Selasa, 09 Juni 2009

MODERNITAS

ANGGAPAN AWAM TENTANG MODERNITAS


Prolog
Kurang lebih dua minggu yang lalu (hari, tanggal dan jam yang kami lupa), saat menunggu dosen datang dilantai bawah STKIP Hamzanwadi Selong, tampak seorang mahasiswi yang terpukau melihat seorang mahasiswa yang sedang mengendarai sepeda motor bermerek Satria F memasuki gerbang kampus. Sambil terpukau mahasiswi tersebut berkata pada kawannya yang lain, “Hoy, itu dia yang namanya cowok style, cowok moderen”. Tak lama kemudian, melintas juga seorang mahasiswa yang hanya mengendarai sepeda motor bermerek Supra-X. Lalu, mahasiswi itu lagi berkata pada kawannya, “Nah, kalau yang melintas barusan bukan dinamakan cowok style, bukan cowok moderen tapi cowok kuno” ungkap mahasiswi tersebut menggurui kawan-kawannya yang lain. Kawan-kawannya pun mengangguk meng-iyakan celotehnya.

Belum Memahami Arti Moderen
Prolog di atas menandakan bahwa selama ini telah banyak terjadi kesalahpahaman tentang apa itu moderen atau modernitas. Permasalahannya adalah bukti prolog di atas telah diperankan oleh para mahasiswa. Jika para mahasiswa telah salah mengartikan moderen, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Inilah polemik moderen.
Baiklah, kami pada kesempatan ini akan sedikit menerangkan sejarah modernitas serta arti modernitas di mata para sosiolog. Kata modenitas secara etimologi berasal dari kata modern, kata moderen dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah berarti: baru, terbaru, cara baru atau mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman, dapat juga diartikan maju, baik. Menurut Daniel Lerner, modernisasi atau modernitas adalah istilah baru untuk satu proses panjang – proses perubahan sosial, dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang. Modernitas sebenarnya mengacu kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul di Erofa pada kira-kira abad ke-17 dan sesudahnya dan yang pada gilirannya menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Ini mengasosiasikan modernitas dengan suatu kurun waktu dan dengan lokasi geografis awal pembentukannya, namun pada saat yang sama membiarkan ciri utamanya teronggok diam di dalam kotak hitam. Kini, berbagai istilah yang mempesona telah dikemukakan untuk menggambarkan masa ini. Beberapa diantaranya mengacu kepada kemunculan suatu tipe sistem sosial baru, misalnya “masyarakat informasi” dan “masyarakat konsumen”. Bagi Marx, tentu saja, modernitas didefinisikan oleh ekonomi kapitalis. Sedangkan bagi Weber, masalah yang paling menonjol dari dunia moderen adalah ekspansi rasionalitas formal dengan mengorbankan jenis rasionalitas lain dan akibatnya adalah kemunculan kerangkeng besi rasionalitas. Adapun menurut Durkheim, modernitas didefiniskan oleh solidaritas organis dan melemahnya kesadaran kolektif. Dan menurut sosiolog modernitas pertama (1992) yaitu George Simmel, modernitas adalah keterkaitan antara kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat konsentrasi atau intensifikasi modernitas, sementara ekonomi uang mencakup persebaran modernitas, dan perluasannya (Frisby, 1992:62). Tidak lupa pula dengan Giddens yang mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar yaitu “kapitalisme, industrialisme, kapasitas pengawasan dan kontrol atas sarana kekerasan”, namun lebih melancipkan modernitas (masyarakat moderen) sebagai resiko (masyarakat resiko). Namun definisi atau pemahaman tentang modernitas lebih terinci lagi ketika diskusi-diskusi tentang modernitas terus berlangsung. Misalnya, diskusi-diskusi kelas yang memberitahukan bahwa modernitas adalah konsep yang dilahirkan oleh Barat yang kemudian dikonstruksikan lewat being-intelectualitas . Being-intelectualitas inilah yang kemudian dimanefestasikan dengan berbagai cara dan bentuk. Dalam perjalanannya, modernitas terlihat kehilangan being-intelectualitas, hanya lebih menonjolkan manifestasinya. Makna-makna yang ada pada manifestasi modernitas tidak ditemukan lagi. Yang ada hanyalah simbol-simbol prestise.



Realitas Modernitas
Persepsi atau pemahaman akan membawa pada action kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan persepsi individu ataupun masyarakat tentang modernitas. Persepsi sosial tentang modernitas memiliki pengaruh besar terhadap perilaku kehidupan sosial. Anggapan tentang modernitas inilah yang kemudian menimbulkan ikon-ikon seperti “budaya pop”, “budaya konsumerisme” dan lain sebagainya. Realitas moderen dapat dilihat pada setiap lini kehidupan masyarakat. Dan salah satu yang memberi sumbangsing besar terhadap dunia moderen ataupun ikon-ikon seperti yang telah disebutkan tadi adalah “arus media informasi”. Ketika radio masuk pada traditional area, maka seketika itu pula traditional area telah diperkosa oleh modernitas. Kini pemerkosaan terhadap tradisional area pun terus berlangsung. Arus media informasi begitu deras membanjiri traditional area. Televisi, komputer, laptop, internet dan lain sebagainya telah banyak menggauli traditional area hingga traditional area seolah mati diperkosa oleh modernitas. Kearifan tentang traditional area tak dapat dilihat lagi. Yang ada hanya modernitas dan duniapun memakai mode-mode modernitas.
Media informasipun terus menawarkan life style baru. Jelasnya, arus informasi yang begitu kuat telah mampu merubah dunia. Kami menemukan bukti (ikon-ikon moderen) yang menurut kami ikon-ikon budaya tersebut adalah manifestasi dari anggapan atau persepsi masyarakat tentang modernitas sehingga masyarakat membentuk dan memasukkan diri mereka kedalam ikon-ikon modernitas tersebut. Ikon-ikon budaya moderen yang telah menjamur disana-sini tersebut sepeti:
 Ikon Budaya Pop.
Budaya ini merupakan produk modernitas. Budaya pop sering diartikan sebagai budaya massa. Kadangkala, budaya pop didefinisikan sebagai budaya yang berlawanan dengan budaya luhur. Bahkan, ada pula yang menyebut budaya pop sebagai budaya komersial. Di dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop diartikan sebagai berikut: “Popular Culture is values that come from advertising, the entertainment industry, the media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society”. (Encarta reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari industri iklan, industri hiburan, media dan simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam.
Belakangan, budaya pop dikaitkan dengan budaya yang berasal dari rakyat. Dan dalam perjalanannya, budaya pop telah berbenturan dengan budaya daerah. Idiologi baru ini masuk pada rongga-rongga kedaerahan tidak lewat indoktrinasi tertutup, melainkan lewat gemerlap iklan, program TV, tawaran gaya hidup yang “wah”, yang kemudian merubah kebudayaan berikut pengertiannya. Akhirnya, masyarakat yang tak paham dengan modernitas atau modernisasi akan menjadikan modernitas atau modernisasi sebagai “kiblat baru kebudayaan”. Oleh masyarakat yang tak tahu tentang modernitas akan memahami bahwa penampilan dan gaya lebih penting daripada moralitas. Lalu, gaya hidup seperti ini akan menjadi komoditas dan komoditas dipermak untuk mengkonstruksi gaya hidup. Alam konsumtif telah tumbuh menjadi drama kehidupan moderen yang telah jenuh dengan tumpukan kebudayaan sampah yang didaur ulang dalam mesin kapitalisme. Lagi-lagi, modernitas dan budaya pop tak bisa dipisahkan lagi. Tak ada sejengkal wilayah budayapun yang steril dari rembesannya. Budaya pop yang keluar dari rahim modernitas ini telah memaksa kehidupan manusia untuk bisa menjadi sosok manusia baru dengan pemahaman baru tentang budaya ataupun seni. Lalu, modernitas dan budaya pop dilekatkan dengan seksualitas, body building, fashion, diskotik dan lain sebagainya, tanpa sedikitpun dikaitkan dengan sisi positif teknologi ataupun tingkat keintelektualan. Modernitaspun dikaitkan erat dengan wujud materi, sehingga terlihat jelas bahwa modernitas bagi orang yang paham dipercaya sebagai proyek Barat. Sepertinya, modernitas adalah sengaja dibuat oleh para kapitalis teruntuk para kaum bawah, sehingga nantinya para kaum bawah akan memaksakan diri untuk ikut menaiki jaggernaut modernitas. Nah, dengan lakunya promosi modernitas ini menandakan bahwa moderen dan budaya pop akan membuat masyarakat beralih tinggal landas menuju kehidupan individualistik.
Dalam budaya pop, kecantikan dan ketampanan adalah komoditas yang berharga. Karena ia didukung budaya citra yang mengutamakan penampilan. Rupanya belum pernah terbayangkan modernitas telah memaksakan idiologi tubuh sebagai pusat kesadaran. Karena itulah dalam anggapan dan tingkah laku masyarakat kita, ibu-ibu muda dan remaja-remaja kota menemukan jalan untuk membunuh waktu, tidak hanya menghibur diri atau bertelepon ria sepanjang hari seperti selama ini telah disediakan radio dan televisi, tapi muncul pula kesibukan baru untuk mengikuti program-program fitness, aerobik, yoga, dan latihan pernapasan yang mulai menjadi gaya hidup perkotaan. Artinya, budaya pop dan gaya hidup merupakan pemahaman kekinian yang ada pada otak masyarakat sekarang. Dan dalam mendukung gayanya, masyarakat sekarang terlihat sangat membutuhkan figur. Karena itu, para bintang yang disebut oleh Ahmad S. Akbar sebagai “filosof budaya moderen” seperti Michael jackson, Madonna, Ricky Marten, Britney Spears atau yang lainnya disembah dimana-mana. Realitas absurditas budaya seperti inilah yang telah diangkat oleh jean baudrillard lewat karyanya the Ectasy of Communication. Penampakan gaya yang lahir dari kegilaan manusia mengkonsumsi tidak hanya barang yang rel tapi juga yang tidak real, ini jalin menjalin dalam irama komodifikasi dan popularisasi kesan dan citra yang bertumpuk-tumpuk dalam sebuah simulacrum. (Jean Baudrillard, 1983).
Penampilan menarikpun saat ini dengan pemahaman kita beberapa tahun yang lalu sangat berbeda. Saat ini tentang penampilan menarik telah mengalami distorsi makna, lebih berorientasi pada bahasa tubuh dan berbau seksual. Inilah bentuk anggapan sebagian besar masyarakat (terlebih masyarakat awam) terhadap moderen saat ini. Atau seperti yang diungkap oleh Wasail (2004) bahwa “...seperti berpakaian serba minim, memperlihatkan pusar, memperlihatkan mulusnya paha, memberikan ruang tonjolan khusus pada bagian dada atau pantat”.
Namun ada satu hal yang paling memilukan, yaitu sikap “sok moderen” yang dipertontonkan oleh tidak hanya generasi muda (gaul) juga orang-orang yang menganggap sesuatu yang moderen itu semata show kekayaan, show kemewahan, tanpa melihat batas kebutuhan orang lain, serta perilaku “keblinger” yang justru membuat semutpun tertawa, merasa moderen tetapi mengganggu ritme perjalanan orang lain (dengan gaya naik kendaraan asal beda), mengaku moderen tapi suka melanggar lampu lalu lintas, bersikap moderen tapi buat makan sehari-hari harus ‘merampok” hak orang lain. Hidup moderen dipahami dengan kesadaran naik kuda, semua boleh dilakukan tanpa terikat norma dan aturan, asal senang tanpa harus terikat pada penderitaan orang lain, asal nampang dan bergaya tanpa harus tahu darimana dan untuk apa kebudayaan itu tercipta. Pokoknya semua trend dan gaya harus melekat ditubuh, rambut dicat, direbonding, ikut fitness, masuk salon tiap minggu, kemana-mana pakai tank-top (bila perlu memperlihatkan warna BH dan bundaran coklat didada), rok setengah paha. Semua yang dipertontonkan itu hanya simulasi, tanpa tahu untuk apa dan darimana datangnya, mereka seperti robot-robot budaya citra, patung-patung manusia yang dipoles oleh gemerlap trend, bahkan membiarkan diri mereka dicincang, dicabik-cabik, dimainkan, dibolak-balilk, “disetubuhi” dengan beringas, bahkan dijadikan benda oleh budaya pop dan moderen. Inilah yang tampak dalam realitas modernitas kekinian.
 Ikon Budaya Konsumerisme
Pemikiran kami, budaya pop juga merupakan produk modernitas . Produk dengan ikon konsumerisme ini adalah juga bertitik tolak dari anggapan masyarakat tentang modernitas. Modernitas diartikan sebagai membeli, membeli, dan membeli barang. Ikon budaya pop pun memiliki korelasi yang begitu kuat dengan ikon budaya konsumerisme. Budaya pop didukung penuh oleh budaya dan akses budaya konsumerisme.
Nah, realitas budaya konsumerisme juga sangat mudah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana-mana kehidupan konsumerisme terus menjamur. Tak hanya di perkotaan saja, melainkan juga di desa-desa juga. Bahkan, fenomena budaya konsumerisme ataupun budaya pop di desa lebih memilu dan memalukan bila dibandingkan dengan fenomena yang ada di kota. Setting lokasi budaya konsumerisme di kota dapat diperhatikan ketika kita masuk di pusat perbelanjaan seperti mall ataupun super market, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Bahkan menurut cerita kawan yang ada di Jawa, “kondom ” termasuk bahan belanja yang masuk dalam daftar belanja (tak hanya makanan). Ini merupakan pergesaeran ide yang membentuk pola hidup dan perilaku masyarakat sekarang. Masyarakat telah bergerak dari dunia yang dulu pernah sangat akrab dengan mereka, dunia yang penuh kebersahajaan dengan rajahan ikatan sosial yang sangat kuat kedalam dunia yang penuh dengan luapan imajinasi dan gelombang citra. Dibaliik semua perubahan itu terdapat “mesin-mesin fantasi” yang telah merampas kesederhanaan masyarakat seperti shoping mall, bom sinetron dan berbagai industri lain.
Pemahaman (anggapan) masyarakat tentang modernitas itu hanya terbatas pada bentuk-bentuk kreativitas semu moderen. Moderen pada ikon konsumerisme lebih dipahami masyarakat sebagaigaya hidup yang harus dimiliki. Publik seakan-akan berada bersama dengan sebuah realitas, tetapi realitas itu adalah realitas yang tak tersentuh. Ia menjadi sebagai realisme alienatif yang tidak lagi berada pada ketegangan antara fakta dan fiksi dalam menciptakan kesadaran konflik. Sebuah realisme aleanatif yang seakan-akan justru dekat dan akrab dengan dunia mereka. Maka, kesenian yang direpresentasi dan dipersonifikasi seperti ini tidak akan melahirkan kegunaan dalam pengembangan wacana seni.
Sementara itu, shoping mall dan Dysneyland adalah satu perpaduan dari dua wacana yang tidak lagi sejedar membentuk “desa global” akan teapi kini “desa fantasi global” (Yasraf Amil Piliang. 1997) shoping mall lewat komoditas sebagai tontonan, Dysneyland lewat fantas sebagai komoditas. Perkembangan mutakhir kota seperti Jakarta telah mentransportasikan belanja, yang sebelumnya semata-mata transaksi jual-beli, menjadi satu waktu kegiatan senggang yang menjanjikan kesenangan dan fantasi. Sistem perbelanjaan mutakhir menyuguhkan konsumen rangkaian produk dan pelayanan, suasana dan lingkungan yang diremajakan. Kini “kebudayaan konsumerisme” telah menjadi dunia nyata yang menjajah kehidupan sosial yang sangat luas.
Di dalam kebudayaan konsumen dewasa ini, konsumsi tidak lagi sekedar bersifat fungsional. Kini lebih dari itu konsumsi lebih bersifat materi sekaligus simbolik. Kecenderungan umum terhadap arah pembentukan identitas melalui gaya, penggunaan pakaian, mobil atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik dan makna-makana personal telah mewabahi masyarakat. Konsep gaya hidup sebagai alasan lahirnya pemasaran adalah satu bentuk dari pembentukan realitas semu dalam masyarakat konsumen sekarang ini (Carl Gardrner dan Julie Sheppard, 1989).
Konsumsi kini tak lagi diterjemahkan sebagai “lalu lintas benda” (Yasraf Amir Filiang, 1997) akan tetapi menjadi sebuah panggung sosial yang didalamnya makna-makna diperebutkan. Barang konsumen pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat masa menemukan refleksi dirinya. Ia mencari makna hidupnya melalui objek-objek yang dikonsumsi. Demikianlah realitas moderen pada ikon budaya konsumerisme.


SUMBER BACAAN:
Giddens, Anthony. 2004. Konsekuensi-konsekuensi Modernnitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan J. Goodman, Douglas. 2004. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Walgito, Bimmo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Filiang, Yasraf Amir. 1997. Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar: