Sabtu, 18 April 2009

RELASI UMUR DUNIA TERHADAP PSIKOLOGI SOSIAL

RELASI UMUR DUNIA TERHADAP PSIKOLOGI SOSIAL

Oleh: Janual Aidi

Pancor Lombok Timur, Sabtu, 18 April 2009

“Apa yang terjadi jika masa kini adalah dunia tadi malam?”

(John Donne, Devotion upon Emergent Occasion)

“Atas nama kewajiban, hasrat dan semangat, aku terbangun dari frustasi dan kelemahan, aku berjalan dan berangkat hingga

aku yakin akan sampai pada kebenaran dan kebebasan”

(Janual Aidi)

1. Latar Belakang

Sebenarnya ini berawal dari ‘adjusment exploration’ terhadap diri sendiri. Diri ini terus mempelajari ‘drive’ apa yang melatar belakangi hingga diri ini berbuat sesuatu. Ternyata selama ini, diri ini terlalu terbawa oleh derasnya ego, terlalu bangga oleh otonom diri sendiri sehingga seenak mungkin berbuat apa saja hingga tak sadar diri senang untuk men’adjusment’ orang lain, bangga akan sanjungan dan rentetan lain yang tak seharusnya ada pada diri seorang khalifah dibumi Alloh. Namun, kesalahan bukanlah untuk selalu disalahkan ataupun diulang tetapi diletakkan pada nalar pembentuk dalam proses pencarian jati diri sebagai anak Adam yang bergelar ‘sempurna’. Belajar dari kesalahan adalah cara yang palingtepat unutk menciptakan sesuatu yang lebih bagus. Karena, orang yang selama hidupnya selalu berada dalam kebenaran bisa saja melangkah pada jalan yang salah (terlebih pada zaman sekarang ini yang komplit dengan permasalahan dan cobaan), dan tidak menutup kemungkinan pula orang yang selama hidupnya selalu berada dalam lingkaran kegelapan merasa bosan dan beranjak menuju jalan cahaya. Terus terbius oleh kebaikan, hingga menjadi ‘trutg seekers’ (pencari kebenaran).

Berbicara psikologi tidak akan pernah bisa lepas dari individu yang kemudian menjadi bagian dari sosial. Keadaan sosial adalah jiplakan dari keadaan individu. Psikologi sosial akan melahirkan fenomena sosial. Sekedar ingin menyamakan persepsi, statement ‘psikologi sosial’ lebih saya tekankan pada pemaknaan ‘interaksi sosial’. Sehingga fenomena sosial atau psikologi sosial berpijak dari fenomena psikologi kepribadian. Munculnya budaya dan peradaban yang baik dan buruk adalah berasal dari individu. Jelasnya, individu adalah penentu. Kehidupan sosial akan menjadi baik jika individu yang ada dalam sosial tersebut ‘berkelamin baik’, sebaliknya kehidupan sosial akan manjadi tidak baik tatkala individu yang ada didalam sosial itu berkelamin ‘tidak baik’. Oleh karena itu, jika kita ingin meredukasi sosial haruslah terlebih dahulu meredukasi individu.

Baiklah, pada substansial latar belakang ini penulis merasa terdorong atas realita sosial yang ada. Realita dahulu, sekarang dan postulat masa yang akan datang. Pada substansial ini penulis ingin mendeskrepsikan serta mencoba menganalisis dengan pemahaman yang ada pada diri penulis mengenai 3 (tiga) fase psikologi sosial. Mencoba dan belajar beraksioma dengan membandingkan psikologi sosial dahulu, sekarang dan yang akan datang.

Deskripsi psikologi sosial dahulu.

Kekeluargaan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kegotong-royongan, kebersamaan sampai pada ‘selfless service’ atau tanpa pamrih alias ikhlas (tulus) adalah suatu fenomena dan realitas sosial yang dirasakan oleh masyarakat dunia dahulu yang tidak terlepas dari bentuk psikologi sosial masyarakat dahulu. Satu bentuk kehidupan sosial yang diisi oleh dunia cinta dan kesetiaan. Fenomena semacam ini ddidapatkan bukan hanya disebabkan oleh sucinya jiwa masyarakat dahulu saja, melankan tidak bisa dilepaskan dengan belum transparasinya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mengarah pada globalisasi serta berpengaruh terhadap psikologi sosial. Sesuai dengan formulasi Albert Bandura bahwa lingkungan (environment) sangat berpengaruh terhadap individu. Kemunculan IPTEK sangat mempengaruhi psikologi seseorang dan berdampak pada kehidupan atau pola interaksi sosial yang ada didalamnya. Dapat dilihat dari bentuk masyarakat daahulu yang belum terlalu transparansi terhadap IPTEK. Mereka lebih mendapatkan aroma ketenangan daripada aroma kegelisahan. Masyarakat terdahulu bersifat bersahaja dan masyarakat sekarang lebih bersifat over. Tidak heran ketika sesuatu yang ‘lebih’ mendatangkan kekacauan. Contoh sederhana: kebersahajaan masyarakat terdahulu tentang pagar halaman. Masyarakat dahulu cukup membatasi perkarangannya dengan pagar biasa dengan menanam pepohonan, sehingga antar rumah yang satu dengan rumah yang lainnya tidak memiliki sekat sosial yang mencolok, terlihat kebersamaan yang terbungkus kekeluargaan, nampaknya kebersahajaan yangberselimut ketenangan serta terjaminnya keamanan dan kedamaian lewat lingkungan yang permai. Jika di analogikakan, pagar yang terbuat dari pepohonan bisa memberikan kotribusi besar terhadap dunia dan isinya, mengaakibatkan kesegaran udara dan minimnya sifat edoistik (sombong, individualistik) pada hal-hal yang bersifat materi, karena hal yang sederhana seperti itu akan berpengaruh terhadap interaksi sosial.

Lain halnya dengan sikologi sosial sekarang, sulit sekali untuk mendapatkan rasa kekeluargaan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kegtong-royongan, kebersamaan apalagi yang berhati malaikat (ikhlas tanpa pamrih). Sebab, konsep psikologi sosial masyarakat dahulu tergantikan oleh konsep psikologi sosial ala moderen yang beridiologi pada ‘nafsi-nafsi dan materi’. Sabda keikhlasan tergantikan oleh sabda-sabda uang. Seperti yang disebutkan oleh Nurel Javissyarqi dalam bukunya yang berjudul Kajian Budaya Semi, bahwa: “hilangnya tenggang rasa, sebab terburu nafsu anak-anak bangsa dalam mencapai kementerengan, yang suatu nantinya bernama prestasi, kekayaan, penguasaan. Dan kalimat-kalimat yang meluncur berupa sabda-sabda uang”. Psikologi sosial sekarang melahirkan kelas-kelas sosial, kecemburuan sosial, dan masalah sosial. Sehingga jangan heran ketika saat ini jumlah orang stres melebihi jumlah burung yang beterbangan diangkasa. Rumah sakit jiwa terus bertambah dan banyak lagi penyakit jiwa yang dilanda oleh umat sekarang. Penulis pikir, ini tidak bisa dilepaskan oleh minimnya suasana jiwa yang tenang, lingkukngan yang tak bisa memberikan motivasi secara jernih sebab yang ada hanyalah imitasi dan simulakrum belaka. Prodek-prodek yang dijual dari ‘harga murah’ sampai yang ‘berlabel mahal’ menuntut untuk dikonsumsi. Sehingga, nilai kebutuhan yang sebenarnya tergantikan oleh nilai image. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial mengatakan: “BEralihnya kegiatan ekonomi (belanja) menjadi wahana pembentukan gaya hidup yang merupakan inti dari kebudayaan pascamoderen”. Atau, Jean Baudrilliard mengatakan didalam Consumer Society (1990) bahwa masyarakat posmoderen adalah masyarakat yang dikelilingi oleh dunia benda yang melimpah ruah sebagai benda-benda yang tak lagi dihargai nilai gunanya, melainkan nilai tanda (sign) yang ditawarkannya dalam bentuk gaya hidup (kelas, status, gengsi, prestise). Semua gambaran diatas adalah mampu mempengaruhi psikologi sosial. Apa yang disebut diatas adalah sebagian kecil faktor yang mampu mempengaruhi lahirnya ketegangan sosial, banyak hal lain yang mampu menggeser psikologi sosial dahulu (melukiskan ketenangan) dan melahirkan psikologi sosial sekarang (rentan dengan ketidaknyamanan). Cara hidup yang dimunculkan modernitas telah membersihkan kita dari semua jenis tatanan sosial tradisional, dengan cara yang tidak pernah ada sebelumnya.

Yang ketiga adalah mengenai postulat psikologi sosial yang akan datang. Pada bagian ketiga ini penulis kehilangan arah atu mengalami kebuntuan untuk menggambarkan psikologi sosial yang akan datang, karena pelukisan untuk psikologi sosial sekarang syarat dengan goncangan jiwa. Tetapi penulis mencoba membayangkan bagaimana bentuk psikologi sosial yang akan datang. Kalau diperhatikan, saat ini masih ada ditemukan orang yang memiliki kepekaan sosial walau hanya segelintir saja. Satu bentuk keadaan psikologi sosial yang masih bisa disaksikan dan diperjuangkan. Sebab, masih ada desa ataupun desa-desa yang terpencil. Nah, prediksi penulis untuk fase psikoolgi sosial yang akan datang adalah “tidak ditemukannya lagi ruang sosial dialam raya ini yang luas ini”. Hilangnya desa dan semua orang sibuk dengan urusan pribadi ataupun golongan. Desa-desa akan tergantikan oleh kota dan mencuatlah gedung-gedung pencakar langit. Lahan pertanian alias sawah tidak bisa ditemukan lagi, manusia ditemani oleh mausia mesin (robot), dan manusiapun tidak mengkonsumsi nasi (entah apa namanya nanti). Dengan gambaran tadi, maka kita tidak ragu lagi bahwa ‘kiamat’ benar akan terjadi, kiamat pasti terjadi dan terus mendekati kita. Konsep agama yang mengatakan dunia hanya tempat singgah sementara dan akhirat adalah tempat yang kekal adalah benar. Itulah aksioma penulis tentang psikologi sosial yang akan datang. Kita tidak akan pernah bisa menemukan ‘rongga kebaikan’ karena yang ada hanyalah ‘dajjal-dajjal serakah’. Pada akhirnya sosial akan mati, tenggelam oleh dalamnya jiwa individualistik.

Sebagai penutup sekaligus pendorong dari latar belakang ini adalah penulis hanya ingin meluapkan bahasa jiwa yang ada pada diri penulis. Penulis seakan ingin berteriak menyuarakan nasib jiwa anak manusia yang tergambarkan semakin mengharukan jika beda pada alam kesadaran. Terinspirasi dari kejadian setiap detik dan terpanggil untuk mengajak sesama berjuang demi dan tas nama kesucian jiwa. Atas pemikiran inilah penulis berbicara lewat tulisan ini. Sebab, semakin hari penulis merasa gundah untuk hidup didunia, rasanya lebih baik dijemput oleh ketenangan jiwa yang kekal, bertemu dengan Asal Kesejatian. Namun saat ini (saat penulis didepan komputer), teringat oleh syair bijak yang mengatakan: “Kehilangtan semangat lebih sakit dari pada kehilangan nyawa. Jika kamu kehilangan semangat, maka pergilah ke gua lalu telanjang dan bunuh diri. Itu lebih baik jika kamu rak memberi manfaat terhadap orang lain”. Dan teringat pula oleh apa yang dikatakan Kahlil Gibran: “jangan pernah menaruh belas kasihan terhadapku, senan rasa kasihan hanya untuk orang lemah. Diri ini masih kuat didalam penderitaan ini”. Berangkat dari sanalah, penulis terus berusaha memotivasi diri dalam berjuang melawan dan arus gelombang cobaan dunia yang tiada kenal waktu mencabut semangat. Atas nama kewajiban, hasrat dan semangat, aku terbangun dari frustasi dan kelemahan, aku berjalan hingga aku yakin akan sampai pada kebenaran dan kebebasan…

2. Permasalahan

Sebagai pembuka pada bagian dua ini, penulis mengutip epilog dari buku Sayap-Syap Sembrani (edisi revisi), yakni; Machievelli dibuku II pada The Discourses kurang lebih: Manusia selalu mengagungkan masa lalu, mencari kesalahan masa kini tanpa alasan dan mendadak saat penuan; menyanjung segala yang pernah mereka alamai ketika mudanya.

Analisis penulis dari psikologi sosial bahwa tidak sedikit orang yang lebih merasa senang dan tenang ketika hidup pada zaman sebelumnya dibandingkan pada zaman sekarang ini. Merupakan tanda bahwa ternyata pada zaman sekarang lebih dibuntuti oleh kegelisahasan. Jelasnya, manusia sekarang sulit memperoleh ‘the calm’.

Selama ini kita mengagumi kehidupan masyarakat Barat dengan kekaguman buta. Kita hanya melihat bangsa Barat dari sisi materi, kebebasan hawa nafsu, keterbukaan sikap dan aneka gaya hidup yang menggiurkan. Padahal jika mau menyelami kehidupan mereka lebih dalam, orang-orang barat itu sungguh menderita. Banyak diantara mereka yang tidak merasakan ketentraman bathin karena hidup dalam persaingan tinggi. Dalam kehidupan liberal diBarat, uang menjadi panglima. Uang diburu oleh sebagian besar masyarakat Barat dengan segala macam cara. Hal ini sangat tercermin dari sebuah ungkapan yang populer dikalangan mereka, time is money, ‘waktu adalah uang’. Dunia industri tidak pernah mengizinkan kita membangun kehidupan dengan tenang, ramah dan penuh kasih sayang. Kita terus didorong untuk terus-menerus bersaing tanpa tahu kapan persaingan itu berakhir.

Kehidupan masyarakat Industri tidak ubahnya seperti pabrik, posisi manusia diserupakan dengan mesin. Dengan sinis, Muhammad Asad (Leopad Weiss), seorang cendikiawan muslim kelahiran Austria menulis tentang situasi budaya industri di Erofa pada awal abad ke-20, “Rata-rata orang Erofa (baik seorang demokrat maupun komunis, buruh harian maupun cendikiawan) hanya mengetahui satu kepercayaan positif bahwa tidak ada tujuan lain dalam hidup ini selain membuat hidup itu terus-menerus semakin mudah. Rumah ibadah agama (kepercayaan,.pen) mereka adalah pabrik-pabrik raksasa, laboratorium-laboratorium kimia, ruang dansa dan bangunan hidro-elektrik. Sedangkan para pendetanya terdiri dari banker, insinyur, politikus, bintang film, ahli statistik, pemimpin-pemimpin industri, penerbang dan komisaris-komisaris” (Muhammad Asad, 1985:91). Sementara itu, John Gunther dalam Inside Europe, mengatakan: “Orang-orang Inggris menyembah Bank of England enam hari dalam seminggu, dan pada hari ketujuhnya mereka pergi ke Gereja” (Abul Hasan an-Nadwi, 1988:233).

Anehnya, negara kita ikut-ikutan latah meniru gaya Barat itu. Selama puluhan tahun kita memaksa diri menjadi bangsa industri maju. Pabrik-pabrik didirikan tanpa kendali, supermarker dan mall-mall bermunculan disetiap sudut kota, fasilitas komunikasi, iformasi, dan transfortasi moderen diadopsi bulat-bulat, gedung-gedung pencakar langit berdiri menjulang, jalan-jalan layang meliuk-liuk membelah kota, perumahan moderen (real estate) bermunculan bak jamur tumbuh dimusim hujan dan tentu pula tidak ketinggalan pusat-pusat hiburan dan permainan. Nilai-nilai kearifan lokalpun tergantikan oleh image moderen. Secara kultural,dengan kelahiran IPTEK dari rahim modernitas telah meminggirkan budaya luhur yang ada. Beragam informasi yang disuguhkan dari mulai bangun tidur hingga mata dan pikiran tak mampu bertahan untuk menerima sirkulasi dan laju informasi yang kecepatannya diluar “kemampuan indrawi”/ Anak-anak yang baru bisa berbicara sekalipun lebiih mengenal Oreo, KFC, Mc. Donals ataupun industri lainnya daripada buatan ibu, demikian juga dikalangan remaja, model pergaulan ala sinetron telah merasuki kepala remaja dan hampir lupa dengan bahasa-bahasa ibu. Cape atau valentine day telah menjadi terma yang telah menggantikan model-model tradisi nenk moyang. Gaya menyambut pergantian tahun (tahun baru)pun dengan sok gaya dan gaul ala drugs and narcotica’, trend pacaran kawula muda yang mencapai tahap klimaks nono estetika dan moral seperti barteran air liur sampai menjadi bayi lagi (menetek pada sang pacar). Atau yang lebih parah lagi yakni aliran freemansonri yang ingin menghapus aturan agama. Memang benar, aturan tidak perlu ada jika tahap kesadaran anak manusia sudah tinggi, tapi apakah semua anak manusia dibumi ini memiliki tahap kesadaran yang tinggi? Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan kebetulan, emlainkan sebuah proses yang terencana dan melalui subyektifasi yang disadari. Cita rasa yang seharusnya dibangun dari nilai-nilai luhur telah menggantikan standar-standar konsepsional modernitas. Informasi yang disuguhkan hampir 90% diramu dari konsep yang secara tidak sadar ‘memBaratkan’ dengan idiologi kapitalisme. Hal ini tidak saja berdampak pada degradasi moral, tetapi secara tidak langsung menggerogoti psikologi (psikologi sosial sekalipun) yang sebenarnya berbaju putih. Sehingga kitapun jangan heran ketika Toffler (1976) menyebut istilah Guncangan Hari Esok (Future Shock), tidak hanya guncangan fisik (pshyial shock) melainkan juga Guncangan Jiwa (Psychology Shock).

Demikianlah pembuka yang cukup lebar pada bagian kedua ini, sebagai gambaran bahwa sebenarnya semakin hari anak manusia kehilangan kedamaian dan ketenangan. Banyak hal yang sebenarnya penulis uingin ungkap dan tampilkan pada bagian dua ini, namun karena keterbatasan waktu maka penulis menampilkan hanya satu permasalahan saja, yang menurut penulis sendiri itu adalah berkaitan erat dengan psikologi sosial, yaitu berhubungan dengan manifestasi psikologi yakni wujud dalam bentuk sikap ataupu perilaku atas kelahiran IPTEK yang berbuah transparansi. Nah, manifestasi psikologi inilah yang berpengaruh juga pada pola interaksi sosial atau kejadian (fenomena) sosial. Satu permasalahan yang mungkin dianggap oleh banyak orang sebagai hal yang sangat sepele, namun dimata penulis itu merupakan hal besar yang perlu kita kaji dan telaah bersama.

Permasalahan yang penulis angkat disini yakni “pengaruh kelahiran, kemajuan dan penerapan IPTEK pada bidang transportasi terhadap psikologi sosial (bentuk sikap ataupun prilaku)”. Penulis lebih menekankan pada jenis transportasi ‘sepeda motor dan mobil’. Jauh sebelumnya penulis pernah mengamati kejadian ini, yakni ketika penulis masih duduk dibangku Kelas 2 Madrasyah Aliyah. Yang ada didalam benak penulis saat itu adalah “mengapa orang-orang yang memiliki motor ataupun mobil hanya asyik dengan kendaraan pribadinya sendiri, tanpa pernah berpikir mengajak orang lain untuk ikut menaiki atau menikmati kendaraannya? Butakah mata mereka ketika melihat orang lain berjalan dibawah terik matahari yang mencucurkan keringat?” Ataukah sebenarnya mereka buta hati? Itulah yang ada dibenak pribadi penulis, penulis merasa ingin tahu kenapa hal demikian bisa terjadi, bukankah saat itu manusia dalam keadaan ‘melek atau terjaga’? Bahkan dengan sangat berani penulis mengatakan mereka juga dalam keadaan ‘sadar’? Kalau manusia sudah sadar, kenapa sikap dan prilaku anak manusia yang terbungkus dalam rumus psikologi bertindak seolah diam dan antipati terhadap hal kecil yang bernilai besar tersebut? Bukankah mereka sudah dianugerahi ‘hal yang lebih’ bila dibandingkan dengan keadaan orang lain? Hal itulah yang terus menggebu dalam hati sang penulis. Maka, lewat kesempatan emas ini penulis ingin memuntahkannya kembali’ sebagai rumusan masalah. Sehingga, untunglah pada kesempatan dan lewat coretan ini penulis bisa meluapkannya sepuas mungkin walau tak sempurna yang diharapkan. Yang jelas, itu merupakan hal besar yang menghalangi pikiran, hal yang membuat tidur tak pernah nyeyak dan hal yang menjadi mimpi buruk dalam tidur penulis.

3. Analisis dan Pemecahan Masalah

Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada), itulah yang pernah diungkap oleh Rene Deskartes. Kalimat singkat namun penuh dengan makana. Maka, penulispun bergegas ingin menunjukkan eksistensi diri (self existance) walau sekedar berada dipermukaan yang terhalang oleh rentetan ilmuwan. Ingin rasanya berada ditengah-tengah mereka. Paling tidak, melalui analisis kecil dari tugas semester ini penulis mengakui eksistensi diri. Mengakui keberadaan diri sendiri dari proses berpikir, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

Dari permasalahan yang sudah tercantum pada bagian kedua, maka penulis pikir kita semua harus paham bahwa analisis permasalahan sebenarnya adalah ‘psikologi sosial saat ini’ sudah mulai terserang oleh penyakit individualistik. Satu kedaan yang berlari dari 180 derajat dari keadaan sebelumnya. Individu hidup asyik dengan kesendiriannya dan tak peduli dengan sekitarnya. Kepekaan sosial sudah terhapuskan oleh material, entah itu tahta atau harta. Terhiasi oleh panorama egosentris dengan corak melenggang dipentas simulakrum kesombangan. Jika kepekaan sudah mati maka tamatl pula lah riwayat sosial. Nasib dan nyawa sosial berada pada kepekaan sosial yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Kalau permasalahan yang penulis sodorkan pada bagian sebelumnya tergambar demiekian, maka apakah itu tidak mengandung arti bahwa ternyata ‘kebajikan diatas dunia’ sudah mulai luruh dan punah? Membuat definisi lain, penulis mengatakan sosial merupakan keadaan yang membuat dunia tersenyum. Karena sosiallah hidup bersama menjadi tenang, rukun dan saling menghargai. Sosial adalah kunci kebaikan didunia ini.

Saat bertemu dengan permasalahan yang dilontarkan diatas, bagaimanakah menanggapinya? Satu hal yang perlu kita ketahui bersama, kunci utama dari semuanya tersebut adalah ‘kesadaran’. Baiklah, sadar dengan terjaga adalah dua hal yang berbeda. Sadar terkait dengan ‘menyadari’ dan ‘memahami’ sesuatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya dan disempurnakan dengan perbuatan. Sedangkan terjaga adalah sekedar ‘melek’ alias tidak tidur atau tidak pingsan. Boleh jadi, seseorang yang terjaga tidak menyadari dan tidak memagami segala sesuatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitar. Tetapi bukankah pada konteks permasalahan tadi manusia dalam keadaan terjaga dan sadar? Jawabannya ialah kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing orang berbeda.Kwalitas kesadaran yang tinggi akan mempengaruhi pola interaksi dan kepekaan terhadap lingkungan.Kwalitas akal dan kesadaran yang baik menggambarkan fungsi jwa yang jelek. Secara ekstim dikatakan,jika akal dan kesadaran rusak maka jiwa pun rusak. Dan begitulah sebaliknya.

Maka, pada kesempatan ini kita memproleh kesimpulan bahwa akal dan kesadaran adalah fungsi utama pada jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berjiwa sehat,jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.Namun jika melahat konteks permasalahan awal,maka kita memang tidak semudah itu memvonis seseoarang bahwa ia tidak memiliki akal dan kesadaran yang sehat atau tidak berjiwa sehat. ebab, kita juga harus mengetahui penyebabnya. Pada uraian di bawah ini penulis memakai lakon pertama dan lakon kedua.Lakon pertama adalah mereka yang memiliki kendaraan (dalam hal ini adalah kendaraan mobil atau motor), sedangkan lakon kedua adalah mereka yang tidak memilki kendaraan (motor atau mobil). Menurut penulis penyebab fenomena yang dituturkan pada bagian II tersebut adalah:

1. Karena di antara kedua subjek tersebut tidak saling kenal (lakon pertama tidak kenal dengan lakon kedua, dan sebaliknya), atau bisa juga karena hanya salah satu di antara lakon tersebut yang mengenal, sehingga kontak sosial secara khusus yaitu ’cooperation’ tidak terjadi,

2. Karena rasa minder ataupun malu di antara mereka, walaupun di antara kedua mereka tidak mengharapkan imbalan,

3. Karena dibuntuti oleh materi, biasanya yakni lakon pertama yang memiliki motor atau mobil mengharapkan imbalan,sedangkan lakon kedua tidak memilki uang atau barang sebagai alat bayar bagi lakon pertama.Dengan kata lain ialah adanya kepentingan yang dimilki oleh lakon pertama. Sehingga jangan heran kalau ada yang berprofesi sebagai tukang ojek, kenek atau sebagainya,

4. Karena jual mahal dari kedua lakon, atau bisa juga salah satu dari lakon,

5. Karena lakon pertama takut terjerat hukum. Maksudnya ialah jika lakon pertama membonceng atau membantu lakon kedua dan pada waktu yang bersamaan terjadi kecelakaan, maka lakon pertamalah yang bertanggung jawab atas lakon kedua sebab inilah yang berlaku secara hukum,dan;

6. Karena pihak pertama benar-benar tidak memiliki kepekaan sosial.

Nah, penilaian penulis ialah point terakhir inilah yang lebih dominan untuk saat sekarang ini, yang cendrerung memunculkan permasalan sesuai dengan yang disebutkan pada bagian II. Kalau di Jakarta disebutkan jumlah kendaraan pribadi ialah 98% dan sisanya 2% adalah kendaraan umum, maka cocok sekali kalau Jakarta digelari ’Ibu Kota’ yang lengkap dengan kecemburuan sosial. Coba kita bertanya dan perhatikan adakah terjadi ‘cooperation’? Yang terjadi adalah kepentingan (berazas pribadi ataupun golongan), kepentingan (berazas pribadi ataupun golongan) dan kepentingan (berazas pribadi atau golongan) kalau boleh bertanya pada diri masing-masing, ‘berapa kalikah kita disodori bantuan Cuma-Cuma lewat kendaraan oleh orang yang tidak kita kenal?’. Mungkin hanya bisa dihitung oleh jari. Penulispun hany pernah disodori bantuan seperti itu dua kali seumur hidup.Bagaimana dengan anda para pembaca andalah yang tahu jawabannya.

Analisis lainnya adalah bukankah pada kelahiran IPTEK pada bidang transportasi secara langsung akan melahirkan kelas-kelas sosial? Adanya kaum ‘kuat yang memiliki’ dan ‘kaum lemah yang tidak memilki’. Sebelum transportasi (modern) lahir, pola intraksi sosial lebih terasa. Antar masyarakat bisa berinteraksi dengan langsung tanpa membedakan kelas ataupun golongan, kaya-miskin atau yang lainnya. Tegur sapa, berjabat-tangan, silaturahim yang dilakukan secara langsung dan lebih berkesan, posisi guru dan murid bisa dibedakan, jalan bareng ataupun jenis kehidupan sosial yang lebih mengarah pada kebersamaan dan kearifan cenderung ditemukan. Namun, ketika transportasi (modern) muncul semua kearifan yang disebutkan di atas kini jarang ditemukan. Kemunculan teransportasi lebih mengarah pada nasib psikologi sosial yang semakin hari semakin pendek.Namun sebenarnya, transportasi jikalau diposisikan sebagai wadah pembangun nilai-nilai sosial maka akan membawa pada faedah. Tergantung pada individu yang melihat dan menggunakan transportasi tadi.Tapi melihat realitas yang ada, kemungkinan besar transportasi lebih diposisikan sebagai alat penyempit ruang sosial. Demikianlah analisis penulis.

Mengenai ide problem solving, penulis mencoba mengantarkan jawaban lewat gambaran konsep islam tentang ucapan salam.Islam mengajarkan agar ucapan salam dilayangkan bagi setiap kaum muslimin tanpa pandang bulu,status atau yang lainnya,atas nama islam dan bahkan salam dianjurkan sebab bernilai besar. Tidak jauh beda denga dengan tuturan salam tadi, menolong orang lainpun memiliki nilai plus bila dibandingkan dengan menaiki kendaraan sendiri-sendiri. Bukankah dengan melakukan hal itu kita akan mendapatkan saudara lagi? Bukankah dengan melakukan hal tersebut kita di’cap’ baik oleh orang yang kita bantu tersebut (terlepas dari ikhlas atupu tidak ikhlas).Atau secara islam,bukankah itu memperpanjang ‘usia sosial’? Kalau memang uraian di atas sudah kita ketahui (khususnya bagi mereka yang memiliki kendaraan bermotor),mengapa kita melakukan perbuatan baik tersebut? Dan bukankah Karen Sunde pernah berkata:”Mengasihi itu bagaikan menatap surga sekejap”? Semua itu merupakan pertanyaan sekaligus ajakan untuk merenungi nilai dari sebuah kebajikan, sehingga lewat proses berpikir manusia akhirnya menenmukan titik kesadaran yang sempurna. Intinya, problem solving yang penulis ajukan disini adalah “berpikir”, tentunya berpikir dengan jernih. Sebab, jika sesuatu dimulai dari proses berpikir maka pasti pada akhirnya akan ditemukan kebaikan yakni berupa kesadaran, ketulusan (ikhlas) dan jenis kebaikan lainnya.

Hanay inilah problem solvig yang penulis tawarkan, sebab penulispun tidak tahu memberikan ide penyelesaian masalah (the end of problem). Namun penulis mengutip sedikit dari apa yang pernah dikatakan oleh Agus Mustafa dalam bukunya yang berjudul Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh bahwa kesadaran memiliki tingkatan. Yang pertama adalah kesadaran indrawi, kedua adalah kesadaran rasional, ketiga adalah kesadaran spritual dan terakhir adalah kesadaran tauhid. Jelasnya, kesadaran tidak mungkin didapatkan tanpa melalui proses berpikir. Sehingga problem solving yang hanya bisa penulis rawarkan adalah dengan bersama-sama mengajak untuk berpikir. Orang yang berpikir pasti mendapatkan pengetahuan bahkan bisa juga memperoleh ilmu pengetahuan. Dan ketika seseorang mendapatkan pengetahuan maka ia berarti mendapatkan kebenaran. Dan tidakkah kita ingat dengan apa yang diakatakan oleh seorang ahli fikr: “ketiak kamu merasa benar maka keberanianmu akan bertambah”. Lantas, kita jangna heran kalau ada pepatah yang mengatakan’berani karena benar, takut karena salah’. Untuk itu, terus berpikir, berpikir dan berpikir karena “Buku terbesar adalah alam raya” (Sayyid Qutub).

Tidak ada komentar: