Kamis, 10 Desember 2009

PENDIDIKAN DASAR GRATIS; SUDAH SAATNYA DIBERLAKUKAN

Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru “(new emerging industrialized countries)” di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni “Declaration on Education for All” di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan “compulsory education” bukan “universal education”.
Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan. Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik. Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan “A Nation at Risk”. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara. Mengapa pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan. Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam ketegangan tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan. Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan. Sumber pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar. Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar. Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan. Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan. Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara. Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin. Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana? Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas. Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi. Selain itu, para pemimpin harus menyadari bahwa pendidikan itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?

PENDIDIKAN DASAR GRATIS; AMANAT YANG TERLUPAKAN

Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sidiknas Pasal 31 UU No 20/2003 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa :”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut. Apakah pendidikan dasar gratis itu mustahil dilaksanakan dari segi finansial, tidak adil bagi si miskin, menurunkan mutu, sekedar mimpi, dll? Tentu saja tidak. Fakta menunjukkan bahwa semua negara maju menggratiskan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Bahkan di Jerman orang asingpun boleh menikmati sekolah gratis tersebut sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya banyak orang kita yang pergi ke Jerman untuk memperoleh pendidikan tinggi gratis dan berkualitas tinggi. Bagaimana dengan negara miskin? Negara miskin seperti Vietnam dan Nigeria di Afrika ternyata juga mampu menggratiskan wajib belajar bagi warganya. Jadi pendidikan dasar gratis itu adalah sangat mungkin, adil, meningkatkan mutu dan juga merupakan keharusan bagi setiap negara. Sangatlah ganjil jika ada pejabat di bidang pendidikan yang menolak konsep pendidikan dasar gratis ini karena ini sama halnya dengan menolak UUD 1945 dan amanat yang dibebankan kepadanya.
Tapi tidak usah melihat dalam skala negara. Bukankah kita sekarang telah menikmati otonomi daerah dimana setiap daerah dapat mengembangkan visi dan strategi pengembangan sumber dayanya sendiri? Jika pemerintah pusat belum mampu menetapkan pendidikan dasar gratis meski telah diamanatkan UU bukankah pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif sendiri untuk itu? Kepala daerah yang memiliki komitmen untuk ikut mencerdaskan kehidupan rakyat di daerahnya semestinya tanpa ragu-ragu meaksanakan amanat ini karena sudah jelas bahwa pemenuhan manat ini akan dapat membawa rakyatnya kepada kemakmuran di masa mendatang. Kepala-kepala daerah yang membebaskan baiya pendidikan bagi rakyatnya sebenarnya adalah pahlawan-pahlawan daerah masing-masing. Tidak heran jika Bupati Jembrana Prof Drg. I Gede Winasa memperoleh penghargaan dari MURI sebagai kabupaten pertama yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bagi segenap warganya. Ia memang pantas memperoleh penghargaan karena banyaknya fasilitas gratis yang ia berikan kepada rakyatnya termasuk kesehatan gratis, KTP gratis, asuransi gratis, PBB petanian gratis, dan lain-lain. Apakah Kabupaten Jembrana daerah yang kaya sehingga mampu melaksanakan itu semua? Tidak samasekali. Jembrana termasuk relatif miskin. Untuk skala propinsi kita harus mengacungkan jempol kepada JP Solossa, Gubernur Papua dan Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, yang melaksanakan pembebasan biaya pendidikan bagi warga di daerah masing-masing.
Tapi memang bukan dana yang menjadi permasalahan. Karena terbukti bahwa daerah miskinpun bisa memenuhi amanat UUD 1945 ini. Kabupaten Sinjai di Sulsel yang juga relatif miskin juga telah mampu membuktikan dirinya mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Yang menjadi masalah adalah KOMITMEN dari para pejabat di daerah masing-masing untuk mau melaksanakan amanat undang-undang ini. Percumalah kita berteriak berjuang bagi rakyat jika hal yang sangat mendasar semacam ini saja para kepala daerah tidak punya keinginan untuk memenuhinya. Pendidikan gratis sebenarnya adalah Jihad Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Jaya Suprana, yang semestinya dilakukan oleh semua kepala daerah demi kemakmuran dan kemajuan daerah masing-masing.
Tapi bukankah ada dana subsidi pendidikan bagi orang miskin dari BBM? Lodi Paat, pengamat pendidikan, dengan kecewa mengatakan bahwa itu merupakan pengalihan tanggung jawab. Lodi Paat menilai dana kompensasi BBM untuk pendidikan sebetulnya hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam membiayai pendidikan. Sebab, biaya yang mestinya ditanggung negara dicoba dikompensasikan dalam kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, di mana orang kaya digiring membiayai pendidikan bagi orang miskin. Amanat undang-undang dalam pendidikan tetap diabaikan.
Untuk kasus Kalimantan Timur jelas bukan masalah dana yang menjadi penghambat. Dana APBD daerah-daerah di Kaltim jauh lebih tinggi daripada Jembrana (232 M) maupun Sinjai. Kita tidak tahu apa masalah yang dihadapi masing-masing daerah sehingga belum juga berusaha untuk membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Sampai hari ini baru Kutai Kertanegara dan Bontang yang membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Daerah-daerah lain masih ditunggu komitmennya.

PENDIDIKAN DASAR DAN DASAR PENDIDIKAN

...“Satu-satunya yang menghambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya”…
(Albert Einstein)
Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anak-anaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar. Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “dasar”. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak.
Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk
memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku. Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yangmenjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan.
Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan ”dasar pendidikan” karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apaapa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

MENGGUGAT PENDIDIKAN GAYA “BANK”

…..”masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan
karena salah ajar (dysteachic communit) ”…..
(Thomas Armstrong, 2002)
Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang. Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas seperti telah sebagian dikemukakan di muka– maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya "Kesadaran Manusia" terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui "Proses Pendidikan Sosial", yang menempatkan pelajar sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat. Freire juga mencetuskan idenya tentang proses penyadaran melalui pendidikan sosial serta memberikan gambaran tentang proses perubahan diri sesorang dari satu kesadaran menuju ke kesadaran lain. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas pemikiran Paulo Freire tentang Kesadaran serta merevansikannya terhadap proses Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu cara untuk merubah masyarakat menjadi berdaya. Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness) dan Kesadaran Kritis (critical consciousness).
1. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
2. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paolu Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/ teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan pertimbangan bahwa konsep kesadaran (melalui pendidikan kritis) yang dicetuskan oleh Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat signifikan dengan proses pengembangan masyarakat, maka menarik untuk mengkaji pemikiran (ide) Paulo Freire tentang kesadaran (kritis) dan merelevansikannya terhadap proses pengembangan masyarakat.

BERKENALAN DENGAN “PAULO FREIRE”

Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.
Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.
Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik. Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.

Minggu, 06 Desember 2009

Tragedi Gunung Meletup

Di Pelawangan(Rinjani Mountain)


sggdgdr

Bersama Dosen, Staf dan Ka. Prodi Pend. Sosiologi UNY

Informasi sebagai komoditi; sebuah nilai

Pandangan tentang informasi sebagai komoditi mengandaikan bahwa informasi dapat diperjualbelikan baik sebagai “intermediate goods” (media yang bagus) maupun sebagai “consumption good” (konsumsi yang bagus). Tetapi pengandaian ini tidak mudah, sebab untuk menjadi demikian informasi harus memiliki nilai tambah dan memberi keuntungan bagi setiap investasinya; kemudian, investasi ini harus terlindungi hukum kepemilikan. Tanpa ekslusivitas kepemilikan, informasi bisa saja bernilai tetapi akan sulit diberi harga. Pemberian nilai dan harga ini menjadi sulit manakala reproduksinya sudah sangat mudah dan murah, apalagi sekarang juga transmisi atau penyebarannya semakin murah.
Informasi juga sulit diberi nilai dan harga karena potensi karakteristiknya sebagai public goods. Setiap informasi berpotensi menjadi milik umum karena kepemilikannya dapat meluas, dan satu informasi dapat dimiliki oleh banyak orang sekaligus. Setiap orang dapat memberikan informasi tanpa kehilangan kepemilikannya atas informasi tersebut. Kalaupun ada upaya untuk membatasi akses informasi hanya kepada orang-orang yang mau membayar, maka upaya ini pada umumnya tidak efisien karena untuk setiap akses tambahan tidak ada biaya tambahan terhadap produksi informasinya. Sekali diproduksi, informasi dapat diakses berkali-kali atau oleh sebanyak-banyaknya orang tanpa menambah biaya produksi tersebut.
Kemudian juga ada persoalan dalam mengkuantifikasi dan mengukur informasi yang ingin diperjualbelikan sebagai benda. Komoditisasi informasi dilakukan lewat kemasan atau format fisik media penyimpannya (mulai dari bentuk buku, CD, program televisi, websites, dsb.), dan orang membayar bentuk-bentuk fisik atau siaran itu, tetapi sebenarnya nilai dan harga yang dikenakan tidak pernah benar-benar menyentuh isi informasi yang keluar dari kemasan-kemasan tersebut. Itu sebabnya, sulit menetapkan standar bagi harga sebuah informasi, dan industri informasi selalu menghadapi persoalan dalam upaya memastikan harga sesungguhnya dari informasi.
Karena kerepotan-kerepotan di atas, komoditisasi informasi lalu dikaitkan pula dengan efisiensi organisasi bisnis. Informasi kemudian dikaitkan dengan kemampuan organisasi bisnis dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan pasar. Sedemikian rupa, akhirnya informasi dikaitkan dengan pengetahuan dan efisiensi pengelolaan komunikasi pengetahuan secara internal maupun eksternal. Maka perhatian diarahkan kepada informasi yang relevan untuk memperbaiki kinerja dan perilaku anggota-anggota organisasi dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi.
Dari sisi pandang organisasi inilah maka ada a dramatic shift in value creation. Jika berbagai teori organisasi bisnis selama ini bergantung kepada audit finansial dalam bentuk “balance sheet dan income statemen”t, sekarang nilai sebuah bisnis juga bergantung kepada serangkaian elemen berupa pemikiran / ide, inovasi, aktivitas, kerja sama kelompok, dan business processes. Ini semua disebut "intangibles." Maka akhirnya, “intangibles are increasingly the means by which companies deliver the value they provide to customers”. Menurut sebuah penelitian Harvard, investasi di tahun 1998 untuk intangible assets berupa pelatihan, brand, dan penelitian dan pengembangan melebihi investasi untuk yang tangibles seperti properti, pabrik, peralatan. Selain itu juga ada investasi khusus untuk menyempurnakan proses bisnis dan manufacturing process, pengembangan instrumen finansial yang dapat membantu manajemen menyebarkan risiko bisnis secara lebih terencana, dan pengembangan corporate culture.
Dengan demikian, setiap organisasi kini tidak hanya bicara tentang “informasi” atau “data” sebagai bagian dari proses komoditisasi informasi, melainkan juga kaitan antara informasi dan data itu dengan pengetahuan. Pengetahuan sebagai “intangible assets” menjadi penting untuk menggambarkan kondisi sebuah organisasi bisnis. Berbagai model digunakan untuk menggambarkan betapa bernilainya pengetahuan bagi sebuah organisasi. Misalnya, "Model Skandia" menggambarkan pengetahuan sebagai berikut:
Market Value = Financial Capital + Intellectual Capital
Intellectual Capital = Human Capital + Structural Capital
Human Capital di rumus di atas terdiri dari pengetahuan, keterampilan, kemampuan melahirkan inovasi, dan kemampuan anggota organisasi melakukan tugasnya, termasuk di dalamnya nilai, kultur, dan filosofi. Juga termasuk pengetahuan, kebajikan (wisdom), keahlian, intuisi, dan kemampuan perorangan untuk mewujudkan tugas dan tujuan; merupakan milik perorangan dan tidak bisa dimiliki oleh organisasi. Sedangkan Structural Capital adalah pengetahuan yang menetap di sebuah organisasi di luar modal manusia. Structural Capital ini dapat didefinisikan sebagai = Market Capital + Organizational Capital
Market Capital adalah nilai di dalam hubungan sebuah organisasi dengan klien. Sedangkan Organizational Capital adalah perangkat keras, perangkat lunak, pangkalan data, struktur organisasi, paten, merek dagang, dan segala sesuatu yang mendukung produktifitas perorangan melalui penggunaan bersama dan penyebarannya. Selanjutnya, Organizational Capital dapat dirumuskan sebagai = Process Capital + Renewal & Development Capital
Process Capital itu sendiri adalah proses, aktifitas, dan infrastruktur untuk penciptaan, pemakaian bersama, pemindahan, dan penyebaran pengetahuan yang dapat memberi sumbangan kepada produktifitas organisasi. (kegiatan masa kini)
Renewal and Development Capital adalah kemampuan dan investasi aktual untuk masa depan, seperti pembelajaran, penelitian dan pengembangan, paten, merek dagang. (persiapan masa mendatang). Kalau kita melihat lebih seksama unsur "process capital" di model di atas, maka organisasi-organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian kepada apa yang selama ini dikenal sebagai "modal sosial" (social capital) yang sudah pernah kita bahas sebelumnya.
Terima kasih…!
Salam sosiologi...!

“Teori Kritis” komunikasi kontemporer Jurgen Habermas

”Teori kritis merupakan pembaharuan dari tradisi Markxis yang menghendaki emansipasi mereka yang tertindas dan ternista di dalam masyarakat yang timpang”.
Istilah ini merujuk pada tesa bangunan teori yang diandaikan oleh Habermas dalam rangka untuk meneruskan kebuntuan Mazhab Frankfrut. Atau dalam istilah bahasa; pandangan komunikasi. Pendekatan teori kritis menjelaskan dengan cukup bijak bahwa teori ini memberi penekanan kuat kepada hubungan dan sarana komunikasi dalam masyarakat. Praktek-praktek komunikasi merupakan suatu hasil dari ketegangan-ketegangan antara kretifitas indifidu dan batasan-batasan fosial terhadap kreatifitas tersebut. Hanya bila indifidu benar-benar bebas untuk mengespresikan diri dengan jelas dan tegas maka pembebasan bisa terjadi dan kondisi itu tidak bisa dicapai dalam masyarakat yang berdasarkan kelas.
Penulis belajarmenganalisis bahwa teori kritis pada umumnya memiliki 4 (empat) karakter ; (1) bahwa teori kritis bersifat historis, (2) Teori kritis dikembangkan berdasarkan kesadaran dan keterlibatan historis pemikirnya, berisfat kritis terhadap dirinya, (3) teori ini mengembangkan dealektisnya termasuk memiliki kecurigaan pada masyarakat aktual, manipulasi dan kontradisi, (4) Bahwa teori kritis bersifat praxis. Pada point keempat menjelaskan bahwa sikap kritis dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat, dan tranformasi tersebut bisa dicapai jika bernilai praxis ke arah perubahan sosial (Budi Hardiman, 1993). Jika dilihat secara utuh pendekatan ini, pemikiran kritisnya menghubungkan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah bukan hanya dipahami sebuah kontepelasi, melainkan mengarah tindakan dasar tingkah laku sebagai mahluk sosial yang mendorong perubahan sosial. Habermas melihat bahwa masyarakat yang moderen sejauh diarahkan atau dikendalikan sistem kapitalisme akan mengalami hambatan atau “patologi sosial” serta “cacat”. Dengan mengutamakan segi-segi fundamental dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan administrasi birokratis, modernitas yang kapitalistis menindas wilayah hakiki masyarakat yang dasarnya bersifat komunikatif. Pun Habermas tak lupa menilai rasionalisasi masyarakat, teknokratisme, depolitisasi massa, dan demoktisasi termasuk krisis legitimasi adalah sesuatu dipertanyakan. Patologi sosial dan cacat yang bawah oleh modernitas akan masuk dan meggorogoti masyarakat. Prasyarat ke arah itu memerlukan sebuah kondisi keseimbangan yang stabil yang relevan dengan masalah ilmu, politik, ekonomi, budaya, masyarakat, media, termasuk filsafat. Cacat-cacat modernitas itu, menurutnya, harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut dalam arti ” rasio komunikatif” yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan. (Jurnal Mediator, Safarudin.I, 2004)
Melengkapi argumentasinya, Habermas menegaskan kembali bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan kepentingan emansipatorisnya, adalah membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan. Otonomi ini bersifat individu dan kolektif berhubungan dengan pencapaian kosensusus bebas dominasi kekuasaan, ekonomi, termasuk juga idiologi. Menurutnya, sungguh suatu hal yang mustahil ilmu pengetahuan hanya memiliki tugas teoritis tanpa bersifat praktis terhadap faktor-faktor obyektif ”realitas” di dalam dunia kehidupan. Demikian halnya, faktor-faktor produksi tidak semestinya berpihak pada sistim kapitalisme pasar yakni kepada golongan (kelas) tertentu, atau negara / kekuasaan semata. Melainkan, ilmu pengetahuan harus bisa diaplikasi secara utuh dalan sistim dunia kehidupan, dan penguasaan terhadap sektor ekonomi, politik, budaya, termasuk media komunikasi harus memihak kepada masyarakat (publik) secara seimbang. Sebuah masyarakat yang modern dan demokratis adalah masyarakat yang didasarkan cita-cita luhurnya tanpa kendalikan dan dikontrol oleh sebuah kekuatan serta dominasi idiologi tertentu. Masyarakat yang maju menghendaki idiologinya masing-masing berkembang serta interaksi diantara mereka yang memungkinkan terbukanya ruang dialog secara bebas. Sementara hal yang dipandang krusial menyangkut sisi kekuasaan (negara). Apa yang dimaksudkan Habermas, bahwa kekuasaan semestinya tidak hanya dilegitimasikan melainkan juga dirasionalisasikan. Disini, kekuasaan juga harus dicerahi dengan diskusi rasional, wacana publik, agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politik dan mengarahkan kemajuan masyarakat. Masyarakat sudah saatnya dipandang tidak saja sebagai sistem administrasi dan ekonomi, melainkan juga solidaritas budaya atau komunitas yang saling berhubungan dan berkembang. Pada tataran ini interaksi dan rasionalisasi diwujudkan dalam bentuk dan paradigma komunikasi.
Masyarakat yang dicita-citakan dalam teori ini, adalah masyarakat komunikatif yang maju dan demokratis, terlepas dari penindasan, diskriminasi, marginal, dari kekuasaan, kepentingan, dominasi idiologi, ekonomi, kelas dan gender. Kelas-kelas yang dominan di masyarakat sendiri terbentuk melalui perjuangan dari beberapa idiologi. Di lain pihak banyak teoritis mengakui bahwa kontradiksi ketegangan dan konflik merupakan aspek-aspek yang tidak dapat dihindari dari tatanan sosial dan tidak pernah bisa dihapuskan. Keadaan idealnya adalah sebuah lingkungan sosial dimana semua suara dapat didengar sehingga tidak ada satu kekuatan yang mendominasi kekuatan yang lain. Akhirnya, secara luas harus diakui bahwa teori kritis mengekspresikan perjuangan bersama, dan menekankan relasi antara kekuasaan, media, dan pemeliharaan tatanan sosial yang setara. Jika diantara relasi-relasi tersebut dilepaskan justru akan berdampak pada krisis legitimasi yang membawa masyarakat tercabut dari akarnya, dari lingkungan sosialnya. Jadi, dalam perkembangannya, konsep pemikiran kritis selalu melekat ide demokrasi melalui kebebasan dan tanggung jawab, serta memberi konstribusi kepada upaya intelektual yang bisa dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat. Penggambaran ini oleh Hanno Hardt secara sekilas telah dikemukaan dalam esainya bahwa ;
Aspek komunikasi menduduki posisi sentral dalam gerakan ini, dan studi komunikasi massa adalah suatu yang amat penting yang banyak mendapat perhatian. Pada pendekatan teori kritis, pesan-pesan komunikasi tidak dapat dipisahkan dari komunitas komunikasi yang menjadi sumber legitimasi dan autensitasnya. Sebuah masyarakat akan bertahan atau eksis jika keutuhan integrasi kelas dan struktur sosial dapat dipertahankan perannya masing-masing. Bahwa modernitas kapitalistik adalah modernitas yang terdistorsi, sebuah pencerahan dan cacat dapat diatasi dengan tindakan komunikatif. Mengambil hikmah dan manfaat dari pemikiran kritis ini, bahwa bahaya-bahaya serius yang akan menimpa masyarakat yang strategi pembangunannya diarahkan semata-mata demi akumulasi modal, birokratisasi, dan teknokrasi akan menyingkirkan atau memanipulasi unsur hakiki masyarakat yakni solidaritas sosial. Meskipun oleh Habermas sendiri dalam pendekatan teori kritisnya, tidak secara tegas menyatakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan, masih bersifat ’abstrak dan ambigu’. Namun yang pasti, sejauh konstruksi (pembangunan) masyarakat termasuk masyarakat Indonesia, untuk menuju masyarakat maju, modern dan demokratis secara universal, tidak bisa mengabaikan analisis-analisis ini yang dianjurkan oleh Habermas.

Konsep dan Teori Modernitas; Melirik Persoalan Pembangunan

......aku bertanya, "mengapa orang cerdas tidak pernah dianggap moderen?"
sungguh, kita terjebak nalar awam

Teori modernisasi menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia.
Perspektif teori Modernisasi Klasik menyoroti bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara modern. McClelland menyarankan agar Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modernnya. Artikel diatas, menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya. Secara kasat mata dapat dikatakan telah terjadi proses homogenisasi budaya dunia. (fastfood) dengan hanya mencontoh (akulturasi) atau melakukan “cultural borrowing” (westernisasi). Hal ini sejalan dengan aliran pemikiran yang berakar pada perspektif fungsionalisme maka aliran modernisasi memiliki ciri-ciri dasar antara lain: ”Sumber perubahan adalah dari dalam atau dari budaya masyarakat itu sendiri (internal resources) bukan ditentukan unsur luar”.
Modernisasi tidak hanya menyentuh wilayah teknis, tetapi juga menyentuh nilai-nilai, adanya karakteristik ditemukan sebagian dari ciri-ciri manusia modern sebagaimana menurut Alex Inkeles (1969-1983) dalam teorinya “Manusia Modern”, yaitu :
o Sikap membuka diri pada hal-hal yang baru.
o Tidak terikat (bebas) terhadap ikatan institusi maupun penguasa tradisional.
o Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan
o Menghargai ketepatan waktu
o Melakukan segala sesuatu secara terencana
Bila dalam teori Modernisasi Klasik, “tradisi atau tradisional” dianggap sebagai penghalang “pembangunan”, maka dalam teori Modernisasi Baru, tradisi atau tradisional dipandang sebagai faktor “positif pembangunan”. Sebagaimana digambarkan di atas, masyarakat tradisional (misalnya Indonesia) pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi” serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan inetrnal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Michael R. Dove dalam kajiannya tentang Indonesia, bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan, mampu melakukan penyesuaian dengan baik terhadap kondisi lokal. Teori ini merumuskan implikasi kebijakan pembangunan yang diperlukan untuk membangun Dunia Ketiga sebagai keterkaitan antara negara berkembang dengan negara maju akan saling memberikan manfaat timbal balik, khususnya bagi negara berkembang. Konsep dan teori modernitas atau modernisasi, klasik maupun baru, hanya melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya (Negara-Negara Dunia Pertama).
Kalau dalam kajian modernitas atau modernisasi ditemukan istilah “juggernaut” dari tokoh Anthony Giddens, maka untuk menggambarkan situasi dan kondisi komunikasi pembangunan yang melanda Negara-Negara Dunia Ketiga (negara-negara berkembang, salah satunya negara kita Indonesia) saat ini adalah mau tidak mau Negara-Negara Dunia Ketiga harus mengendarai “juggernaut modenitas” tersebut. Hal ini terlihat dari geliat pembangunan yang dilakukan dan digencarkan oleh Negara-Negara Dunia Ketiga. Jelasnya, kita bisa menyaksikan proses pembangunan yang telah dilakukan disana-sini, bak jamur dimusim hujan. Ya, inilah realitas dari konsep modernitas yang dipahami oleh Negara-Negara Dunia Ketiga. Penulis hanya ingin mengatakan dan bertanya, “mengapa orang cerdas tidak pernah dianggap moderen?”. Sepertinya kita harus meredifinisi modernitas. Mereduksi pemahaman masyarakat kita tentang moderen. Bagamana, apakah anda para pembaca setuju?

“Komunikasi dan Pembangunan dalam Perspektif Modernisasi”

Modernisasi menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Hal ini berhubungan dengan perubahan orientasi. Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.
Namun, proses modernisasi tampaknya masih dimonopoli oleh masyarakat perkotaan sampai sekarang, terutama di kota-kota negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kota-kota tersebut dikonsentrasikan sebagai pusat pembangunan, baik itu aspek material, mental-spiritual, dan sosio-kultural. Dengan kemudahan akses informasi, masyarakat desa melihat tersebut sebagai sesuatu yang menarik dan layak ditiru, sehingga sering kita dengar istilah “kebarat-baratan”, “anak gaul”, atau “kekota-kotaan”. Selanjutnya, mereka berusaha merubah citranya yang berakibat juga dengan perubahan citra daerah yang ditinggalinya.
Dalam situs www.wawasandigital.com , dengan tema “Membongkar Idiologi Pembangunan” disebutkan bahwa sebenarnya, pembangunan memiliki kekuatan patologis bagi Negara-Negara Dunia Ketiga. Pembangunan terlanjur menjadi slogan kekuasaan dan kebenaran tunggal bagi kelompok negara berkembang dan miskin ini. Indonesia bahkan harus menjadi hambanya.
Bersikap kritis kepada pembangunan dapat memicu penilaian sebagai pihak antipembangunan dan tidak mendukung “proyek besar modernisasi”. Menggugat pembangunan dianggap sebagai menentang kemajuan dan tidak peduli pada rakyat kecil. Ironisnya, jika disingkap lebih mendalam, pembangunan justru bisa memerosokkan nasib negara-negara yang menjalankan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan sebagai proyek monumental dikembangkan para ideolognya yang memiliki keyakinan bahwa otonomi nasional Negara-Negara Dunia Ketiga dapat dicapai dan dipertahankan melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya eksternal dalam sebuah sistem yang kapitalistik. Kriteria keberhasilan yang digunakan adalah Barat. Pembangunan identik dengan kemajuan, dari masyarakat tradisional (primitif) menuju masyarakat modern (industri). Itulah yang disebut sebagai pembangunanism (developmentalism). Doktrin ini adalah reaksi Amerika Serikat terhadap komunisme dan gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan Afrika. Corak pembangunan ini dimulai pada dekade 1950- an dan 1960-an.
Menurut nalar kritis saya, pembangunan yang menjadi doktrin ideologis itu merupakan pelaksanaan dari “penjajahan bercorak baru” (neokolonialisme). Para ideolognya menerapkan perspektif berwatak “Eropa-sentris” yang mengandaikan negara-negara non-Eropa tidak maju. Melalui konsep pembangunan, dominasi negara-negara Barat ditancapkan. Bentuknya yang paling kontemporer, sebagaimana diulas Naomi Klein (The Shock Doctrine, 2007), dijalankan sistematis ketika negara-negara berkembang terkena bencana alam. Tsunami, misalnya, yang menghancurkan kawasan di negara-negara miskin adalah peluang bagi Barat untuk memaksakan sistem pasar bebas. Dalih yang dipakai yaitu mendapatkan lagi stabilitas ekonomi. Itulah realisasi "kapitalisme bencana" yang saat ini dan selamanya terus diartikulasikan dengan paradigma moderen (modernisasi).
Wajah pembangunan mengalami transformasi pada 1970-an. Jika pada tahap sebelumnya, isu-isu yang ditebarkan adalah stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan, maka pada dekade ini, isu yang bergulir ialah lingkungan hidup. Maka, muncul konsep “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development). Pemenuhan kebutuhan manusia jangan sampai merusak lingkungan hingga masa depan yang tak terbatas. Tiga isu didengungkan pada periode ini, yakni keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial-politik.
Ada agenda tersembunyi pada model pembangunan ini. Lingkungan hidup yang mengalami kerusakan karena pelaksanaan pembangunan memang wajib dicegah. Tapi, doktrin ini membatasi pelaksanaan pembangunan negara-negara berkembang. Saat Negara-Negara Dunia Pertama, seperti Eropa dan Amerika Serikat, menciptakan polusi secara signifikan selama mereka melakukan pembangunan, negara-negara ini mengajari (malah memaksa) Negara-Negara Dunia Ketiga mengurangi polusi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi, pembangunan berkelanjutan bisa diartikan sebagai penerapan kembali gaya hidup pra-modern bagi negara- negara berkembang.
Tiga puluhan tahun kemudian, doktrin pembangunan mengalami perubahan lagi. Selama tahun 2000-2015, Tujuan-Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) diperkenalkan dan diterapkan. Akhirnya, kita hanya geleng-geleng kepala dan hanya bisa berujar dalam hati, “sungguh tragis adanya pembangunan yang dipahami dengan proses modernisasi ini!”.

Komunikasi dan Pembangunan di Negara-Negara Dunia Ketiga; Sebuah Tinjauan Sosiologis



Menjadi negara yang maju dan modern adalah harapan setiap negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Berbagai teori pendekatan pembangunan sudah diterapkan, namun belum ada perubahan yang signifikan. Alih-alih terjadi perubahan, tetapi muncul ketimpang di berbagai aspek kehidupan sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan baru.
Peranan komunikasi dalam pembangunan merupakan sebuah kunci keberhasilan suatu pembangunan bangsa dan negara. Tanpa adanya komunikasi di antara perencana dan sasaran pembangunan, pembangunan tidak akan berhasil seperti yang diharapkan. Banyak yang tidak menyadari hal ini. Masyarakat sebagai sasaran pembangunan jarang, bahkan tidak diikut sertakan dalam perencanaan dan pelaksanaannya sehingga hanya sebagian kecil orang yang dapat merasakan manfaat dari pembangunan. Dan pembangunan tersebut seolah menjadi sia-sia, bahkan menjadi “bomerang”.
Kegagalan praktik pembangunan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga), khususnya di Indonesia, selain disebabkan penggunaan paradigma dan teori yang tidak relevan, juga banyak disebabkan oleh pendekatan
komunikasi yang belum sesuai dengan kondisi masyarakat. Buku ini
mengetengahkan upaya pencarian model pendekatan komunikasi sebagai
strategi komprehensif untuk melakukan perubahan dan pembangunan bangsa
dan negara. Di dalamnya dipaparkan sejumlah pandangan, pemikiran, dan
analisis., baik secara teoretis maupun praktis mengenai aspek, paradigma, teori, pendekatan serta model komunikasi dan pembangunan, juga teknologi komunikasi sebagai sebuah setrategi dalam penerapannya. Karena itu, buku ini sangat bermanfaat bagi para perencana pembangunan, pelaksana pembangunan, mahasiswa, dosen, praktisi, stakeholder, dan siapa saj yang peduli terhadap pembagunan bangsa dan negara.
Menilik sub bab di atas, maka penulis menemukan beberapa asumsi yang perlu diungkap dan mestimya dicamkan dalam pembicaraan pola-pola strategi komunikasi yang berlaku di dunia ketiga. Pertama, diasumsikan bahwa negara-negara dunia ketiga dewasa ini sedang menempuh proses “industrialisasi”. Implikasinya adalah bahwa “industrialisasi” dipegang sebagai kunci dalam “pembangunan”. Dan kita tahu bahwa dengan berpegang pada industrialisasi sebagai kunci pembangunan berarti negara-negara dunia ketiga mengikuti paradigma lama, yang mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi lewat industrialisasi merupakan kunci pembangunan nasional. Dengan implikasi bahwa teknologi dan modal menggeser kedudukan utama tenaga kerja. Kedua, dengan berpegang pada konsep industrialisasi berarti dunia ketiga melakukan pembangunan dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan teknologi padat modal. Ketiga, pertumbuhan ekonomi dianggap dapat menyelesaikan segala masalah yang menimpa dunia ketiga, karena masalah ekonomi merupakan masalah sentral bagi kehidupan dunia ketiga. Implikasinya manusia dunia ketiga harus ditransformasikan menjadi manusia ekonomi yang serba rasional yang digerakkan oleh kepentingan ekonomi, sehingga kualitas proses dan pertumbuhan itu sendiri kehilangan arti. Artinya, pertumbuhan ekonomi dikejar dengan segala pengorbanan dan mempertaruhkan martabat manusia maupun relasi sosial (human cost) (Charles K. Wilber, 1985). Keempat, diasumsikan bahwa komunikasi mempunyai peranan positif sebagai penunjang, mendukung dan memperlancar proses industrialisasi. Asumsi ini sebenarnya tidak sejalan dengan asumsi ketiga yang mengimplikasikan bahwa sukses ekonomi akan menyelesaikan degala masalah yang dihadapi masyarakat. Dari kedua asumsi ini dapat disimpulkan bahwa terdapat interaksi yang saling mempengaruhi antara pertumbuhan ekonomi dan komunikasi. Keterkaitan positif antara ekonomi dan komunikasi ini yang melandasi teori-teori tentang peran komunikasi dalam pembangunan di negara-negara berkembang yang dikenal dengan beberapa variasi penyebutan, seperti modernisasi dan pembangunan nasional, yang dirintis oleh Daniel Lerner, Wilbur Schramm, Frederick W. Frey, dan Everett M. Rogers. (Diagram 1). Akhirnya, kelima, diasumsikan bahwa komunikasi dapat direkayasa untuk memenuhi suatu strategi operasi guna mencapai sasaran, dalam hal ini proses yang dimaksud adalah proses industrialisasi dan pembanguna. Artinya, komunikasi massa dan komunikasi sosial tidak dibiarkan berkembang dengan sendirinya sesuai dengan hukum dinamika sosial, melainkan direkayasa secara khusus untuk meningkatkan efektivitas kerja (industrialisasi dan pembangunan).
Komunikasi pembangunan harus didahului oleh pengadaan suatu favourible mental climate ataupun predisposisi, kesedian menerima pesan komunikasi pembangunan itu sendiri. Komunikasi pembangunan bertujuan atau akan mengakobatkan perubahan sosial besar-besarran. Hal ini berarti modernisasi atau kemajuan, tetapi masyarakat tidak akan menerima atau mau berpartisipasi apabila inti dari pesan komunikasi tadi tidak dipahami dan tidak dirasakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya sehingga tidak akan sampai kepada taraf motivasi.
Komunikasi pembangunam juga suatu proses pendidikan dalam arti luas. Dalam arti pembangunan moderen yang mengusahakan agar didapat suatu pendidikan dan kehidupan yang berbeda dari anak didiknya dengan orang tuanya. Komunikasi pembangunan adalah juga komunikasi perubahan yang menghendaki perubahan dalam kebudayaannya. Inti dari komunikasi pembangunan adalah “planning in advance”, memperhitungkan bahwa setiap tahap perkembangan (sebagai akibat perubahan) akan mengakibatkan arus komunikasi dan informasi yang lain, dengan akibat bahwa bahwa perencanaan sudah harus siap dengan kegiatan komunikasi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh situasi yang baru.
Maka titik akhir kesimpulan sub bab pertama ini yaitu bahwa sebenarnya jika kita berbicara mengenai komunikasi, pembangunan dan Negara Dunia Ketiga maka “informasi” dan “komunikasi-lah” sebagai faktor utama dari lahirnya pembangunan (developmentaslisme) pada negara negara-negara Dunia Ketiga ataupun negara-negara lalin di dunia. Akhir dari informasi dan komunikasi serta pembangunan adalah apa yang disebut dengan “perubahan sosial”. Ya, sudah sangat jelas indikasi dari kesemuanya adalah akan melahirkan sebuah “perubahan sosial” (bahkan bisa juga menghadirkan “perubahan global). Adapun mengenai Negara-negara Dunia Ketiga dipahami sebagai negara-negara yang sedang berkembang.

Minggu, 27 September 2009

NOMOR HP & EMAIL JANUAL AIDI

Bismillahi wabihamdihi
Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh
Bagi pengunjung blog saya (www.janualaidi01.blogspot.com) kita bisa bertukar pikiran atau berdiskusi sosial, agama, ataupun budaya di nomor Hand Phone 087763218125 atau via email di janual.88@gmail.com. Bisa juga "Bejorak (bercanda-ria" di Face Book.... Terima kasih...Salam sosial...
Ingat, jangan pernah menaruh belas kasihan terhadapku. Sebab rasa kasihan hanaya untuk orang lemah. Diri ini masih kuat didalam penderitaan ini. Maka semangat, doa dan usaha adalah modal-modal terbesarku. Bagiku, kehilangan semangat lebih sakit daripada kehilangan nyawa...See U...

Senin, 03 Agustus 2009

DUNIA ORANG BAYAN DI PULAU SERIBU MASJID

KATA PENGANTAR

Menyatu dengan masyarakat pedalaman Bayan merupakan sebuah kenangan manis dan sulit dilupakan. Terlebih ketika para beberapa peneliti seperti Erni Budiawati, John Ryan Bartholomew, Prasetia, Abdus Syakur atau peneliti-peneliti lain yang entah berasal dari luar negeri sekalipun pernah menginjakkan kaki di desa yang sampai sekarang ini masih memegang erat kearifan lokal (local wisdom). Sungguh tak mudah menjadi daerah yang tetap mempertahankan budaya yang “full” dengan tradisi, ritual ataupun awig-awig. Sebut saja suku Dayak di Kalimantan atau suku Asmat di Irian Jaya. Standing applaus pun selayaknya diberikan kepada desa Bayan atas kegigihan mereka mendayung kosmologi ataupun budaya mereka sendiri di samudera moderen. Sebuah perjuangan keras yang sulit dilakoni.
Atas semua itu, peneliti tak lupa bersyukur pada Alloh Swt yang telah memberikan berbagai macam anugerahNya yang tak terhitung, atas anugerahNya tersebutlah laporan penelitian berjudul “DUNIA ORANG BAYAN DI PULAU SERIBU MASJID” ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam pun terhadiahkan pada Baginda Alam Nabi Besar Muhammad Saw sebagai Nabi yang membawa panji-panji kebijaksanaan.
Di Bayanlah peneliti mendapat banyak ilmu, seperti ilmu mencintai alam dan sesama, berjiwa besar, bersahaja dan tak boleh sombong, konsisten, pandai berterima kasih, hidup selaras yang kadang kala harus mentertawakan hidup dan menseriusi hidup serta banyak ilmu lainnya lagi.
Terima kasihku untuk mereka yang membuat tulisan ini selesai. Bermula untuk seorang dosen yang tak mau di anggap dosen, ia adalah Mas Yusuf Effendi, M. Hum yang membimbing saya dengan gembira. Bapak Dosen Lalu Istiqlal, M. Si yang tetap tersenyum sejak survey lapangan sampai dengan pertemuan terakhir Mata Kuliah Metodelogi Penelitian Sosiologi di lantai II STKIP Hamzanwadi Selong. Juga teman-teman kelompokku seperti Baiq Fina Novita Dewi, M. Ramli, Nurhidayati, Nuril Barziah, Rabihatun, Rodi Hartono, Pahruddin, Sabariah, dan Saharudin yang selalu bersemangat dan senyum sumringah ketika memakai kemben dan sapuk juga dodot selama di Bayan. Tak kulupakan Raden Putra Gede atas segudang referensi cerita tentang Bayan dengan tawa lepas dan penuh guyonan, Raden Sumbawa dengan kebaikan hati dan beremnya, Dende Ayu atas logistiknya, Kadus Bayan Timur atas tumpangan tidur di sekenem-nya, juga pada semua bajang dan dende Bayan. Terima kasihku untuk kalian semua, semoga kebaikan dan kebijaksanaan tetap bersatu pada raga dan jiwa kalian.
Lebih serius lagi, terima kasihku untuk ibuku yang mengayomiku dengan kekhawatiran yang menyayangi. Bapakku yang menjagaku dengan keperkasaan yang membahagiakan. Paling serius, terima kasih terbesarku untuk semua masyarakat Bayan yang mau berbagi ilmu, cerita dan tawa. Tulisan ini kupersembahkan untuk kalian semua, mari kita bermain bersama, memaknai bersama, semoga bahagia.



Pancor sore hari, 27 Juli 2009

Janual Aidi














PENDAHULUAN

1.1 The Backround of Study
Latar belakang ini saya awali dengan sedikit mengajak kita menaruh telunjuk di kening atau di kepala layaknya adegan pada poster Albert Einstein. Dengan kata lain, mengajak kita bepikir secara refresh ataupun spontanitas. Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar Wetu Telu atau mungkin juga bagi mereka yang pertama kali mendengar istilah asing ini? Lalu apa adjustment kita padanya? Terakhir, dari pikiran terlintas dan adjustment tersebut apakah kita sebenarnya tahu betul tentang basic dari Wetu Telu sehingga membuat kesimpulan datar?
Banyak orang berbicara datar tentang Wetu Telu, tetapi tidak sedikit pula diantara mereka yang awam akan basic Wetu Telu tersebut. Gambaran umum inilah yang sebenarnya melatarbelakangi peneliti untuk ingin lebih jauh mendalami dunia Wetu Telu sehingga nantinya menjadikan peneliti sendiri bukan sebagai bagian dari “mereka” yang awam, terlepas dari hukum syari’ah yang umum di gunakan oleh kaum muslimin dunia atau Indonesia. Demikian latar belakang singkat namun jelas ini kami susun semoga mendapat kritik membangun akan dunia tulis-menulis.

1.2 Permasalahan
Dari paparan latar belakang di atas, bahasa penulis melihat kenyataan pemahaman awam akan Wetu Telu adalah adanya “keributan adjusment” khususnya dalam tubuh masyarakat Sasak sendiri. Jadi, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana sesungguhnya kosmologi Wetu Telu sehingga kemudian mereka menjalankan beberapa ritual dalam bangunan tradisi dan apa saja jenis ritual yang mereka lakoni dalam bangunan tradisi?
PEMBAHASAN

2.1 Kosmologi Wetu Telu
A. Asal-Usul
Masyarakat adat Wetu Telu di Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan kelompok sosial yang sampai hari ini masih teguh memegang tradisi yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Komunitas ini mempraktikkan sebuah “agama adapt” yang terbentuk dari sinkretisasi beberapa pengaruh, yaitu animisme, ajaran Hindu, dan ajaran Islam (Cederroth, 1996). Namun, dalam perkembangannnya pengaruh Islam lebih kuat, sehingga kepercayaan yang dianut komunitas ini kemudian lebih dikenal sebagai Islam Wetutelu.
Mengenai kapan persisnya ajaran Wetu Telu berkembang di Pulau Lombok, belum ditemukan sumber-sumber valid yang dapat menjelaskannya. Memang, ada beberapa pendapat yang berusaha menjelaskan masalah ini, namun upaya tersebut masih berujung pada hipotesis semata. Untuk sampai pada keterangan kapan mulai berkembangnya ajaran Wetu Telu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat konteks historis ketika Pulau Lombok berada dalam pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar.
Dilihat dari sejarahnya, Pulau Lombok senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan luar yang lebih besar. Dalam kitab Negarakertagama, dijelaskan bahwa pada abad ke-15 M Pulau Lombok sudah berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit dari Jawa. Klaim ini cukup beralasan, karena jika dilihat dari kebudayaan yang dipraktekkan masyarakat Sasak Lombok saat ini, akan ditemukan pengaruh Jawa yang sangat kental. Jejak-jejak pengaruh Jawa dapat ditemukan pada sejumlah hal, misalnya penanggalan yang menggunakan sistem kelender Jawa dan upacara-upacara adat yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Prasetia, 2005).
Setelah kekuasaan Majapahit mulai menyusut di Lombok, gelombang pengaruh dari Jawa selanjutnya adalah datangnya agama Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen, utusan Susuhunan Prapen, penguasa Kerajaan Islam di Jawa sekitar abad ke-16 M. Kedatangan Islam tersebut menuai respon yang berbeda-beda dari masyarakat Sasak Lombok. Menurut pendapat Telle (2000), ada tiga model respon masyarakat Sasak terhadap pengaruh Islam tersebut, antara lain: pertama, golongan orang Sasak yang menerima sepenuhnya ajaran Islam –yang kemudian disebut sebagai golongan Islam Waktu Lima; kedua, golongan Boda yang menolak ajaran Islam dan memilih menyingkir ke gunung-gunung untuk menghindari proses Islamisasi; dan ketiga, golongan Islam Wetu Telu yang menerima pengaruh Islam tidak secara total, karena di sisi lain mereka masih meyakini ajaran lamanya.
Namun, pendapat Telle di atas mendapat sanggahan dari John Ryan Bartholomew. Dalam bukunya yang berjudul Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (2001), Bartholomew menganggap bahwa antara golongan Islam Waktu Lima dan Wetu Telu saat kedatangan Islam pertama kali di Pulau Lombok tidak pernah hidup pada masa yang sama. Tipe Islam pertama yang dipratekkan di Lombok adalah Islam Wetu Telu. Waktu itu, kepercayaan terhadap ajaran adat masih kuat dalam kehidupan masyarakat Sasak –sehingga jika Islam diterima secara penuh-- dikhawatirkan akan merusak kepercayaan dan struktur sosial yang sudah ada. Islam Waktu Lima diduga baru berkembang pada abad ke-17 M, ketika kesultanan-kesultanan dari Sulawesi secara massif melakukan Islamisasi di wilayah Lombok. Hal ini tidak murni disebabkan oleh alasan keagamaan, tetapi juga didasari oleh motif politik dan kekuasaan. Sebab, kesultanan-kesultanan Islam dari Sulawesi waktu itu tidak ingin Lombok jatuh ke dalam kekuasaan Kerajan Hindu Klungkung di Bali.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan tiga hal penting, yaitu: pertama, Islam Wetu Telu kemungkinan besar lahir dari sinkretisasi antara ajaran leluhur, ajaran Hindu yang dibawa orang-orang Majapahit, dan pengaruh Islam awal yang dibawa oleh orang-orang Jawa; kedua, sebelum gelombang Islamisasi tahap kedua yang dilakukan oleh kesultanan-kesultanan Islam Sulawesi, Islam mayoritas yang berkembang di Lombok adalah Islam Wetu Telu; dan ketiga, sejak Islamisasi gelombang kedua berlangsung, jumlah penganut Islam Wetu Telu semakin berkurang karena persaingan antara Islam Wetu Telu dengan Islam Waktu Lima di Lombok cenderung dimenangkan oleh Islam Waktu Lima yang dari awal didukung oleh penguasa-penguasa lokal yang memihak Islam Waktu Lima. Dalam hal ini, penulis menukil sebuah pendapat dari tokoh Dahrendorf (1959) bahwa “hubungan kekuasaanlah (control)-bukan kepemilikan yang melandasi konflik.
Kecenderungan di atas terus berlanjut hingga Pemerintah Kolonial Belanda mulai menguasai Lombok pada abad ke-19 M, tepatnya sejak tahun 1894. Dengan didukung pemerintah Belanda, tokoh-tokoh Islam Waktu Lima Sasak secara sistematis melakukan upaya-upaya tertentu untuk memperlemah pengaruh Islam Wetu Telu, bahkan seringkali menggunakan cara-cara pemaksaan. Dukungan Belanda tersebut semata-mata bersifat politis, karena pada waktu itu kelompok Islam Wetu Telu merupakan pendukung setia Kerajaan Klungkung Bali, pesaing utama Pemerintah Belanda yang sama-sama ingin menguasai wilayah Lombok. Setelah Pemerintah Belanda berhasil menaklukkan Kerajaan Klungkung dan benar-benar menguasai Lombok, jumlah kelompok Islam Wetu Telu semakin menurun (Bartholomew, 2001). Kondisi ini terus terjadi pada periode-periode selanjutnya.
Sampai menjelang tragedi September 1965, populasi komunitas Wetu Telu masih cukup banyak, yaitu mencapai 20 persen dari total penduduk di Lombok. Namun, dua tahun setelah tragedi tersebut, populasi komunitas ini merosot tajam hingga hanya sekitar 1 persen saja. Ada dua hipotesis yang dapat diajukan terkait dengan penurunan jumlah yang drastis tersebut. Pertama, para pengikut Wetutelu banyak yang terbunuh karena dijadikan sebagai kambing hitam oleh kelompok Islam mayoritas –yang secara sepihak dihubung-hubungkan dengan PKI dan ormas-ormasnya (Grace, 2004). Kedua, mereka dipaksa melakukan “konversi iman” oleh kelompok mayoritas (Islam Waktu Lima) (Prasetia, 2005a).
Saat ini, mayoritas komunitas Islam Wetu Telu tinggal di Bayan, sebuah daerah yang terletak di kaki Gunung Rinjani, dan berada di pinggir Pulau Lombok sebelah utara (kini masuk pada Kabupaten Lombok Utara). Daerah ini menjadi semacam benteng terakhir bagi komunitas Wetu Telu untuk mempertahankan kepercayaan dan identitas mereka dari penetrasi pengaruh Islam Waktu lima. Di kecamatan ini juga terdapat “Masjid Bayan Beleq”–masjid adat yang menjadi pusat kegiatan keagamaan komunitas Wetu Telu di Bayan.
Mengapa komunitas ini dimusuhi oleh kelompok Islam mayoritas meskipun dalam interaksi sosial sebenarnya mereka tidak berbahaya? Jika ditelusuri lebih jauh, hal ini tidak dapat dipisahkan dari rancang bangun negara Indonesia yang mewajibkan rakyatnya untuk memeluk “lima agama” yang diakui oleh negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha). Karena Wetu Telu merupakan “agama adat” yang secara ajaran berbeda dengan “Islam formal” telebih lagi hanya dipraktekkan oleh kelompok minoritas, maka agama ini dianggap tidak sah. Oleh kelompok mayoritas, istilah Wetu Telu sering diplesetkan menjadi “waktu telu” (waktu tiga) yang berkonotasi pada beberapa persepsi, di antaranya: hanya menjalankan tiga rukun Islam saja (syahadat, shalat, puasa), atau hanya menjalankan shalat tiga kali sehari ataupun sinkretisasi tiga agama, yaitu Islam, Hindu, dan Animisme (Prasetia, 2005).
Di tengah diskriminasi sosial yang sampai saat ini masih dialami, komunitas Wetu Telu tetap berusaha mempertahankan keyakinannya dengan metode resistensi yang produktif, yaitu melalui pewacanaan konsep Wetu Telu menurut versi mereka sendiri. Menurut Foucault (1973), wacana memberikan bentuk terhadap obyek yang dibicarakan, sehingga pembentukan wacana selalu terkait dengan kuasa. Namun, kuasa tidak selalu berkonotasi represif, karena dalam konteks tertentu bersifat produktif, yaitu sebagai sarana untuk membentuk subjektivitas dan identitas. Upaya meluruskan kesalahpahaman kelompok Islam mayoritas terhadap konsep Wetu Telu yang dilakukan oleh penganut Islam Wetu Telu dalam terang pemikiran Foucault merupakan strategi resistensi agar identitas sosialnya tetap terjaga.
Pertama-tama penganut Islam Wetu Telu meluruskan pengucapan yang salah terhadap istilah Wetu Telu, bukan “Waktu Telu”, melainkan “Wetu Telu”. Meskipun secara fonologis kedua istilah tesebut hampir sama, namun secara makna keduanya jauh berbeda. Istilah Wetu Telu menurut penganutnya sendiri merujuk pada tiga pilar utama ajaran mereka. Di kalangan penganut Wetu Telu sendiri terdapat dua versi terkait dengan pemaknaan istilah telu (tiga) tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa Wetu Telu adalah representasi dari Allah, Adam, dan Hawa. Sedangkan pendapat yang kedua menganggap Wetu Telu merujuk pada tiga siklus utama dalam kehidupan manusia, yaitu menganak (kelahiran), menteluk (bertelur), dan mentiuk (bertumbuh). Kata wetu dalam pendapat yang kedua berasal dari kata metu yang artinya keluar –yang berkonotasi pada tiga proses mewujudnya isi dunia ini (Budiwanti 2000; Prasetia, 2005).
Konsep tersebut merupakan inti dari ajaran Wetu Telu, yang selanjutnya turut menentukan bagaimana para penganutnya membentuk sebuah sistem pandangan dunia atau kosmologinya. Jika merujuk pada penjelasan di atas, terutama definisi Wetu Telu menurut pendapat yang kedua, jelas terlihat bahwa dunia dan kehidupan ini terbentuk melalui siklus tiga tahap di mana antara yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Selanjutnya, akan dibahas secara lebih lengkap bagaimanan penganut Wetu Telu mengkonstruksi dunia dan kehidupannya, yang merupakan operasionalisasi lebih lanjut dari tiga pilar utama ajaran yang dianutnya.
B. Konsep Kosmologi Wetu Telu
Dalam komunitas Wetu Telu, tidak semua orang memiliki otoritas untuk menafsirkan ajaran yang mereka yakini. Menurut keyakinan mereka, agama adalah sesuatu yang esoterik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan tentangnya. Terkait hal ini, ada beberapa sumber otoritaritatif yang dijadikan rujukan para penganut Wetu Telu di Bayan, yaitu Pemangku Adat Bayan Agung, Pemangku Karangbajo, Pemangku Karangsalah, dan Penghulu yang dipandang sebagai pemilik dan penjaga pengetahuan yang terpercaya (Budiwanti, 2000). Pihak-pihak itulah yang juga memiliki otoritas untuk membuat wacana mengenai konsepsi sistem pandangan dunia penganut Wetutelu yang benar di tengah maraknya penafsiran yang diskriminatif dari kelompok Islam mayoritas (Waktu lima). Jika para penganut Islam Waktu Lima menafsirkan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap seluruh tata cara peribadatan menjadi tiga, maka para pemangku menolak dengan tegas tuduhan tersebut, karena mereka memiliki model penafsiran yang berbeda.Istilah “telu” sering dikonotasikan dengan waktu oleh penganut Islam mayoritas, sehingga Wetu Telu dianggap sebagai sistem kepercayaan yang mereduksi segala sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak demikian. Menurut para pemangku adat, “wetu” berasal dari kata “metu”, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan “telu” artinya tiga. Secara harfiah, istilah tersebut merujuk pada tiga tahap dalam siklus reproduksi, yaitu “menganak” atau melahirkan seperti manusia dan mamalia, “menteluk” atau bertelur seperti burung, dan “mentiuk” atau tumbuh seperti bijian-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan secara umum. Manusia dan hewan lahir dan bertelur, sedangkan tumbuhan berasal dari biji. Semua mahluk yang tercipta melalui tiga hal tersebut memiliki caranya masing-masing untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Masyarakat adat Wetu Telu menyadari hal ini, sehingga muncul keyakinan bahwa manusia dapat hidup secara nyaman di dunia asalkan mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan mahluk-mahluk hidup lainnya (Budiwanti, 2000; Prasetia, 2005a, 2005b). Sedangkan jika dilihat secara maknawi, istilah Wetu Telu memiliki makna yang lebih rumit. Wetu Telu tidak hanya menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, tetapi juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan mahluk hidup untuk berkembang biak melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Dengan demikian, Wetu Telu juga menjelaskan tentang ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menjelaskan hal ini, pemangku adat membagi wilayah kosmologi menjadi dua kategori, yaitu jagad besar (mayapada) dan jagad kecil. Jagad besar, atau alam raya terdiri dari dunia, matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya. Sedangkan jagad kecil merujuk pada manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya yang sepenuhnya tergantung kepada alam semesta. Ketergantungan ini menyatukan dua dunia tersebut dalam sebuah kondisi homeostatis atau keseimbangan –dan melalui keseimbangan tersebut tatanan alam semesta bekerja. Satu hal penting yang harus diketahui juga adalah bahwa keseimbangan alam semesta tersebut dapat terwujud karena kemahakuasaan Tuhan.
Ketergantungan kehidupan (jagad kecil) kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan mutlak jagad kecil atas sumber daya penting yang dimiliki jagad besar, seperti tanah, udara, mineral, api, dan sinar matahari. Ketergantungan ini berlaku bagi jagad besar yang tergantung dengan jagad kecil dalam bentuk pemeliharaan dan pelestarian. Dalam konteks ini, peran manusia sangat vital. Apabila manusia sebagai komponen penting dari jagad kecil menuruti nafsunya dalam bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap jagad besar, maka keseimbangan kosmos akan terganggu. Rusaknya harmoni kosmos secara langsung dapat dilihat dari seringnya terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya, karena manusia tidak bertanggungjawab atas pemeliharaan alam semesta. Sebuah ilustrasi menarik tentang pentingnya menjaga keseimbangan kosmos disampaikan oleh Pemangku Adat Bayan dalam kalimat seperti ini: “Sebagai manusia kita membutuhkan tanah di mana kita bisa menyemai dan menumbuhkan benih-benih yang kita tanam, air untuk menguncupkan dan mengembangkan benih tersebut, dan sinar matahari untuk mematangkan padi dan buah” (Budiwanti, 2005).
Selain penjelasan tentang ketiga jenis mekanisme reproduksi dan kointerdependensi antara jagad besar dengan jagad kecil, komponen kepercayaan kosmologi Wetu Telu juga menjelaskan tentang konsep Simpanan Wujud Allah, yaitu manifestasi kebesaran dan kekuasaan Allah dalam sosok Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam merepresentasikan garis keturunan ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa merepresentasikan garis keturunan ibu atau perempuan. Dengan demikian, iman kepada Allah –dalam keyakinan penganut Wetu Telu-- juga berarti mengakui penciptaan Adam dan Hawa.
Tripilar ini selanjutnya menjadi inti dalam ajaran Wetu Telu, sebagaimana tertuang dalam Lontar Layang Ambia. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa Tuhan menciptakan Adam dari segenggam tanah liat, dan pada hari keenam Dia meniupkan ruh kepada Adam. Lalu Adam menjadi mahluk hidup atau manusia pertama. Setelah Adam tercipta, Tuhan selanjutnya menciptakan Hawa, yang diambilkan dari bagian tubuh Adam –tetapi dalam lontar tersebut tidak dijelaskan dari bagian tubuh Adam yang mana Hawa diciptakan (Budiwanti, 2005). Satu komponen penting lainnya yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetu Telu adalah kepercayaan terhadap dunia roh. Dalam kepercayaan Wetu Telu, kehidupan ibarat sebuah aliran yang bersifat kontinyu –di mana kehidupan itu sendiri digerakkan oleh kekuatan yang disebut spirit atau jiwa. Selama manusia masih hidup, jiwa menyatu dengan tubuh, meskipun dalam kondisi tertentu jiwa meninggalkan tubuh untuk sementara waktu ketika manusia sedang tertidur. Jiwa akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya. Setelah manusia meninggal, jiwa akan terpisah selamanya dari tubuh, namun ia tetap eksis karena sifatnya yang abadi. Jiwa memang telah meninggalkan dunia menuju alam yang lain, namun ia dapat kembali ke dunia ini dalam waktu-waktu tertentu dan dapat berinteraksi dengan keluarganya yang masih hidup di dunia. Bahkan, jiwa atau roh orang yang sudah meninggal dapat marah dan menghukum orang yang masih hidup ketika eksistensinya diganggu (Cederroth, 1996). Untuk itu, bagi para penganut Wetu Telu, menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur adalah kewajiban, karena ketika hubungan itu terganggu akan berdampak buruk bagi kehidupan orang yang masih hidup. Upaya menjaga hubungan antara orang yang masih hidup dengan arwah leluhur agar tetap harmonis tersebut diimplementasikan dalam ritual-ritual paska kematian yang secara lebih lengkap akan dijelaskan di bagian selanjutnya.
Keyakinan para penganut Wetu Telu terhadap keabadiaan arwah leluhurnya yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia material) dan alam halus (dunia arwah). Alam kasar adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh indra manusia, sedangkan alam halus adalah dunia yang tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Hanya orang-orang tertentu saja, yaitu para pemangku adat yang dapat mengetahui dan merasakan alam halus ini. Dengan kata lain, alam kasar adalah tempat bagi manusia yang masih hidup, sedangkan alam halus adalah tempat bersemayam bagi arwah para leluhur penganut Wetu Telu (Cederroth, 1996; Budiwanti; 2000).
Kematian adalah transisi dari alam kasar menuju alam halus. Jiwa berpindah ke tahap yang lebih tinggi. Jiwa yang mendiami alam halus ini bersifat abadi. Jiwa yang demikian selanjutnya disebut roh halus. Ketika manusia masih hidup, jiwa masih menyatu dengan raga, dan bersatunya antara jiwa dan raga itu disebut sebagai alam pertama. Alam yang kedua adalah kematian, ketika jiwa terpisah dari raga. Untuk mencapai alam yang ketiga, yaitu alam halus, orang yang sudah meninggal harus mengalami ritual-ritual paskakematian (gawe pati) beberapa kali setelah kematiannya. Rangkaian ritual tersebut dilaksanakan oleh anggota keluarga yang masih hidup agar orang yang sudah meninggal jiwanya mendapat tempat di alam halus (Budiwanti, 2000). Para penganut Wetu Telu di Bayan meyakini bahwa leluhur mereka yang sudah tinggal di alam halus mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak jauh beda dengan keistimewaan keyakinan orang Madura ketika keluarganya meninggal dunia (dapat dilihat dalam buku Folklor Madura karangan Emha Ainun Nadjib). Penganut Wetu Telu meyakini bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Karena keyakinan tersebut, orang Bayan tidak boleh melupakan leluhurnya karena hal itu adalah pantangan (pemalik) yang jika dilanggar dapat menimbulkan malapetaka bagi anak turun yang masih hidup. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus dijaga secara terus-menerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti kepercayaan kosmologi penganut Wetu Telu secara garis besar merentang pada empat hal mendasar sebagai berikut: pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis antara jagad besar dengan jagad kecil; ketiga, iman kepada Allah, Adam, dan Hawa; dan keempat, kepercayaan terhadap roh leluhur yang bersifat kekal. Berdasarkan konsepsi ini, menurut Budiwanti (2005) kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik konsep kosmologi Wetutelu.
C. Implikasi Sosial
Sebagai sebuah sistem pandangan dunia yang sampai sekarang masih melekat kuat dan diyakini secara konsisten, konsepsi kosmologi Wetu Telu sebagaimana dijelaskan di atas tentunya berimplikasi pada kehidupan sehari-hari para penganutnya. Implikasi yang paling tampak dapat dilihat pada ritual-ritual atau tradisi tertentu yang dilaksankan oleh para penganut Wetu Telu.
Dalam kehidupan masyarakat Wetutelu, sebenarnya terdapat banyak sekali ritual, namun ritual yang secara langsung berhubungan dengan sistem kosmologi Wetu Telu hanya ada beberapa saja, yang dapat digolongkan sebagai berikut: pertama, ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati; kedua, ritual untuk menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual pembangar.
1. Ritual peralihan individu
a. Ritual Gawe Urip
Dalam ritual “Gawe Urip” terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).
• Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orang tuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya. Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara diakhiri dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.
• Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru di-Islamkan.
• Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetu Telu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.
• Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.
b. Ritual Gawe Pati
Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetu Telu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan diakhiri pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).
Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetu Telu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, dimana untuk menuju kesana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.
Tata cara penyelenggaraan ritual penghormatan kepada arwah leluhur juga terdapat perbedaan antara kelompok Wetu Telu dengan kelompok Waktu Lima. Pada kelompok Waktu Lima, ritual pasca kematian diisi dengan acara tahlilan yang mengundang kerabat dan tetangga dekat pada hari ketujuh, kesembilan, kesepuluh, dan keseribu. Sedangkan pada kelompok Wetu Telu, bacaan doa hanya dipanjatkan oleh “kiai adat” selama berlangsungnya upacara. Sebab, hanya kiai adatlah yang sanggup melakukan komunikasi dengan roh para leluhur (Budiwanti, 2000).
2. Ritual Menjaga Keseimbangan Kosmos
Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetu Telu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil-- antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.
a. Ritual Tanam Padi.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetu Telu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang ada di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim. Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.
Masyarakat Wetu Telu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam, 2) ngaji makam tunas setamba yang dilakukan saat menyuburkan tanah, 3) ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetu Ttelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetu Telu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.
Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetu Telu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya. Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini penganut Wetu Telu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah. Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetu Telu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan meminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah “antenna”, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.
b. Ritual Selametan Kuta
Selametan kuta dilaksanakan sebagai sarana untuk mencegah dan menangkal segala musibah, penyakit, dan kemalangan yang dapat melanda sebuah desa. Upacara ini didasarkan atas keyakinan para penganut Wetu Telu yang menganggap bahwa setiap desa memiliki penghuninya sendiri-sendiri yang berasal dari arwah para leluhur dan makhluk halus lainnya. Jika manusia tidak mampu menjaga kelestarian tanah yang ditempatinya, maka arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut akan murka. Dampak dari kemurkaan tersebut dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan kemalangan-kemalangan lainnya yang menimpa seluruh warga desa. Untuk itu, perlu diselenggarakan selametan kuta yang berfungsi sebagai penangkal segala musibah dan kemalangan tersebut, termasuk yang dapat menyerang tumbuh-tumbuhan dan ternak.
Ritual selametan kuta dilaksanakan setiap tahun sekali dan bertempat di pintu masuk perbatasan sebuah desa. Ritual yang dipimpin oleh seorang pemangku adat ini diawali dengan membaca doa-doa tolak bala dan meminta berkah yang dipanjatkan kepada arwah para leluhur untuk kemudian disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan acara bersih-bersih desa dan ditutup dengan menyantap hidangan ketupat secara bersama-sama. Makanan ini secara simbolis mengekspresikan harapan penganut Wetu Telu agar Tuhan menghindarkan mereka dari segala malapetaka dan menganugrahkan banyak berkah setelah selametan kuta dilaksanakan. Jika dilihat sepintas, upacara ini mirip kerja bakti membersihkan desa dalam masyarakat lain di daerah mana pun, hanya saja diselenggarakan dengan tata cara yang lebih terstruktur. Satu hal yang juga penting disebutkan di bagian ini adalah tentang tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah yang diwarisi dari leluhur “haram” hukumnya untuk dijual. Jika hukum ini dilanggar, maka orang yang menjualnya akan terkena murka leluhurnya sehingga kehidupannya akan menuai banyak petaka.
Tanah bagi penganut Wetu Telu menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Sebab pada tanah-tanah itulah tertanam simbol-simbol keyakinan adat mereka. Pada tanah itu juga ikatan komunitas terbangun. Tanah-tanah inilah yang menopang sistem kelembagaan adat mereka. Dengan demikian, sebagai komunitas mereka tidak hanya memiliki sistem kepercayaan tertentu, namun juga memiliki imajinasi ruang tertentu pula. Keterikatan pada tanah memberikan rasa aman dan ikatan hubungan dengan para leluhur (Prasetia, 2005a). Namun jika ditelusuri lebih lanjut, larangan menjual tanah warisan leluhur juga mencerminkan semangat kearifan ekologis. Tanah dalam konteks Wetu Telu adalah sebagai sarana penopang kehidupan (terlebih lagi tanah tempat bercocok tanam), bukan untuk kepentingan yang lainnya. Sebab, ketika tanah tempat bercocok tanam digunakan untuk kepentingan lain, maka keseimbangan kehidupan akan terganggu. Hal ini sebenarnya logis adanya, karena ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka jumlah makanan yang diproduksi juga akan berkurang.
3. Ritual Penghormatan Roh Leluhur
Dalam penganut atau komunitas atau bisa juga disebut sebagai masyarakat Wetu Telu, berkembang keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini terdapat roh-roh leluhur yang menunggunya. Roh-roh tersebut bertempat tinggal secara berkelompok layaknya manusia. Mereka juga memiliki keluarga, kerabat, dan tetangga. Kepercayaan kepada roh penunggu bertempat tinggal di banyak tempat membuat komunitas Wetu Telu harus melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk meminta ijin kepada roh penunggu jika tempat tersebut akan difungsikan sebagai sawah, tempat pemukiman, membangun irigasi, dan lain-lain. Misalnya, jika masyarakat Wetu Telu akan memanfaatkan aliran sungai untuk keperluan irigasi, maka mereka wajib hukumnya melaksankan sebuah upacara yang disebut selametan subak. Ritual ini berupa pemberian sesaji kepada roh penunggu sungai agar bersedia memberi ijin bagi manusia untuk memanfaatkan air sungai tersebut. Jika ritual ini tidak dilakukan, maka roh penunggu sungai akan murka dan manusia yang memanfaatkan air sungai tersebut akan ditimpa malapetaka, yang biasanya berupa gagal panen jika air sungai digunakan untuk irigasi sawah (Budiwanti, 2000).Ritual lainnya yang masih terkait dengan upaya menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan roh-roh penunggu adalah ritual pembangar. Ritual ini dilaksanakan sebelum seseorang menggunakan sebidang tanah untuk keperluan bercocok tanam, memelihara ternak, atau membangun rumah (Prasetia, 2005a). Ritual ini dilakukan untuk mendapat persetujuan dari roh penunggu tersebut agar bersedia pindah tempat karena pekerjaan berat seperti menebang pohon, menggali tanah, membakar semak, dapat menggaggu ketenangan roh-roh tersebut. Menurut kepercayaan penganut Wetu Telu, jika ritual ini tidak dilaksanakan, roh-roh penunggu tersebut akan marah dan cepat atau lambat akan mengancam kesejahteraan manusia yang menghuni tempat tersebut. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Wetu Telu di Bayan memraktekkan banyak ritual adat yang berfungsi sebagai pengendali tingkah laku manusia, tidak hanya berlaku bagi sesama manusia (hubungan dalam jagad kecil), tetapi juga dengan jagad besar. Tujuan dari diselenggarakannya ritual-ritual tersebut adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara berbagai unsur yang menopang eksistensi alam semesta.

2.2 Maulid Nabi Ala Adat “Wetu Telu”
Setiap tiba bulan Rabi’ul Awal, umat Islam di Tanah Air memperingati maulid atau hari lahirnya Nabi Muhammad Saw. Tak ketinggalan di Pulau Lombok propinsi Nusa Tenggara Barat yang dijuluki dengan Pulau Seribu Masjid. Berbagai kegiatanpun dilaksanakan, mulai dari membaca hikayat pada malam menjelang pelaksanaan maulid, lomba keagamaan, ngurisang (potong rambut) untuk bayi dan khitanan. Dapat dikatakan, bahwa selama bulan Rabi’ul Awal, langgar, musalla, pondok pesantren dan masjid di Lombok ramai dihadiri jama’ah. Dan tak lupa para ibu-ibu menghidangkan makanan untuk dikonsumsi setelah melangsungkan acara Maulid Nabi. Tetapi, suasana maulid nabi yang agak berbeda dilaksanakan oleh warga sekitar Desa Bayan Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (Khususnya Bayan Beleq). Sebuah komunitas penduduk “Wetu Telu”. Upacara inilah yang dikenal dengan sebutan “maulid adat Wetu Telu”. Prosesi maulid adat ini dilaksanakan pada bulan Mei minggu kedua, bertepatan dengan tanggal 15 Rabi’ul Awal 1430 Hijriyah. Acaranya disemarakkan dengan permainan Perisaian (temetian: bahasa Bayan) yang berlangsung dibeberapa tempat masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak Desa Sambik Elen, masjid kuno Desa bayan, Masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan di Desa Anyar. Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) yang terbuat dari kulit kerbau. Sementara “pekembar” berpungsi sebagai wasit sekaligus supporter bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama yang sekaligus membuatnya menarik, karena permainan khas Lombok ini bisasanya dilaksanakan siang atau sore hari. Susana menjadi semakin hidup oleh irama gamelan yang ditabuh sejak persiapan sampai usainya prosesi maulid adat. Beberapa wanita membimbing bocah kecil dan gadis remaja memukul dua buah gong musik tradisional, lalu melemparkan ayam bakar dan sejumlah uang kearah “sekaha” (penabuh). Tradisi maulid adat Wetu Telu di Bayan ini berjalan selama dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya (kayu aik), sementara hari kedua adlah do’a dan makan bersama yang dipusatkan di Masjid Kuno Bayan. Para peserta prosesi itu terdiri dari warga Desa Loloan, Desa Anyar, dan Desa Bayan. Mereka berkumpul di rumah besar (bale beleq atau lebih dikenal dengan sebutan kampu) kyai atau Lebe dengan membawa kayu bakar, beras, ketan, kelapa, ayam, kambing, dan bahan makanan lainnya. Kemudian bahan makanan yang terkumpul dimasak sebagai hidangan pada hari “H” perhelatan yang disebut dengan “mangan mulud”. Ternak sembelihan harus habis dimakan. Sedangkan jikalau berasnnya masih ada maka sisanya akan dimasukkan pada kas untuk biaya pemugaran “kampu” (bale beleq) dan rumah adat lainnya. Padi “bulu” yang dikumpulkan komunitas adat Wetu Telu ditumbuk di sebuah “rantok” (lesung seukuran sampan), dan acara ini dikenal dengan sebutan “menutu pare” yang dilakukan oleh para gadis dan kalangan wanita adat yang menggunakan pakaian “kemben” (secarik kain panjang yang digunakan menutup tubuh sampai di atas dada tanpa menggunakan BH sekalipun). Pada malam harinya, para pemuka agama dan adat yang terdiri dari kiyai, lebe, ketib dan modim berkumpul di Masjid Kuno yang terletak di sebuah bukit. Masjid Kuno Bayan yang dikelilingi beberapa kuncup makam itu berdiri sekitar abad 16 dengan materi bangunan umumnya terbuat dari bambu, berukuran 8X8 meter persegi. Pintu masuknya setinggi 1,10 meter dan atapnya menjurai ke bawah sekitar satu meter dari dasar bangunan. Itulah sebabnya, setiap orang memasuki ruangan masjid yang lantainya dari tanah ini, mau tak mau harus berjongkok.
Malam maulid adat, suasana rungan masjid yang tidak memiliki teras itu terkesan magis, apalagi alat penerang yang digunakan hanyalah lampu “jojor”, semacam obor kecil dengan sumbu yang terbuat dari kapas yang dilumuri minyak jarak dan dililitkan pada rautan bambu. Dalam suasana remang-remang para “petinggi agama” berdiskusi, dan tak lama kemudian mereka menggelar kain putih (langit-lanngit) yang dipasang setinggi satu meter. Setelah itu, panggul (umbul-umbul) yang dibalut benang putih, hitam, biru dan merah ditancap pada empat sudut di dalam banngunan masjid dan dilanjutkan dengan acara perisaian. Kesesokan harinya, acara puncak maulid adat diawali dengan pawai para pemmuka agama dan petugas lainnya dari rumah penghulu menuju ke Masjid Kuno sambil membawa hidangan (nasi dan lauk pauk) yang diletakkan pada “ancak saji” (terbuat dari bambu). Setibanya di masjid lalu salah seorang pemuka agama memimpin do’a. Seusai do’a acara dilanjutkan dengan makan bersama yang dikuti para jama’ah yang datang kemudian untuk menyantap hidangan yang telah disediakan. Tradisi maulid adat Wetu Telu di Bayan, menurut Itrawati Al-Bayani, salah seorang budayawan Bayan, mungkin tidak jauh berbeda dengan acara “sekaten” di Yogyakarta . Bahkan ada kemiripan dengan acara yang sama semasa kerajaan Demak, terlebih lagi jika dilihat dari hiburan yang melengkapi acara itu. ”Perbedaannya di Bayan lebih pada acaranya yang disesuaikan dengan tradisi setempat”, ungkap Itrawadi Al-Bayani. Bila ditelusuri lebih dalam, pelaksanaan maulid adat di Bayan, tercermin nilai-nilai moral yang melekat erat dalam kehidupan penduduk. Contohnya adalah dalam hal kebersamaan atau gotong royong yang mereka wujudkan dalam bentuk pengumpulan bahan makanan. Jumlah dan jenis sumbangan tidak ditentukan yang penting ihlas. Dan setidaknya dalam acara seperti itu terkumpul puluhan kambing, itupun belum termasuk ayam, beras, bumbu dan lainnya. Dalam menjalankan tradisi adat masyarakat Bayan mengenyampingkan perhitungan matematis dan ekonomis. Beban biaya terasa ringan oleh rasa kebersamaan dan hasrat tolong menolong mereka. Lebih dari itu, tradisi demikian amat membantu dalam kehidupan komunitas mereka, apalagi penganut adat Wetu Telu memiliki sekitar 20 acara rutin yang dilaksanakan tiap tahun, dan itu memerlukan dana yang cukup besar. Ketaatan masyarakat Bayan terhadap adat dan agama itu terlihat pula saat mengunjungi tempat tinggal para pimpinannya. Misalnya untuk memasuki “kampu” yang dihuni tokoh agama, maka siapapun dia harus mengenakan pakaian adat seperti sarung (khususnya sarung panjang yang dililit seperti pakaian khas Lombok yaitu “dodot”, sapok (ikat kepala) dan tanpa baju bagi para pria, serta semacam kemban (Jawa) untuk wanita. Selain itu komunitas adat Wetu Telu juga dilarang memakai celana dalam dan perhiasan. Aturan yang sama berlaku juga bila orang memasuki Masjid Kuno. Menapaki pintu Masjid Kuno para pemeluk menunjukkan penghormatannya pada sang Khaliq dengan berjalan menunduk. Memang pintu masjid itu nyaris tidak tampak karena atapnya yang menjurai ke bawah sekitar satu meter dari permukaan tanah. Ini membuat orang yang masuk mau tak mau harus menundukkan kepala. Sikap menunduk ditambah larangan-larangan tadi, adalah simbol penghormatan dan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khaliq, dan shalat itu juga sebenarnya cara menghambakan diri pada Sang Pencipta. Atas kehendaknya manusia itu ada, dan kepada-Nya pula manusia akan kembali. Konstruksi atap Masjid Kuno pun mencerminkan tingginya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat Bayan. Atap bangunan dengan kemiringan yang sangat tajam tampaknya mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah.
Ada tiga hal menarik yang ingin penulis sampaikan pada kesempatan ini. Yang pertama yaitu penganut Wetu Telu tidak bisa terlepas dari tuak ataupun berem (sejenis minuman keras tradisional). Dan dari cerita seorang masyarakat Bayan (peneliti lupa namanya) menceritakan bahwa Gubernur Nusa Tenggara Barat yaitu TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA pernah mengadakan pengajian umum di masjid Ancak (kalau tidak khilaf Ancak merupakan tetangga desa Bayan namun memiliki hubungan erat dengan Bayan dalam hal historis ataupun tradisi dan kepercayaannya) dan menyinggung keberadaan minuman keras tradisional yang telah membudaya tersebut agar di tiadakan. Namun setelah itu “petua-petua” Bayan berkumpul untuk merembukkan tawaran Gubernur tersebut hingga melahirkan kesimpulan untuk tidak mengindahkan ajakan Gubernur NTB. Rembuk bersama Gubernur NTB pun terjadi hingga malam hari dan memberi garis merah bahwa masyarakat Bayan (khususnya penganut Wetu Telu tidak bisa mengindahkan ajakan Bapak Gubernur dengan alasan bahwa minuman keras tradisional semisal tuak ataupun berem sangat sulit dipisahkan dengan masyarakat Bayan karena sudah mengakar budaya. Yang memperkuat alasan mereka untuk menentang keras ajakan Gubernur NTB adalah bahwa masyarakat Bayan dalam kesehariannya mengkonsumsi minuman keras tradisional (tuak dan berem) tidak pernah menimbulkan keributan, perkelahian ataupun konflik seperti halnya masyarakat lain yang mengkonsumsi minuman keras. Himbauan tentang minuman keras terhadap masyarakat Bayan juga ternyata pernah di sampaikan beberapa kalli oleh Kapolda NTB, namun hasilnya tetap nihil. Penginderaan peneliti sendiri tentang keberadaan masyarakat Bayan hubungannya dengan minuman keras tradisional (tuak dan berem) memang sudah sangat “menyatu”. Terlihat ketika peneliti baru saja menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di salah satu rumah penduduk (di sekenem Dende Ayu, Dusun Bayan Beleq Timur) yang langsung saja di suguhi oleh minuman keras tradisional. Apa yang peneliti dapatkan dari pengalaman pertama menginjakkan kaki di sekenem Dende Ayu atau Raden Sumbawa tersebut masih tidak seberapa dengan pengalaman peneliti ketika menghadiri dan menyaksikan langsung “Gawe Beleq” (sebuah tradisi yang dilakukan sekali dalam dua belas tahun, Gawe Beleq = pesta besar). Luar biasa!
Dalam Gawe Beleq tersebut tidak kurang dari lima puluh kerbau dan sapi yang di sembelih, belum juga dengan jumlah kambing, ayam dan lainnya. Tak kalah juga dengan jumlah minuman keras tradisional berem yang jumlahnya sampai berton-ton. Bahkan slenge’an dari masyarakat dan teman-teman yang ikut menyaksikan bergembira ria dengan berucap “mandi berem”. Sangat terlihat jelas pula adanya klasifikasi dari jenis minuman keras tradisional tersebut.
Hal kedua yang tak kalah menarik untuk di tampilkan dalam laporan penelitian ini adalah mengenai awig-awig (peraturan adat) yang tak membolehkan masyarakat atau pendatang untuk kada’ hajat (membuang kotoran) di aliran sungai khusus yang di gunakan untuk aktifitas keseharian seperti mandi, mencuci piring atau yang lainnya. Konsekuensi terhadap siapa saja yang melanggar awig-awig itu adalah terkena dengan “denda adat” seperti harus mengeluarkan “kepeng tepong” (uang yang berlubang), padi, satu ekor sapi dan lain-lain. Adapun “denda adat” tersebut diputuskan oleh mangku adat. Awig-awig semacam ini berlaku dari sejak dahulu dan konon pernah juga ada yang terkena, entah itu masyarakat bayan sendiri ataupun orang luar (pendatang). Maka, sejak awal masyarakat setempat atau pihak adat (mangku) akan memberitahukan awig-awig Bayan pada setiap tamu yang datang agar tidak melanggar dan terkena oleh hukum adat atau sanksi adat (denda adat). Awig-awig seperti ini di adakan dengan alasan bahwa jika nantinya musim kemarau datang dan air minum limit maka masyarakat atau siapa saja dengan enak dan mudah tanpa ragu-ragu untuk mengambil dan meminum air yang berasal dari aliran sungai yang sudah di larang untuk kada’ hajat (buang air besar). Inilah bagian dari potret kearifan lokal Bayan yang tak didapatkan di tanah Jakarta. Luar biasa! Applaus untukmu Bayan yang damai!
Dan hal menarik ketiga adalah penganut Bayan Wetu Telu tidak men-shalatkan jenazah keluarga ataupun masyarakatnya di masjid, melainkan di sekenem (rumah-rumahan tradisional Lombok, sejenis berugak yang memiliki tiang penyangga sebanyak “enem” = enam, bukan sekepat = “empat” sejenis berugak yang memiliki tiang penyangga sebanyak empat). Sekenem juga bisa di manfaatkan pada hal atau aktifitas lain seperti di manfaatkan sebagai tempat tokol-tokol (duduk-duduk) sambil bejorak (bersandau-gurau) atau tindok-tindok (berbaring) ataupun yang lainnya. Dalam pelaksanaan shalat jenazahpun hanya di lakukan oleh para kiai adat, dengan kata lain shalat jenazahnya di lakukan oleh pihak-pihak tertentu, bukan sembarang orang ataupun masyarakat lainnya juga pihak keluarga sekalipun. Tidak seperti di tempat lain atau kebiasaan umat Islam lainnya. Inilah hal-hal lain dari Bayan yang masih belum habis saya ketahui epistimeloginya. Membuat saya harus kembali ke tanah Bayan guna mengetahui dan belajar lagi tanpa harus langsung men-adjusment negatifnya karena terlihat sangat jauh berbeda dengan masyarakat lainnya (khususnya masyarakat Islam pada umumnya)
Nah, demikianlah sedikit ulasan Maulid Nabi ala adat Wetu Telu di Bayan dan sedikit tambahan cerita menarik yang mampu membuat bulu kuduk kita berdiri oleh kekhasan Bayan, yang bagi peneliti pribadi merupakan eksotisme kelebihan Bayan dibanding daerah lain di Lombok Pulau Seribu Masjid (terlepas dari hukum halal-haram), sebuah suguhan istimewa kearifan lokal (local wisdom) yang menurut penulis tak mudah untuk dikalahkan walau dengan menikmati wisata bahari bawah laut di Senggigi ataupun di Gili Trawangan sekalipun. Bayak hal yang dapat di ambil darinya. Mungkin juga menjadi inspirasi dan media keilmuan yang tiada habisnya. Sedangkan bagi wisatawan, Bayan merupakan area budaya (cultur area) dengan latar filosofis yang tinggi.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari penelitian ini saya menyimpulkan bahwa bagaimanapun derasnya arus moderenisasi, namun penganut Wetu Telu dalam keyakinan dan ritual-ritual tradisinya mampu bertahan sampai detik ini. Mereka tetap eksis pada dunia kosmologi mereka sendiri dan tak bisa lepas dari simbol-simbol mereka seperti sapok (ikat kepala), dodot (kain), kemben, tuak dan berem ataupun awig-awig serta ritual-ritual dalam tradisi mereka.
Hal lain yang membuatnya lebih menarik lagi adalah ketika mereka mampu membendung koersi dari penguasa setempat seperti Gubernur NTB ataupun Kapolda NTB tentang tradisi minuman keras tradisional yang mereka konsumsi dengan dalih yang cukup kuat dan masuk akal sehingga cukup mampu untuk membuat pihak penguasa berpangku tangan serta berpikir keras guna menghilangkan tradisi minum tuak dan berem yang di haramkan oleh agama Islam serta tradisi mereka men-shalatkan jenazah di sekenem (tidak di masjid seperti yang dilakukan oleh masyarakat Islam lain pada umumnya). Sebab, merekapun mengakui keberadaan mereka sebagai penganut agama Islam pula. Daawig-awig pun tetap mereka jalankan sampai saat ini.
Hasil penelitian ini akan jauh lebih bagus lagi manakala di lakukan lagi penelitian yang jauh lebih mendalam mengenai pemahaman “halal-haram” minuman keras tradisional tuak dan berem sebagai sebuah tradisi keterkaitannya dengan pengakuan mereka (penganut Wetu telu) tentang identitas ke-Islaman yang mereka yakini atau tradisi mereka men-shalatkan jenazah di sekenem (tidak di masjid).
Terakhir, peneliti sengaja tidak menaruh space kritik dan saran karena bagi peneliti pribadi hal-hal tersebut merupakan simbolisasi kesombongan seorang peneliti. Maka maafkan saya jikalau tidak mampu memberi kritik dan saran. Justru, saya sebagai peneliti awamlah yang seharusnya diberi kritik dan saran yang konstruktif atas kekurangan atupun kecerobohan dalam menyusun kata demi kata demi laporan penelitian ini.
Daftar Gambar
Berikut adalah beberapa gambar yang dapat saya suguhkan kepada khalayak semoga menjadi prasasti bagi masyarakat Bayan, saya pribadi juga masyarakat Pulau Lombok yang dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid.






Kebersamaan yang Masih Kental pada Masyarakat Bayan






Prosesi Penyembelihan Hewan Kerbau oleh Pemangku Khusus









Keakraban yang Belum Tentu Bisa Disaksikan di Tanah Jakarta













Yang Tak Terlewatkan

























Suasana Ketika Ada Acara Kematian
























Sebagian dari Suasana “Gawe Beleq”
Daftar Pustaka
Bartholomew, J.R., 2001. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Budiwanti, E., 2000. Islam Sasak: Wetu Telu ersus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.
Syakur, Ahmad Abd. 2006. Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak. Yogyakarta: Adab Press.
Sedayawati, Edi. Budaya Indonesia:Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pres.
Prasetia, H., 2005. Masyarakat Adat Wet Semokan: Di Tengah Ketegangan Antara Ujaran dan Ajaran, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-Hak Minoritas. Jakarta: Yayasan Interseksi Bekerjasama dengan Tifa Foundation.
Prasetia, H., 2005. Komunitas Wetutelu Lombok Bertahan di Tengah Badai. dalam Majalah Syir‘ah edisi Mei 2005.
2009. Kosmologi Wetutelu, Lomobok (Nusa tenggara barat). http: culture.melayuonline.com/?a...l=kosmologi...lombok -