Rabu, 24 Juni 2009

KONFLIK NW

KONFLIK NW
Oleh: Janual Aidi

“Apa yang terjadi apabila masa kini adalah dunia tadi malam?”
(John Donne, Devotions upon Energent Occasions)


Prolog
Kejadian ditahun 1998 lalu (bulan, tanggal, dan jam yang penulis lupa) merupakan kejadian bersejarah bagi Nahdlatul Wathan . Ketika itu penulis menyaksikan sendiri keributan tragis dari sepanjang jalan perempatan Masjid At-Taqwa Pancor sampai dengan depan Pantai Asuhan Darul Aitam NW Pancor . Keributan-keributan tragis tersebut beragam. Mulai dari pengganyangan sampai dengan pembakaran barang-barang milik toko “Hikam” oleh masyarakat desa Pancor yang sebenarnya menurut penulis saat itu sebagian besar masyarakat yang ikut mengganyang tersebut tak tidak tahu persis pangkal masalah interen NW. Klimaks dari konflik interennya adalah ketika tubuh NW terpecah menjadi dua yakni NW Pancor yang saat itu dibawah pimpinan Ummi Hj. Siti Rauhun, S. Ag dan NW Anjani yang berada dibawah pimpinan Ummi Hj. Siti Raihanun. Kejadian yang tak kalah tragisnya adalah ketika terjadi perang saudara antara NW Pancor dengan NW Anjani dibeberapa daerah seperti di desa Wanasaba, Pao’ Lombok dan lain sebagainya. Perang saudara tersebut tidak hanya merenggut nyawa antar kedua belah pihak, namun lebih dari itu bahwa perang saudara tersebut telah melahirkan kebencian “real” antar ummat yang kemudian menimbulkan konflik dan mencoreng nama baik pulau Lombok yang dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid” . Singkat cerita, kini NW bertubuh dua meski sekarang tidak pernah terdengar lagi konflik yang terjadi secara terang-terangan seperti dulu.

Sumber Masalah Pecahnya NW
Segala bentuk masalah atau konflik memiliki penyebab (causality). Kenyataan tentang konflik NW pun memiliki sebab (causality). Nah, konon konflik yang terjadi ditubuh NW ditengarai oleh “pihak ketiga”. Oleh masyarakat Pancor dan sebagian besar masyarakat umum lainnya telah melacak dan mengetahui “pihak ketiga” tersebut. Mereka adalah “orang-orang” yang memiliki kepentingan untuk bisa memegang, mengendalikan dan menguasai NW. Jadi menurut penulis, konflik terpecahnya NW menjadi dua kiblat adalah didasari oleh adanya kepentingan pihak tertentu akan hasrat ingin menguasai NW.
Nah sekarang jelaslah sumber masalah dari terpecahnya NW, bahwasanya ada “pihak ketiga” yang ingin menjelmakan dirinya menjadi “raja NW baru”.

Analisis
Jika melirik dari prolog dan sumber masalah di atas, maka dapat dikatakan analisisnya bahwa sesungguhnya kepentingan yang berbeda dan hasrat ingin mendominasi, menghegemoni dan menguasai yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun institusi adalah awal mula atau sumber terjadinya konflik. Artinya, bukanlah semata bahwa konflik dilatarbelakangi oleh hubungan kepemilikan. Penulis setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh tokoh Ralf Dahrendorf (1959) bahwa “hubungan kekuasaanlah, bukan kepemilikan-yang melandasi konflik sosial.
Pada konteks konflik terpecahnya NW pun terlihat adanya kecenderungan “pihak ketiga” untuk mendominasi ataupun menguasai NW. Cara yang ditempuh oleh “pihak ketiga” untuk mendominasi NW dengan cara “tacid collution” (dilakukan tersamar) yakni memperkeruh suasana batin antara Umi Hj. Siti Rauhun, S. Ag dan Umi Hj. Siti Raihanun. Dan setelah salah satu atau keduanya terpengaruh maka “pihak ketiga” dengan tanggap menyusun strategi guna dikenal oleh publik dan untuk mencalonkan serta menjelmakan diri menjadi “Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Pancor”. Hal ini sesuai dengan asumsi Dahrendorf yakni masyarakat atau sistem sosial dalam keadaan dinamis dan memiliki potensi konflik serta disintegrasi. Keteraturan dan keharmonisan yang selama ini tampak pada NW terjadi karena adanya “koersi”. Sebelumnya, jama’ah NW tidak pernah berkonflik karena ada “koersi” (paksaan) dari Pengurus Besar NW agar tidak berkonflik. Maka, tiap posisi sosial memiliki otoritas tersendiri yang bukan ditentukan oleh individu, melainkan oleh posisi yang disandang individu. Dalam hal ini, posisi jama’ah Nahdiyyin dan Nahdiyyat terlihat seperti sami’na wa ato’na (mendengar dan mentaati) terhadap perintah dari Pengurus Besar NW bukan atas dasar kesadaran dari eksistensi diri para jama’ah Nahdiyyin dan Nahdiyyat agar menjadi jama’ah yang “manggut” alias patuh.
Nah, posisi jama’ah nahdiyyin dan nahdiyyat tersebut dalam pandangan Dahrendorf tentang bentuk kepentingan dapat dikategorikan dalam bentuk kepentingan tersembunyi. Maksudnya adalah ada kepentingan terhadap jama’ah NW akan harapan peran yang tidak disadari oleh para nahdiyyin dan nahdiyyat. Yang terombang-ambing di tengah konflik adalah pengikut (jama’ah).
Nah, inilah yang tampak pada konflik perpecahan ditubuh NW. Terlepas dari kekisruhan di atas, konflik pada pemahaman teori konflik adalah bersifat “positif”. Pemahaman tentang “konflik itu positif” adalah kesimpulan akhir tentang deskripsi ataupun analisis tentang teori konflik dalam melirik kasus konflik NW. Maka, jikalau menggunakan konsep demikian, konflik NW bukanlah “bencana atau musibah” tetapi sesungguhnya “berkah” bagi NW. Dan terpecahnya NW menjadi dua bagian menjadikan NW lebih banyak di ketahui dan dikenal oleh masyarakat luas. Mampu menciptakan jama’ah NW yang partisipatif, kritis dan benar-benar menjadi “orang NW” (bukan atas koersi Pengurus Besar NW), serta menjadi benar-benar mencintai, memakmurkan dan menjaga NW. Kini yang terlihat dan terdengar adalah “madrasah-madrasah” NW berada di segala penjuru pulau Lombok. Demikianlah deskripsi sekaligus analisis tentang konflik NW.

The Reason Using Conflict Theory
Melihat bentuk permasalahan yang terjadi ditubuh NW, maka menurut nalar penulis menggunakan pendekatan teori konflik merupakan choose (pilihan) yang tepat dalam menganalisis permasalahan NW. Sebab, apa yang tergambar dan terekam dalam peristiwa 1998 adalah sketsa-sketsa konflik. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa menggunakan pendekatan teori konflik Dahrendorf dalam melirik konflik NW merupakan sebuah alasan logis karena konflik NW telah menciptakan kutub-kutub positif bagi NW dalam perkembangannya. Konflik NW menjadikan NW menjadi lebih besar. Dan itu menandakan bahwa NW butuh konflik. Sederhananya adalah jika berbicara dan membahas konflik maka idealnya menggunakan pendekatan teori-teori konflik. Demikianlah pemahaman penulis.

Tidak ada komentar: