Kamis, 10 Desember 2009

MENGGUGAT PENDIDIKAN GAYA “BANK”

…..”masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan
karena salah ajar (dysteachic communit) ”…..
(Thomas Armstrong, 2002)
Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang. Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru. Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas seperti telah sebagian dikemukakan di muka– maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya "Kesadaran Manusia" terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui "Proses Pendidikan Sosial", yang menempatkan pelajar sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat. Freire juga mencetuskan idenya tentang proses penyadaran melalui pendidikan sosial serta memberikan gambaran tentang proses perubahan diri sesorang dari satu kesadaran menuju ke kesadaran lain. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas pemikiran Paulo Freire tentang Kesadaran serta merevansikannya terhadap proses Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu cara untuk merubah masyarakat menjadi berdaya. Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness) dan Kesadaran Kritis (critical consciousness).
1. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
2. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paolu Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/ teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan pertimbangan bahwa konsep kesadaran (melalui pendidikan kritis) yang dicetuskan oleh Paulo Freire memiliki relevansi yang sangat signifikan dengan proses pengembangan masyarakat, maka menarik untuk mengkaji pemikiran (ide) Paulo Freire tentang kesadaran (kritis) dan merelevansikannya terhadap proses pengembangan masyarakat.

Tidak ada komentar: