Minggu, 06 Desember 2009

Konsep dan Teori Modernitas; Melirik Persoalan Pembangunan

......aku bertanya, "mengapa orang cerdas tidak pernah dianggap moderen?"
sungguh, kita terjebak nalar awam

Teori modernisasi menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia.
Perspektif teori Modernisasi Klasik menyoroti bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara modern. McClelland menyarankan agar Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modernnya. Artikel diatas, menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya. Secara kasat mata dapat dikatakan telah terjadi proses homogenisasi budaya dunia. (fastfood) dengan hanya mencontoh (akulturasi) atau melakukan “cultural borrowing” (westernisasi). Hal ini sejalan dengan aliran pemikiran yang berakar pada perspektif fungsionalisme maka aliran modernisasi memiliki ciri-ciri dasar antara lain: ”Sumber perubahan adalah dari dalam atau dari budaya masyarakat itu sendiri (internal resources) bukan ditentukan unsur luar”.
Modernisasi tidak hanya menyentuh wilayah teknis, tetapi juga menyentuh nilai-nilai, adanya karakteristik ditemukan sebagian dari ciri-ciri manusia modern sebagaimana menurut Alex Inkeles (1969-1983) dalam teorinya “Manusia Modern”, yaitu :
o Sikap membuka diri pada hal-hal yang baru.
o Tidak terikat (bebas) terhadap ikatan institusi maupun penguasa tradisional.
o Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan
o Menghargai ketepatan waktu
o Melakukan segala sesuatu secara terencana
Bila dalam teori Modernisasi Klasik, “tradisi atau tradisional” dianggap sebagai penghalang “pembangunan”, maka dalam teori Modernisasi Baru, tradisi atau tradisional dipandang sebagai faktor “positif pembangunan”. Sebagaimana digambarkan di atas, masyarakat tradisional (misalnya Indonesia) pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi” serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan inetrnal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Michael R. Dove dalam kajiannya tentang Indonesia, bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan, mampu melakukan penyesuaian dengan baik terhadap kondisi lokal. Teori ini merumuskan implikasi kebijakan pembangunan yang diperlukan untuk membangun Dunia Ketiga sebagai keterkaitan antara negara berkembang dengan negara maju akan saling memberikan manfaat timbal balik, khususnya bagi negara berkembang. Konsep dan teori modernitas atau modernisasi, klasik maupun baru, hanya melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya (Negara-Negara Dunia Pertama).
Kalau dalam kajian modernitas atau modernisasi ditemukan istilah “juggernaut” dari tokoh Anthony Giddens, maka untuk menggambarkan situasi dan kondisi komunikasi pembangunan yang melanda Negara-Negara Dunia Ketiga (negara-negara berkembang, salah satunya negara kita Indonesia) saat ini adalah mau tidak mau Negara-Negara Dunia Ketiga harus mengendarai “juggernaut modenitas” tersebut. Hal ini terlihat dari geliat pembangunan yang dilakukan dan digencarkan oleh Negara-Negara Dunia Ketiga. Jelasnya, kita bisa menyaksikan proses pembangunan yang telah dilakukan disana-sini, bak jamur dimusim hujan. Ya, inilah realitas dari konsep modernitas yang dipahami oleh Negara-Negara Dunia Ketiga. Penulis hanya ingin mengatakan dan bertanya, “mengapa orang cerdas tidak pernah dianggap moderen?”. Sepertinya kita harus meredifinisi modernitas. Mereduksi pemahaman masyarakat kita tentang moderen. Bagamana, apakah anda para pembaca setuju?

Tidak ada komentar: