintir masyarakat saja. Atau mungkin juga masyarakat tidak pernah mendambakan kehadiran “Sang Pemimpin” dalam mimpi panjang yang indah layaknya “Sang Muhammad Nabiyulloh” yang selalu didambakan kehadirannya dalam setiap lelap tidur. Belum lagi kasus-kasus kecemburuan sosial yang dirasakan oleh masyarakat NTB terhadap para pemimpin-pemimpinnya. Mungkin di dalam benak para pemimpin NTB tidak pernah terbayang bahwa masyarakat kecil ingin sekali mencoba kendaraan dinas yang “berplat merah”. Andai angan masyarakat kecil tersebut bisa terwujud. Maka, tidak dapat dibayangkan kegembiraan masyarakat bawah ketika duduk berdampingan dengan pemimpinnya di dalam mobil dinas Pemerintah yang dibeli dari “uang rakyat”. Ada pembicaraan hangat di dalam mobil ber-AC sana, guyonan ringan, diskusi kecil atau curhat seorang kusir becak ketika dunia ini menuntut “motorisasi” sebagai standar global. Atau bahkan mungkin satu hasrat dari seorang anak yatim piatu untuk menjadikan Sang Gubernur menjadi “imam” tatkala datang waktu sholat Magrib dan beri’tiqaf bersama di masjid untuk menunggu datangya perintah Tuhan selanjutnya. Keindahan yang tak kan pernah bisa dilukiskan oleh tinta batin sekalipun. Kesejukan yang tak kan pernah bisa diraih di dunia manapun kecuali dunia cinta yang diisi oleh pemimpin yang mencintai rakyat dengan tulus dan rakyat yang mencintai pemimpin dengan kesetiaan.
Demikianlah prolog singkat yang semestinya disikapi dengan “fisibel”. Namun ada satu hal yang membuat penulis menganga, terkejut dan tersentak ketika membaca pengantar penyunting dalam sebuah buku yang berjudul “Orang Biasa yang Tidak Biasa; Inspirasi & Harapan”, memuat penggalan majalah TEMPO pada awal tahun 1990-an, yang mempelesetkan singkatan NTB menjadi (N)asib (T)idak (B)aik. Pemikiran penulis adalah majalah besar tekemuka tersebut tidak hendak bergurau. Tentu majalah besar tersebut sebelumnya pernah melirik tajam dengan pisau analisis tentang fenomena dan fakta sosial yang berlangsung di Bumi Gora. Secara akal sehat, orang lain tidak akan mungkin memvonis kita tanpa ada sebab yang jelas. Dan kita bersama tidak bisa menutup mata bahwa lebih dari 4 juta rakyat NTB hidup di bawah angka harapan hidup umumnya orang Indonesia (walaupun kita sama-sama yakin bahwa umur anak manusia berada di tanganNya). Jumlah bayi dan anak-anak merenggang nyawa tiap tahunnya. Bahkan Lombok menjadi salah satu daerah dengan kematian ibu dan bayi yang tertinggi di Indonesia dalam dasa warsa terakhir. Begitu pula dengan angka kawin-cerai, kawin muda, buta huruf, TKI dan TKW. Masih teringat pula dengan kabar yang tersiar di layar kaca oleh stasiun televisi swasta pada lembaran April 2008 tentang kasus busung lapar. Semua itu menjadi potret berkilau yang menyambar mata sehingga tak enak untuk dilihat. Menjadikan NTB menjadi daerah yang selalu jalan di tempat. Maka, menyikapi hal demikian sangatlah pantas untuk memposisikan semua lembar masalah tersebut sebagai ladang tanggung jawab besama (terlebih pemerintah Kepala Daerah Nusa Tenggara Barat).
Baiklah, berangkat dari realitas dan fakta sosial yang ada bahwa satu jawaban lurus atas segala macam masalah yang ada hanyalah dengan “mengeluarkan masyarakat NTB dari lembah kebodohan dan jurang pembodohan” yakni mengangkat masyarakat NTB menuju puncak pendidikan dengan kemuliaan ilmu. Terjadinya fenomena kawin-cerai, kawin muda, buta huruf, pengiriman TKI dan TKW secara besar-besaran adalah karena masyarakat kita belum terlalu dirasuki oleh ruh suci dari ilmu.
Berbicara masalah pendidikan, Pemerintah Daeah NTB seharusnya senantiasa aktif memantau berlangsungnya pembangunan ilmu, entah itu kontekstual manusia yang menuntut ilmu ataupu “acces” manusia NTB dalam memburu ilmu. Kalau diperhatikan betul, Pemerintah NTB selama ini cenderung meng”anakemas”kan sekolah-sekolah yang ada di Ibu Kota Provinsi. Dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-kanak (STK) sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) atau sederajat berdiri megah di sana-sini dengan bangunan yang seolah-olah “berbusung dada”. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba mentereng. Sedangkan bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah daerah lain di Bumi NTB masih terbilang 70% di bawah perhatian serius Pemerintah Daerah NTB terhadap “penganakemasan”sekolah-sekolah yang berada di Ibu Kota Provinsi. Ini menandakan belum meratanya sinar pendidikan di Bumi NTB. Dan tidak jarang pula kita temukan di media cetak fenomena para “pencari ilmu” yang rela berjalan sampai puluhan kilo meter demi memenuhi kehausdahagaan akan manisnya ilmu. Atau, seperti hasil penelitian kecil di Desa Selaparang Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 kemarin, menunjukan bahwa di desa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat satu Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Dengan kata lain, di Desa Selaparang tidak terdapat SLTP/sederajat ataupun SMU/sederajat. Padahal menurut Kepala Desa Selaparang, keberadaan sekolah lanjutan sangat diharapkan oleh masyarakat ataupun anak-anak generasi Desa Selaparang.
Pertanyaan yang muncul adalah, “bukankah Negara memiliki kewajiban untuk menjamin pendidikan bagi setiap warga negarnya dan bukankah para penguasa serta pemimpin mempunyai tugas berat yakni mencerdaskan anak bangsa?” Yang sering terlihat bukanlah para pemimpin yang memperjuangkan pendidikan tetapi malah sebaliknya menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang empuk untuk mengisi kantong satu kelompok atau saku perorangan hingga melahirkan kapitalisme pendidikan. Satu sikap “mazmumah” yang sangat kita sayangkan. Para pemimpin seharusnya mencontoh teladan ikhlas Tuan Guru atau Ustaz yang tulus menyemangati ummat. Agar, para pemimpin masa depan lebih bisa menghargai sebuah perjuangan untuk rakyat tanpa mencampur-adukkan tanggung jawab dengan racikan interest (kepentingan). Kalau diperhatikan reversal historical pendidikan, khususnya di Lombok, maka Tuan Guru dan Ustaz lah yang menjadi Prime Mover (penggerak utama) dalam mengentaskan kebodohan. Kritik yang tajam adalah Negara atau Pemerintah Daerah NTB jangan hanya menetapkan bumi, air, dan hasil kekayaan alam lain menjadi milik daerah NTB, tetapi Negara atau Pemerintah Daerah NTB juga seharusnya menjadikan dunia pendidikan yang belum merata tersebut sebagai “home work” dalam pertanggungjawaban sebagai Negara atau Pemerintah Daerah NTB (khusunya Kepala Daerah). Masih banyak daerah-daerah tepencil yang belum terjangkau oleh “keadilan”. Masih banyak pula daerah terpencil yang belum pernah dikunjungi oleh para pemimpin NTB. Bukankah semua kecamatan dan kelurahan di NTB ini adalah di bawah penguasaan Kepala Daerah NTB? Untuk itu, Kepala Daerah seharusnya sesering mungkin turun menginjak “tanah rakyat kecil”. Jangan terlena dengan empuknya kursi jabatan di dalam kantor yang berkeramik “pride” (kebanggaan). Karena sejatinya pemimpin adalah “pelayan rakyat”. Oleh karena itu, “pelayan rakyat” harus benar-benar melayani rakyat dengan baik.
Nah, untuk menunjukkan bahwa tanggal 7 Juli 2008 M atau bertepatan dengan 4 Rajab 1429 H sebagi titik awal dari SMART-nya NTB, maka lewat kaca mata sosiologi menawarkan agar Kepala Daerah NTB terpilih nantinya melakukan “prolog problem solving” yakni Kepala Daerah terpilih nantinya sesering mungkin melakukan “tamasya” (keliling dalam arti yang sesungguhnya) ke daerah-daerah pelosok NTB, baik itu ke Pulau Lombok ataupun Pulau Sumbawa. Sebuah “prolog problem solving” yang mungkin terlihat remeh. Tetapi jika dilirik secara tajam,”prolog problem solving” ini pun akan mampu membawa pada inspirasi-inspirasi jitu yang akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat NTB (misalnya, sinar pendidikan yang belum benderang dan merata). Hingga, permasalahan apa yang diinginkan oleh masyarakat NTB dapat di ketahui dan di dengar oleh Kepala Daerah (Pemerintah Daerah) sendiri. Secara langsung pun, Kepala Daerah akan terkesan demokrat dan merakyat. Efek lain dari “prolog problem solving” tersebut adalah masyarakat kecil akan tahu persis raut wajah Sang Gubernur yang gagah perkasa, dan tidak ada lagi masalah lucu tang serius seperti adanya masyarakat (rakyat) yang tidak menanda imamnya (pemimpinnya).
Penulis berdo’a dan berharap semoga Bapak Tuan Guru Bajang, TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA beserta pasangan serasinya bapak Ir. H. Badrul Munir, MM di beri izin oleh Alloh SWT untuk memimpin NTB ini. Sebab menurut hemat dan pemikiran penulis penulis adalah rakyat NTB (rakyat manapun) membutuhkan sosok pemimpin yang bukan hanya bisa mensejahterakan rakyatnya secara zohir saja melainkan membutuhkan sosok pemimpin yang juga mampu mensejahterakan rakyatnya secara batin (spritual). Pendidikan bagi penulis adalah kulit luar dan yang menjadi dagingnya adalah kesadaran (yang jauh lebih cepat diraih lewat spritual atau mungkin juga bisa dikatakan hanya bisa diraih lewat spritual). Ketika pendidikan dibangun tetapi tidak dibarengi dengan kualitas anak bangsa (pengertian pembangunan secara mental spritual), maka pendidikan di atas hanyalah perbendaan-tidak menggerakkan peradaban kualitas. Sebagai bukti, sudah berapa banyak orang pintar yang masuk penjara gara-gara KKN. Nah, ini menandakan bahwa ternyata ruh ilmu harus disejajarkan dengan ruh spritual.
Selanjutnya, kalau Tuan Guru Bajang terpilih menjadi Gubernur (insya Alloh dan mudah-mudahan) maka beliau langsung bisa menjadi ustaz, guru ataupun dosen bagi kaum tua ataupun jompo yang memiliki “low memory”. Mengajar orang tua ataupun jompo dengan memasukkan mereka ke dalam kelas adalah hal yang kurang tepat guna mencapai target, tetapi dengan beliau langsung turun bersama para Tuan Guru dan Ustaz mengadakan pengajian-pengajian ke pantai-pantai jompo akan lebih mencapai target. Sebab, itupun termasuk mengeluarkan ummat dari lembah kebodohan dan jurang pembodohan. Bahkan kalau bisa Tuan Guru Bajang beserta Tuan Guru dan ustaz lainnya membuat “Jadwal Pengajian Masyarakat Nusa Tenggara Barat”. Begitu pula ketika seorang pemimpin memiliki toleransi tinggi terhadap pemeluk agama lainnya. Mengingatkan dan menyarankan agar membuat rutinitas ibadah secara baik untuk melaksanakan kewajibannya sebagai mahluk sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Mungkin ini terobosan baru dan NTB lah sebagai “pioner-nya”. Cara demikian akan lebih baik dan tepat. Sehingga sinar pendidikan bukan hanya diperuntukkan kepada kawula muda yang haus ilmu tetapi sinar pendidikan juga mampu menembus batas “low memory” masyarakat NTB yang sudah “uzur”. Sinar benderang pendidikan NTB pun akan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat NTB (tidak bersifat mercusuar) berkat dimilikinya pemimpin yang memiliki modal ilmu dan spritual. Akhirnya NTB tidak terjerumus dalam “kejahiliyahan dunia akhirat”. Dan tidak aneh pula jika jadwal pengajianpun diperuntukkan pada Lembaga Pemasyarakatan. Demikianlah ulasan ringan hasrat dari penulis. Mohon maaf jika ada kekeliruan, kecerobohan ataupun kesalahan.

Tidak ada komentar: